BACA JUGA: Raih Medali Emas berkat Dosis Obat Michael Jackson
Di antara sepuluh dokter itu, tujuh orang bertitel spesialis.AGUNG PUTU, Jakarta
Spesialisasi tujuh anak Nafisah itu pun tidak ecek-ecek
BACA JUGA: Digembleng Abah Main Catur Dua Papan
Anak pertama itu juga menjadi satu-satunya yang meraih gelar doktor di antara sepuluh dokter bersaudara ituSementara tiga putra Nafisah yang lain masih bergelar dokter umum
BACA JUGA: Menyusuri Kampung Bersejarah China Benteng
Mereka adalah dr Fatinah yang menjabat wakil direktur RS Ibu dan Anak Permata Hati Balikpapan; dr Zen Firhan, dokter umum di Balai Pengobatan Depok Medical Service dan Sawangan Medical Center; dan dr Nur Dalilah, dokter umum di RS Permata CibuburDua anak Nafisah yang tidak berprofesi sebagai dokter adalah Durah Kamilia (anak keempat) dan Zainab (anak ketujuh)Durah menekuni bidang desain, sedangkan Zainab menggeluti bidang kimiaDia sedang menempuh pendidikan S-2 kimia di Universitas Padjadjaran, Bandung
"Dulu sih sebenarnya mau kuliah dokter jugaTapi, pas ujian masuk lagi sakit, jadi keterima di pilihan kedua di jurusan kimia," kata Zainab saat ditemui Jawa Pos bersama Nafisah dan Isa An Nagib (anak kesembilan) di kediaman si sulung di Puri Sri Wedari, Cibubur, Depok, Jawa Barat, kemarin (23/4).
Sebenarnya keluarga Nafisah bukan keluarga dokterPendidikan Nafisah dan Alwi Idrus juga tidak tinggi-tinggi amatNafisah hanya lulusan SMA, sedangkan Alwi bertitel sarjana muda jurusan ekonomiMereka bekerja sebagai pedagangTapi, pasangan itu mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang hebat.
Berkat prestasi langka itu, Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) mengganjar keluarga asal Palembang, Sumatera Selatan, tersebut dengan gelar Profesi Dokter Terbanyak dalam Satu Keluarga
Kendati sudah sepuh, Nafisah masih tampak sehatIndra pendengarannya masih tajamIngatannya juga tetap kuat ketika menceritakan suka-duka membesarkan 12 anak hingga menjadi sarjana seperti sekarang.
Bagaimana mendidik sepuluh anak menjadi dokter" Menurut Nafisah, semua itu berkat didikan keras almarhum suaminya, Alwi Idrus ShahabAwalnya keluarga tersebut adalah keluarga saudagarMereka memiliki toko di kawasan kota Palembang yang menyediakan kain dan batikGrosir bisa, eceran oke.
Dagangan kain dan batik itu cukup suksesNamun, Alwi tidak pernah mendidik anak-anaknya mengikuti jejak orang tua menjadi saudagarDia menginginkan semua anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi daripada dirinyaKeinginan itu muncul, kata Isa An Nagib, karena pengalaman pribadi sang ayah
Alwi yang lulusan sarjana muda jurusan ekonomi itu merupakan anak lelaki yang paling tuaDia mengemban beban berat untuk membantu adik-adiknyaKeinginan menempuh pendidikan yang lebih tinggi tak kesampaian karena dirinya harus bekerja keras"Beliau tak ingin itu terjadi kepada anak-anaknya," katanya.
Karena itu, Alwi mendidik semua anaknya untuk belajar kerasSemua fasilitas yang berhubungan dengan pendidikan dia penuhiMulai buku hingga peralatan sekolah"Abah itu dulu, anak-anak pagi minta, sore sudah ada," kata Isa mengenang almarhum sang ayah yang meninggal pada 1996 itu.
Ide untuk ramai-ramai kuliah di kedokteran datang dari si sulung, Idrus AlwiDia adalah orang pertama dalam keluarga yang kuliah di kedokteranSaat itu dia kuliah di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) JakartaTiap mudik Lebaran, Idrus bercerita panjang lebar tentang asyiknya kuliah di kedokteran kepada saudara-saudaranyaMereka pun tergiurSejak saat itu target utama adik-adik Idrus setelah lulus sekolah hanya satu: kuliah kedokteran"Kampusnya boleh di mana sajaPokoknya negeriSoalnya, kuliah dokter kan mahal," ujar Isa.
