jpnn.com, RIYADH - Saat Arab Spring merebak di Timur Tengah pada 2011, Murtaja Qureiris berusia 10 tahun. Anak minoritas Syiah tersebut merasa perlu menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami. Delapan tahun setelah itu, eksekusi mati membayangi Murtaja.
Delapan tahun lalu Murtaja dengan girang mengayuh sepeda di kampung halamannya, Awamiyah, wilayah timur Arab Saudi. Dia bersama sekitar 30 bocah lainnya memenuhi jalan sambil menggowes perlahan.
BACA JUGA: Investigasi Belum Selesai, Saudi Sudah Tuding Iran Pelakunya
Aksi Murtaja dan puluhan bocah lainnya adalah bentuk protes terhadap Kerajaan Arab Saudi. Ya, saat itu kaum Syiah merasa perlu menyuarakan diskriminasi yang mereka alami.
Tak ada lagi momentum yang lebih pas selain 2011. Saat itu berbagai pemerintah di wilayah Timur Tengah dan Afrika Tengah kewalahan meladeni tuntutan rakyat.
BACA JUGA: Negosiasi dengan AS Berantakan, Kim Jong Un Hukum Mati Lima Pejabat
''Rakyat menuntut hak asasi manusia,'' ujarnya saat memimpin demo saat itu, menurut laporan eksklusif CNN. Suaranya lantang meski tangan kecilnya kesusahan mengangkat megafon.
Mengapa Murtaja ikut urusan politik? Kemungkinan, bagi dia, berdemo merupakan sesuatu yang alami. Abdullah Qureiris, ayahnya, merupakan tokoh Syiah di tempat tinggalnya. Kakaknya, Ali Qureiris, adalah aktivis HAM.
BACA JUGA: Haris Simamora Si Pembunuh Satu Keluarga Dituntut Hukuman Mati
Apalagi, tak lama setelah itu kakak kandungnya terbunuh saat berdemo. Dia menemani sang ayah yang sedang berkabung dalam upacara pemakaman Ali. Abdullah pun menyambut ribuan simpatisan yang datang dengan orasi anti pemerintah.
''Kami berjanji kepada pejuang yang gugur bahwa barisan (protes) tak akan berhenti,'' ujar Abdullah.
BACA JUGA: Samar Badawi Disiksa di Penjara Saudi
Murtaja pun setia berada di sisi sang ayah. Tak tahu bahwa video yang diambil saat itu merupakan alat bukti awal yang digunakan otoritas Saudi menangkap dia. Mohammad Daman, aktivis hak sipil Saudi yang berada di Inggris, ingat momen itu.
Daman merupakan salah seorang pelayat Ali. Saat itu kebanyakan pendemo menutup wajah karena mereka khawatir ada yang mengenali atau terekam. Namun, topeng ski yang seharusnya dikenakan Murtaja dibiarkan saja terlipat di kepalanya.
Tiga tahun setelah momentum itu Murtaja ditangkap saat keluarganya ingin pergi berlibur ke Bahrain. Usianya baru 13 tahun saat dia ditahan secara paksa oleh otoritas perbatasan Saudi.
Menurut laporan, Murtaja ditahan satu tahun tiga bulan di sel isolasi. Masa akil baliknya dihabiskan di balik jeruji sel.
Tuntutan yang diajukan pemerintah Saudi begitu ngeri: Murtaja dituduh menemani kakaknya dalam aksi pelemparan bom molotov ke kantor polisi, membuat bom molotov untuk pendemo, bersikap anarkistis dalam protes, dan menembaki aparat saat pemakaman Ali pada 2011.
''Saya ingat betul, aksi pasca pemakaman Ali merupakan aksi damai. Pemerintah juga tidak bisa menunjukkan bukti bahwa kekerasan terjadi saat itu,'' ujar Daman.
Murtaja yang masih remaja dimasukkan daftar kelompok teroris. Kejaksaan menuntut dia dengan hukuman mati. Bukan sekadar mati. Mereka meminta agar sang bocah disalib atau dimutilasi.
''Dia telah menghasut rakyat dan pantas dihukum seberat-beratnya.'' Begitu pernyataan jaksa dalam lembar gugatan. Bukti jaksa hanyalah video Murtaja pada pemakaman Ali. (bil/c4/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gara-Gara Urusan Duniawi, Saudi Halangi Warga Qatar Naik Haji
Redaktur & Reporter : Adil