PADANG - Sikap dan perlakuan negara terhadap masyarakat hukum adat hingga kini masih jauh dari yang diharapkanBahkan dalam kenyataannya, pemerintah melalui berbagai regulasi yang dilahirkannya cenderung untuk mereduksi kepentingan masyarakat hukum adat dengan dalih untuk kepentingan negara.
Demikian salah satu kesimpulan dan kesepakatan hasil Seminar Kebudayaan Minangkabau yang dibacakan oleh Ketua Pengarah panitia seminar, DR Saafroedin Bahar, dihadapan 563 Wali Nagari (Kepala Desa) se Sumatera Barat, di Premier Basko Hotel, Kota Padang, Senin (13/12) malam.
"Banyak diantara undang-undang, peraturan pemerintah bahkan peraturan daerah secara sepihak telah merugikan masyarakat hukum adat terutama soal kepemilikan dan penguasaan lahan yang oleh nagari merupakan sumber kehidupan dan ekonomi anak nagari," kata Saafroedin.
Terhadap semua produk hukum yang diduga kuat telah melanggar kepentingan masyarakat hukum adat itu, forum seminar juga memberikan rekomendasi agar masalahnya diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung
BACA JUGA: Aksi Damai Rakyat Jogja Bakal Terus Berlanjut
"Gebu Minang, melalui tim khususnya tentu akan memberikan pendampingan advokasi bagi nagari-nagari yang berupaya melakukan uji materiil undang-undang," ujar Saafroedin Bahar.Sebelum upaya hukum tersebut ditempuh, forum seminar yang digelar oleh Gebu Minang juga menyepakati untuk terlebih dahulu mendiskusikannya dengan DPRD di masing-masing daerah sesuai prinsip-prinsip dasar demokrasi masyarakat Minang yang lebih mengedepankan asas musyawarah mufakat ketimbang votting,
Selain menyoal dugaan terjadinya pelanggaran atas hak masyarakat hukum adat oleh negara melalui berbagai produk hukum, Ketua Pengarah Seminar juga membacakan rekomendasi dan kesepakatan forum seminar tentang perlunya dihidupkan kembali Pengadilan Nagari khusus menyelesaikan perkara-perkara perdata.
"Pengadilan Nagari hanya khusus untuk menyelesaikan berbagai perkara perdata yang bersumber dari sengketa tanah
Lebih dari 90 persen perkara dari Sumatera Barat yang sampai ke Mahkamah Agung ternyata perkara perdata dengan para pihak yang bersengketa sesungguhnya masih bersaudara satu sama lainnya, imbuh mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) itu.
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, kata Saafroedin, belum mengakomodasi tentang hak ulayat masyarakat hukum di banyak daerah di Indonesia.
Di bagian akhir dari rekomendasi dan kesepakatan yang dibacakan itu, forum seminar juga mendesak pemerintahan provinsi segera memprakarsai kongres Kebudayaan Minangkabau dengan materi pokok adalah rekomendasi dan kesepakatan Seminar Kebudayaan Minangkabau 2010 yang diselenggarakan Gebu Minang dengan mengikut-sertakan seluruh Wali Nagari yang hadir dalam seminar ini
BACA JUGA: Makam Pangeran Antasari Tergenang
BACA JUGA: Desa Mbah Marijan Dihidupkan Lagi
(fas/jpnn)BACA ARTIKEL LAINNYA... Demi Sultan, Ribuan Warga Gunungkidul Turun Gunung
Redaktur : Tim Redaksi