jpnn.com, NAYPIDAW - Investigasi Reuters tentang kekejian militer Myanmar di Negara Bagian Rakhine mengakibatkan dua kontributornya mendekam di tahanan. Setelah memastikan proses hukum Wa Lone dan Kyaw Soe Oo berjalan wajar, Reuters pun memublikasikan fakta-fakta mencengangkan di salah satu kampung Rohingya, Inn Din.
Minggu (11/2) pemerintahan Presiden Htin Kyaw mengambil sikap tegas. ’’Kami akan memproses tujuh serdadu, tiga anggota kepolisian, dan enam penduduk yang terlibat dalam kasus tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku,’’ papar Zaw Htay, jubir pemerintah Myanmar, dalam jumpa pers.
BACA JUGA: Kejam! Militer Myanmar Pastikan Warga Rohigya Tak Bisa Makan
Tapi, dia lantas menyatakan bahwa sikap pemerintah itu tidak berkaitan dengan investigasi Reuters. Menurut dia, kebijakan tersebut diambil berdasar hasil investigasi internal militer.
Di hadapan awak media, Htay menyatakan bahwa pemerintah sudah memerintah militer untuk menyelidiki dugaan penganiayaan tersebut sebelum Reuters menugaskan dua kontributornya melakukan investigasi di Rakhine.
BACA JUGA: 5 Kuburan Massal Sembunyikan Bukti Kekejaman Militer Myanmar
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, dua wartawan itu, ditangkap di Rakhine pada 12 Desember lalu. Mereka dituduh melanggar peraturan pemerintah soal peliputan media. Sampai saat ini, mereka masih mendekam di tahanan dan terancam hukuman 14 tahun penjara.
Sayang, kepada Associated Press, pemerintah Myanmar tidak bisa memberikan penjelasan terperinci tentang hukuman yang akan diterapkan terhadap 16 warganya tersebut. Nama para tersangka juga tidak dipublikasikan.
BACA JUGA: Bom Molotov Meledak di Rumah Aung San Suu Kyi
Tapi, The Straits Times melaporkan bahwa salah seorang warga sipil yang diamankan bernama Tun Aye. Dia adalah salah seorang putra Maung Ni, warga Buddha yang rumornya dibunuh Rohingya.
Pada 10 Januari lalu, militer Myanmar menyatakan bahwa 10 pria Rohingya yang dibunuh di Inn Din pada awal September lalu adalah anggota kelompok militan ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army).
’’Mereka adalah bagian dari 200 teroris yang menyerang pasukan keamanan di Rakhine.’’ Demikian keterangan resmi militer Myanmar sebagaimana dikutip CNN.
Lebih lanjut, militer mengakui keterlibatan sejumlah penduduk Buddha di Rakhine dalam pembunuhan 10 pria Rohingya tersebut. Mereka bekerja sama dengan beberapa serdadu Myanmar serta beberapa polisi untuk menghabisi 10 pria Rohingya itu.
Namun, militer cuci tangan. Dalam keterangannya, militer seolah-olah tidak mengetahui ulah para personelnya.
Keterangan itu bertentangan dengan paparan sejumlah saksi yang ditemui Reuters. Salah satunya Soe Chay. Pria 55 tahun yang merupakan pensiunan personel militer itu menegaskan bahwa semua ulah serdadu Myanmar tersebut atas perintah atasan.
’’Saya membunuh satu pria Rohingya. Pasukan keamanan menemukan dia bersembunyi dengan tiga orang lainnya dan membawa pria itu kepada saya. Mereka berkata, ’Perbuatlah sesuka hatimu’,’’ ujar penduduk Inn Din tersebut.
Saat itu Soe Chay langsung mengayunkan pedangnya ke arah pria Rohingya tersebut. Ketika pria itu ambruk, seorang serdadu menembaknya hingga tewas.
Selain ikut membunuh, Soe Chay bertugas sebagai penggali kuburan. Termasuk saat militer hendak menguburkan 10 korban kejahatan mereka pada 2 September lalu.
Soe Chay-lah yang menggali kuburan masal untuk mereka. Dia melakukannya bersama seorang teman.
Selain Soe Chay, Reuters menyebut seorang saksi kunci lain dalam laporan investigasinya. Dia bernama Aung Myat Tun. Pria 20 tahun tersebut mengaku terlibat dalam serangkaian pembakaran rumah.
’’Militer yang memerintahkan dan mengatur pembakaran rumah Rohingya. Rumah-rumah itu sangat mudah dibakar. Terutama jika dimulai dari bagian atap,’’ paparnya. (hep/c5/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lembaga HAM Minta Pemulangan Pengungsi Rohingya Ditunda
Redaktur & Reporter : Adil