Gayung bersambutKeinginan itu diamini oleh AlwiApalagi, profesi dokter merupakan jasa yang selalu dibutuhkan masyarakatLulusan fakultas kedokteran tak bakal nganggur
Menurut Nafisah, membesarkan 12 anak susah-susah gampangDisiplin harus ketatSuaminya, Alwi, kata Nafisah, memberlakukan aturan bahwa seluruh anak harus pulang setiap MagribApa pun alasannya, tidak ada yang boleh keluar rumah bablas hingga Isya"Kecuali ada undangan yang benar-benar nggak bisa ditunda," kata Nafisah
Aturan itu cukup efektifSeluruh anaknya menurutKalaupun ada acara dengan teman-temannya, pasti mereka pulang dulu menjelang Magrib
Dengan cara itu, kata Nafisah, me-manage 12 anak jadi gampangSetelah Magrib, mereka juga tidak boleh langsung bablas hingga malamMereka harus mengaji dan baca-baca buku pelajaran di rumah walau sebentar"Lagi pula, kalau ada kondangan atau acara, kan pasti setelah IsyaNggak mungkin habis Magrib langsung pergi," ujarnya
Selain itu, keluarga besar tersebut juga sering meluangkan waktu untuk jalan barengSetiap Sabtu dan Minggu, toko keluarga Alwi hanya buka separo hariSisa waktu lainnya digunakan untuk berjalan-jalan ke taman atau kolam renang di sekitar Kota Palembang"Pokoknya ngikutin kemauan anak," kata Nafisah
Kini, 12 bersaudara itu tidak lagi ber-home base di Palembang seperti dulu"Markas" keluarga Shahab itu kini di perumahan Puri Sri Wedari, Cibubur, Depok, Jawa BaratDi rumah si sulungKebanyakan di antara mereka pun bertempat tinggal di kawasan pinggiran Jakarta ituPaling tidak, ada enam anak Nafisah yang tinggal di sekitar DepokBeberapa di antara mereka kompak ikut praktik di Rumah Sakit Permata Cibubur
Soal rumah sakit itu, si sulung juga yang jadi perintisnyaPada 2003, bersama sejumlah kolega dokternya, Idrus mendirikan RS tersebut. Saat itu, kata Isa, daerah Cibubur masih sepiRumah sakit itu bahkan menjadi rumah sakit pertama di daerah tersebutAlhasil, beberapa saudara Idrus yang lulus sekolah dokter pun diajak praktik di sana sekaligus tinggal di sana. "Lagi-lagi, kakak pertama yang mengawali," ungkapnya
Nafisah menuturkan, memiliki sepuluh anak dokter tidak selalu mendapat pujian orangMalah ada yang mencibirApalagi kalau anak perempuan yang jadi dokter"Buat apa sekolah lama-lamaNanti tua, jodohnya sulit," kata Nafisah menirukan komentar orang-orang
Tapi, Nafisah percaya bahwa jodoh akan ikut dengan aktivitas anakPerjalanan studi dokter yang panjang membuat mereka bertemu banyak orangKarena itu, mitos itu tidak membuat dia ragu mendorong anak-anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi
Kata Nafisah, upaya menyekolahkan anaknya itu sempat mendapat cobaan ketika sang kepala keluarga meninggal dunia pada 1996Saat itu, empat anaknya masih sekolahDua orang di kelas 3 SMA, satu orang di kelas 2 SMASejumlah anak belum lulus kuliah
Nafisah sempat sedikit terguncang dengan meninggalnya AlwiDia melupakan guncangan jiwanya itu dengan bekerja di toko"Saat sibuk di toko nggak ingat, tapi pulang di rumah ingat lagiSedih rasanya," kata nenek 30 cucu itu
Selama dua tahun, perasaan itu terus dia alamiNamun, perempuan kelahiran 1 Agustus 1946 itu tak menyerahDengan toko dan warisan suami, pendidikan 12 anaknya terus diperjuangkan
Beberapa anak yang sudah mentas dan bekerja ikut membantu ongkos sekolah dan kuliahBeban itu, kata Nafisah, tidak terlalu beratSebab, toko mereka juga masih laris"Tapi, tanah dan aset abah dijual semua
untuk membiayai anak-anak sekolah," ungkap Isa
Sepuluh tahun setelah sang suami meninggal, Nafisah berhasil mengatar lulus anak-anaknyaMereka juga sudah mandiri dan berkeluargaSejak saat itu, anak-anak melarang Nafisah sibuk di tokoMereka lantas memboyong Nafisah ke Cibubur agar dekat dengan anak-anak dan cucu-cucunya
Kini Nafsiah tidak lagi sibuk berjualan kain dan batikSaat ada waktu luang, anak dan cucunya mengajak dia pelesir ke luar negeriMulai Malaysia, Australia, Singapura, Jerman, Italia, Austria, hingga Inggris"Pokoknya keliling ke mana-mana, sampai lupa negaranya," kata Nafisah, lantas tersenyum
Hari ini Nafisah berencana mengunjungi Nouval Shahab, anaknya yang sedang mengejar gelar PhD di Jepang"Visanya baru keluar hari ini, besok langsung berangkat," katanya. (*/c1/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rebut Simpati, Galang Sumbangan
Redaktur : Tim Redaksi