jpnn.com - Prancis membara. Eropa memanas. Penyebabnya ialah tindakan polisi Prancis membunuh remaja berusia 17 tahun yang diidentifikasi bernama Nahel M.
Nama belakanganya tidak disebut dengan lengkap. Namun, disebutkan bahwa Nahel adalah imigran keturunan Aljazair.
BACA JUGA: Lord & Luhut
Anda pasti mengenal Zinedine Zidane. Pahlawan sepak bola Prancis itu juga keturunan Aljazair.
Naman Zidane sangat harum. Sampai sekarang ia dihormati dan disegani sebagai salah satu talenta terbaik sepak bola Prancis.
BACA JUGA: Akhir Petualangan Berlusconi
Zidane membawa Prancis menjadi kampiun Eropa dan juara dunia. Dialah satu-satunya pelatih yang bisa memenangkan Piala Champions tiga kali berturut-turut.
Namun, jangan lupa, sepak bola Prancis dikejutkan dengan langkah polisi menahan pelatih Paris Saint Germain (PSG) Christophe Galtier yang diduga melakukan tindakan rasisme terhadap Muslim. Galtier bersama anak kandungnya, Valovic Galtier, ditahan polisi karena berbuat rasisme kepada pemain beragama Islam.
BACA JUGA: Kristen-Muhammadiyah, Kristen-NU, dan Kristen-Islam
Penahanan itu sebagai bagian dari penyelidikan atas tuduhan diskriminasi di tempat kerja saat saat Galtier masih menjadi arsitek di OGC Nice. Galtier dan Valovic ditahan selama 24 jam.
Setelah itu, polisi bisa membebaskan Galtier dan putranya atau membawa keduanya ke pengadilan. ???Penyelidikan ini merupakan lanjutan dari proses hukum atas mencuatnya email dari Direktur Sepak Bola Nice Julien Fournier pada 11 April.
Dalam email itu, Fournier menuduh Galtier saat melatih Nice musim 2021/2022 membuat pernyataan rasis dan islamofobia. ???Ketika itu, Galtier mengeluhkan komposisi skuad Nice yang berisi banyak pemain kulit hitam dan Muslim.
Galtier juga meminta para pemainnya tidak menjalankan ibadah puasa selama Ramadan. Kasus itu bisa mengakhiri kariernya di PSG.
Prestasi Galtier juga dianggap tidak menonjol karena gagal membawa PSG yang bertabur bintang untuk berjaya di Eropa.
Sementara itu, di Swedia lagi-lagi terjadi pembakaran mushaf Al-Qur'an. Aksi itu memicu protes luas dari seluruh dunia Islam karena pemerintah Swedia memberi izin aksi tersebut.
Aksi pembakaran Al-Qur'an di Swedia bukan kali pertama terjadi. Politikus sayap kanan Swedia Rasmus Paludan sudah berkali-kali melakukannya dan masih lolos dari hukuman sehingga bebas melakukan aksi yang sama.
Pembakaran Al-Qur'an memicu protes keras. Aksi pembunuhan terhadap Nahel di Prancis juga menyulut demonstrasi besar-besaran.
Prancis disebut sebagai sumbu demokrasi dunia. Eropa mengeklaim diri sebagai pusat demokrasi dunia.
Akan tetapi, rangkaian kejadian seminggu terakhir ini menunjukkan persoalan rasisme dan islamofobia yang serius di Eropa.
Kerusuhan besar yang dipicu penembakan Nahel terus meluas di kota-kota besar Prancis. Nahel M tengah mengemudikan mobil di Nanterre ketika dihentikan polisi.
Ia menolak berhenti. Mercedes AMG yang dikendarainya melintas di jalur bus. Dua petugas polisi mengejar mobil tersebut di tengah kemacetan lalu lintas.
Ketika mobil itu berhasil lolos, salah satu petugas menembak dari jarak dekat melalui jendela pengemudi. Nahel meninggal akibat tembakan yang menembus dadanya.
Insiden itu memicu keluhan lama tentang kekerasan polisi dan rasisme sistemik di daerah pinggiran kota yang berpendapatan rendah dan bercampur dengan ras lain yang mengelilingi kota-kota besar di Prancis.??
Kematian Nahel dengan cepat memicu gelombang protes yang diwarnai kekerasan di seantero negeri.
Para pengunjuk rasa di jalanan Prancis mendirikan barikade, menyalakan api, dan menembakkan kembang api ke arah polisi yang merespons mereka dengan gas air mata dan meriam air.
Di sejumlah titik di Paris, sekelompok orang melemparkan petasan ke arah pasukan keamanan. Kantor polisi di 12 distrik kota diserang, sementara sejumlah toko di sepanjang Jalan Rivoli, dekat Museum Louvre dan di Forum des Halles, pusat perbelanjaan terbesar di ibu Prancis, dijarah.
Otoritas Marseille mengabarkan bahwa mereka berusaha membubarkan kelompok yang melakukan kekerasan di pusat kota. Sekitar 40.000 petugas polisi telah dikerahkan untuk memadamkan
Polisi menahan 667 orang. Juru bicara polisi juga mengonfirmasi bahwa 200 petugas terluka.
Nahel adalah seorang anak tunggal yang dibesarkan oleh ibunya. Dia bekerja sebagai supir untuk jasa pengiriman makanan dan dia juga bermain dalam liga rugby.
Sebagaimana anak remaja imigran seusianya, Nahel mengalami pendidikan yang kacau. Dia terdaftar di sebuah perguruan tinggi di Suresnes, tidak jauh dari tempat tinggalnya, untuk menjadi ahli kelistrikan.?
Mereka yang mengenal Nahel menyebutnya sangat dicintai di Nanterre, tempat dia tinggal bersama ibunya, Mounia. Tampaknya Nahel tidak pernah mengenal ayahnya.??
Nahel suka membolos. Catatan kehadirannya di perguruan tinggi buruk.
Memang dia tidak memiliki catatan kriminal, tetapi dikenal oleh polisi karena sering menyetir secara ugal-ugalan.? Tetangga mengatakan Nahel menyayangi ibunya sebagai orang tua tunggal.
Nahel selalu mencium ibunya ditambah kata-kata "Aku mencintaimu, Bu" sebelum dia pergi bekerja. ???Selasa pagi (27/06) menjadi harinya yang terakhir.
Ibunya mendengar kabar Nahel ditembak oleh polisi karena melanggar aturan lalu lintas. Anakku melanggar aturan lalu lintas, tapi bukan berarti Anda diizinkan untuk membunuhnya. Begitu tangis histeris ibunya.
Kampanye antirasisme di Eropa dilakukan dengan gencar, tetapi sikap rasis masih sangat luas di kalangan masyarakat dan penegak hukum.
Pada Mei 2020, lelaki kulit hitam George Floyd dibunuh oleh polisi di Amerika Serikat sehingga memicu demonstrasi ’Black Lives Matter’ di Amerika dan Eropa.
Kampanye anti-rasisme dilakukan secara luas, termasuk melalui sepak bola sebagai olahraga paling digemari di Eropa. Para pemain sepak bola profesional Eropa berlutut di lapangan sebelum pertandingan sebagai tanda solidaritas.
Tidak semua orang setuju dengan kampanye itu. Kampanye itu juga tidak terlalu sukses.
Kasus Nahel adalah contoh terbaru dari kronisnya penyakit rasisme di Eropa.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Porno
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi