BACA JUGA: DPR Desak Percepat Pembentukan BPJS
Agendanya mendengarkan keteragan pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah.Anggota Komis III DPR, Pieter C Zulkifli, beranggapan terhadap dalil-dalil pemohon dengan berlakunya pasal 2 ayat 2 dan pasl 43 ayat 1 yang membuat pemohon mengalami kerugian konstitusional berupa tidak dicantumkanya nama ayah di akte kelahiran anaknya harus dipahami.
“Bahwa perlu dipahami oleh pemohon, perkawinan itu ikatan lahir sebagai suami istri yang bahagioa dan kekal, ketentuan ini mengandung makna berhubungan dengan agama dan kerohanian
Lanjut Pieter, DPR berpendapat pasal 2 ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut UU yang berlaku, membuat pemohon mengalami kerugian konstitusional adalah anggapan yang keliru dan tidak berdasar
BACA JUGA: Pemulangan TKI Mesir, Kadisnaker Dituntut Proaktif
“Undang-undang perkawinan berazaz monogamiSelain itu, anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan dalam perundang-undangan, tentu hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya
BACA JUGA: Perusahaan Wajib Buat Pemetaaan Tenaga Kerja Makro
“Dengan demikian pasal 43 ayat 1 tidak bertentangan dengan pasal 28B dan D dan menyatakan pasal 28D ayat 2 tetap memiliki kakuatan hukum tetap,” katanya.Staf ahli Depaertemen Agama, Tulus, mengatakan pasal 2 ayat 2 menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap pemohon mengenai perkawinanya“Kami menganggap bahwa perkawinan yang dimaksud ikatan lahir batin dengan tujuan untuk berkeluarga,” ujarnya selaku mewakili pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah tidak seopendapat dengan pemohon tentang adanya pertentangan pasal dalam undang-undang perkawinan“Untuk itu kami meinta majelis hakim menyatakan menolak permohonan pemohon karena pasal 2 ayat 2 dan 43 ayat 1 tidak bertentangnan dengan pasal 28 aya 1 dan 2,” tandasnya.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon Aisyah Muchtar menganggap negara mendiskriminasikan anak yang lahir di luar nikah dengan dberlakukanya pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1 UU No 1tahun 1974 tentang perkawinan.
“Pada intinya bahwa UU 1/1974 itu , kami berpendapat terkandung asas agama, sebagaimana tercermin dalam pasal 2 ayat 1, yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu,” ujar kuasa hukum pemohon, Miftachul Ikhwan Al-Annur.(kyd/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Intelijen Lemas, Kekerasan Meluas
Redaktur : Tim Redaksi