Pada era tahun 1960-an industri kerajinan rokok kretek Desa Astanalanggar memasuki era keemasannya
BACA JUGA: Antena UHF Laris Manis di Glodok
Tiap rumah di desa yang bersebelahan langsung dengan sungai Cisanggarung ini hampir membuat rokok kretekBACA JUGA: BTN Kucuri SMF Rp 500 Miliar
Saat ini hanya ada sekitar 5 pabrik rokok rumahan yang masih bertahanSalahsatunya adalah pabrik rokok (PR) Subur milik H Kusen
BACA JUGA: Gardu Duri Kosambi Rusak, Sebagian Jakarta Padam
Saat Radar mengunjungi pabrik yang terlihat sederhana ini, ada sekitar 12 orang pekerja yang tengah sibuk melinting dan mengepak rokok kretek dengan merek dagang Panah Mas. Sayangnya, koran ini belum bisa bertemu dengan pemilik, H Kusen karena sedang tidak ada ditempat.Kuwu Astanalanggar, Gurotin Mas’ud mengatakan kondisi industri rokok kretek yang berada di desanya tengah kembang kempisHal ini diakibatkan regulasi pemerintah soal pita cukai”Kalau dulu kita setor cukai menggunakan persentase, sekarang menggunakan pita cukai yang diambil dari keuntungan perbatang,” paparnya.
Selain itu, soal fatwa haram juga memengaruhi industri yang masih menggunakan tenaga manual ituArtinya 100 persen tidak menggunakan mesin baik dalam mengolah tembakau maupun dalam pengemasannya.Harga yang ditawarkan satu bungkus rokok kretek Panah Mas sekitar Rp2.500 sedangkan harga pita cukainya Rp3.000”Harga Rp2.500 ini sudah terlalu mahal buat konsumen, agar tetap bertahan kita tidak menaikkan harga,” papar pria yang juga masih ada hubungan kerabat dengan H Kusen sang pemilik PR Subur.
Meski sedang mengalami kembang kempis, ternyata ekspansi bisnis rokok ini hingga ke Rengasdengklok, Karawang bahkan hingga ke Pemalang Jawa tengah”Konsumennya kalangan petani dan nelayan,” lanjutnya.Untuk skala produksi, tiap PR tidak tentu tergantung kebutuhan pasarNamun, untuk PR
Subur tiap hari bisa memproduksi ratusan hingga ribuan tergantung pesanan(jun/aj/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Belanja Iklan Naik 84 Persen
Redaktur : Tim Redaksi