PEARL Harbour hancur leburPangkalan AL Amerika Serikat di Hawai itu dibombardir pasukan Jepang yang dipimpin oleh Laksamana Chuichi Nagumo
BACA JUGA: Paradoks Sepakbola & Politik
Asap hitam berkepulkan di angkasa dan rakyat Jepang bersorak-sorai merayakan kemenangan di awal Perang Pasifik ituNamun, sejarah mencatat, akhirnya Jepang (dan sekutunya, Jerman dan Italia) bertekuk lutut dalam Perang Dunia kedua itu
BACA JUGA: Menyengkeram dan Dicengkeram
Dua bom atom meluluh-lantakkan di Hiroshima dan Nagasaki.Siapa yang rajin menyusuri sejarah akan segera tahu bahwa Jepang kalah, antara lain karena pasokan minyak yang terbatas
P.K
BACA JUGA: Polemik Jawa Satu Abad
Ojong dalam sebuah bukunya menyebut bahwa salah satu faktor kalahnya Jepang adalah victory disease alias penyakit (mabuk) menangSyahdan, propagadanda terlalu berlebihan untuk menggelorakan semangat berperang serdadu dan rakyat JepangBahkan, berita kekalahanpun diputarbalikkan menjadi kabar kemenangan.Akibatnya Jepang lengah, dan industry persenjataan militer Jepang tak berdaya mendukung perang besar ituOptimisme berubah menjasdi pesimisme
Saya berdoa semoga tragedi itu tak mendera timnas PSSI yang berlaga di Malaysia pada Ahad, 27 Desember 2010 iniSelain bermain di kandang lawan, kemenangan beruntun timnas yang sebelumnya mempecundangi Malaysia, Laos, Thailand dan Filipina, jika tak mawas diri bisa berubah menjadi penyakit victory disease, alias mabuk menang.
Pujian publik yang setinggi langit tak mustahil membuat timnas, maaf, besar kepalaLupa diri dan aroganPadahal, bermain di Malaysia, kandang musuh, bisa diperkirakan akan membuat supporter lawan akan membangkitkan antusiasme serupa, seperti diperlihatkan pendukung Indonesia selama ini di Gelora Bung Karno.
Elu-eluan penonton, tak pelak, adalah energi luar biasa yang memungkinkan sebuah kesebelasan bermain stabilPermainan dan taktik-starategi pun mengalir karena emosi yang tenangTidak nervous, dan apalagi “demam panggung.” Tapi jika emosi tidak stabil dan jatuh nervous akan membuat permainan berantakan yang mempengaruhi stamina fisik pula.
Syahdan, sifat orang Melayu, termasuk orang kita, kadang sangat melodramatikGampang memuja-muji, tetapi mudah pula berbalik kesal dan menghujatTak beda dengan obyek yang dipuja dan dikritik pun cepat bangkit semangatnya tetapi mudah pula antiklimak menjadi loyo, baik saat dipuja-puji maupun kala antusiasme dukungan penonton itu melemah karena bermain di kandang lawan.
Saya percaya sebuah kesebelasan yang tangguh akan teruji jika bermain di kandang lawanMeskipun sorak-sorai penonton lebih mendukung kesebelasan lawan, tetapi tim yang bermental kuat setanguh batu karang tidak akan terusikSebaliknya malah bagai energy baru karena kehendak membuktikan, “kami lebih unggul.”
Tim tangguh macam itu tak tiba-tiba munculTetapi melalui sebuah proses panjangPertanyaannya, apakah timnas kita sudah berproses panjang sehingga sikap mental, pisik dan taktik strategi yang memang standar – bahkan punya keunggulan komparatif yang tak dipunyai lawan -- tidak akan goyang hanya karena sorak-sorai suporter lawan?
Jawabannya tentu kita tunggu di MalaysiaTimnas harus membuktikan bahwa kebangkitan timnas PSSI bukan semata karena “kegilaan” supporter di IndonesiaTidak juga karena masuknya “darah baru”, Irfan dan GonzalesBahkan sama sekali bukan karena factor kebetulan Indonesia bisa menangTetapi sesuatu yang terencana dengan matang.
“Harus menang” sesungguhnya bisa berubah menjadi beban mental dan bahkan “penyakit.” Harapan yang terlalu menggunung itu akan mendera pisik dan mental para pemain sehingga konsentrasi permainan tidak fokusLama-lama bisa nervousTidak lagi rileks dalam bermainDengan demikian, beban “harus menang” itu bisa menjadi boomerang yang membunuh diri sendiri.
Padahal dalam bermain dibutuhkan suasana hati yang penuh “mood.” Rada relaxationSehingga permainan menjadi sebuah seni yang diekpresikan suasana hati dan mental dan menjalar ke jasmani serta kemudian terjelma dalam taktik statregi yang jituKata kuncilnya, harus nothing to lose.
Saya ingat Lukman Setiawan, redaktur pelaksana Olahraga Majalah TEMPO pernah mewawancarai Erland Kops, pemain bulutangkis kawakan dari Denmark“Kesalahan dia,” kata Kops seraya mengarahkan telunjuknya kepada Tan Joe Hok dan Ferry Sonneville, “adalah karena memikul beban harus menang setiap kali tampil dalam All England.” Lukman terkesiap
“Tetapi kelemahan saya juga karena beban harus menang itu,” tambah KopsKemudian, Lukman pun mengangguk-angguk.
Barangkali, antitesis dari “mabuk menang” adalah “mental juara.” Sebuah benteng moral dan mental yang menggejala ke pisik dan permainan serta sama sekali terusik oleh berbagai cuaca antusiasme penonton dan khalayak pendukung, baik untuk tim sendiri maupun lawan.
Saya berharap “mental juara” itu yang tersemat di balik dada Firman, Bambang Pamungkas, Irfan, Conzales dan kawan-kawan. Kita bukanlah tentara Jepang yang “mabuk menang” di Pearl HarbourGo a head! (**)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Garuda Tak Terbang
Redaktur : Tim Redaksi