Nadiem: Kita Sedang Berada dalam Situasi Darurat Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Jumat, 12 November 2021 – 14:38 WIB
Tangkapan layar Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam peluncuran Merdeka Belajar episode 14 : Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual yang dipantau di Jakarta, Jumat (12/11/2021). (ANTARA/Indriani)

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan saat ini Indonesia tengah berada dalam situasi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. 

Nadiem Makarim menyatakan Indoneisa bukan hanya mengalami pandemi Covid-19, tetapi juga pandemi kekerasan seksual. 

BACA JUGA: Tsamara PSI: Sudah Waktunya Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual

“Kita sedang berada dalam situasi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Bisa dibilang situasi gawat, kita bukan hanya mengalami pandemi Covid-19 tetapi juga pandemi kekerasan seksual,” kata Nadiem dalam peluncuran Merdeka Belajar episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual, yang dipantau di Jakarta, Jumat (12/11). 

Menurut Nadiem, data Komisi Nasional Perempuan menyebutkan bahwa kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan. “Sebanyak 27 persen aduan yang diterima, terjadi di ajang pendidikan tinggi,” ungkap dia. 

BACA JUGA: Nadiem Terbitkan Permendikbudristek tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus

Nadiem menjelaskan survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi juga menyebutkan sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Sebanyak 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya pada pihak kampus. 

Nadiem mengatakan saat ini sedang berada pada fenomena gunung es, yang mana jika digaruk sedikit fenomena kekerasan seksual terjadi di semua kampus.

BACA JUGA: Fraksi PKS Desak Menteri Nadiem Cabut Permendikbudristek 30 Tahun 2021

“Pemerintah perlu mengambil langkah melindungi dosen dan mahasiswa maupun tenaga kependidikan dari kekerasan seksual,” ujar Menteri Nadiem.

Dia menambahkan kekerasan seksual paling sulit dibuktikan, tetapi efeknya sangat besar dan berjangka panjang pada korban. 

Dampak dari satu kejadian bisa dirasakan seumur hidup. 

Sebab, hal itu berdampak psikologis seumur hidup.

Dia memberi contoh bagaimana seorang mahasiswi yang mengalami kekerasan seksual di kampus mencoba melapor tetapi tidak ditanggapi, depresi dan akhirnya meninggalkan kampus.

Nadiem menyatakan tidak mungkin kampus dapat menyediakan pembelajaran yang berkualitas apabila dosen, mahasiswa, maupun tenaga kependidikan tidak merasa aman dan nyaman. 

“Kita sudah memiliki beberapa UU, tetapi memiliki kekosongan pada perguruan tinggi. Kita memiliki UU anak, tetapi itu hanya di bawah 18 tahun. Ada UU PKDRT, tetapi hanya dalam lingkup rumah tangga. Kita punya UU TPPO tetapi hanya pada menjerat sindikat perdagangan manusia,” katanya. 

“Jadi ada kekosongan karena yang belum terlindungi usia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjebak sindikat perdagangan manusia,” tambahnya. 

Oleh karena itu, Nadiem menuturkan perlu adanya aturan yang spesifik dan khusus dalam melindungi warga kampus. 

Dia juga menyebut ada beberapa keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual dalam KUHP saat ini, yakni tidak dapat memfasilitasi identitas korban yang tidak diatur peraturan lain, tidak mengenali kekerasan berbasis gender online (KGBO) dan hanya mengenali bentuk perkosaan dan pencabulan.

Padahal, civitas akademika dan tenaga kependidikan sangat rentan mengalami KBGO karena rentang usia tersebut pengguna aktif media sosial dan juga perkuliahan di kala pandemi Covid-19 banyak dilakukan secara daring. (antara/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler