Paradoks Sepakbola & Politik

Sabtu, 18 Desember 2010 – 00:00 WIB

SIAPA sih yang hebat? Irfan Bachdim, striker timnas PSSI di Piala AFF itukah, Conzales, Firman, Bambang Pamungkas, dan pemain bintang lainnya atau publik penonton dan masyarakat sepakbola Indonesia? Anda, pembaca lah yang menjawabnya.

Tetapi harus diakui bahwa peranan penonton, baik langsung di Gelora Bung Karno (GBK) maupun melalui layar televisi dari Sabang hingga Merauke berlakon  sangat besarAntusiasme penonton itu tanpa kotak-kotak politik, tulus sepenuh hati dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang menyemangati anak-anak asuhan pelatih Alfred Riedl tersebut.

Seandainya antusiasme itu mendominasi suasana kita berbangsa dan bernegara, barangkali, program kabinet dan kinerja DPR semakin berkenan di hati rakyat

BACA JUGA: Menyengkeram dan Dicengkeram

Berkenan karena para aktor dan elit Negara dan politik itu kian bergairah, karena apa yang dilakukannya dielu-elukan publik, sebagaimana penonton GBK memberikan hatinya kepada Firman cs.

Dalam praktik komunikasi empirik, hubungan aktor dan rakyat itu dikenal
Lakon Bengkel Teater Rendra kian imajiner ketika dalam suatu adegan puncak Rendra menampilkan gesture dan pause acting yang memukau

BACA JUGA: Polemik Jawa Satu Abad

Apalagi volume vokalnya menaik dan semakin menaik dan menaik, sebelum kemudian drop, antiklimaks
Mungkin hanya gumam atau bisikan

BACA JUGA: Ketika Garuda Tak Terbang

Tapi akibatnya gemuruh bertepuk tangan.

Kepekaan akting Rendra – dulu dalam lakon-lakonnya – semakin terpeliharaKesadaran seni di atas panggung mengalir dan tak terusik, misalnya karena tidak ada penonton yang malah mencuci maki permainan Bengkel TeaterMelainkan dukungan totalitas, sehingga jadilah pentas itu menjadi upacara bersama antara Bengkel Teater dengan audience.

Lakon SBY boleh dikata tidaklah burukPidatonya sangat sistematisRangkaian kalimat dibangun dengan logika, dan juga angka-angka argumentativeTidak betele-tele, tak terlalu panjang, dan pesannya selalu jelasDia pembicara yang baikBukan gombalTetapi juga nalar

Namun, nahasApa saja sikap dan wacana pemerintah yang direpresentasikan oleh Presiden SBY, Wapres Boediono, atau para menteri, termasuk oleh anggota DPR, selalu ditanggapi minorSeakan-akan ada frame, bahwa pemerintah, atau SBY mestilah “salah.” Bukan The King can do not wrong, tetapi sebaliknya.

Mulai dari kasus Century, Munir, tragedy Trisakti dan Semanggi, lambannya pergantian Kapolri dan Jaksa Agung, masalah keistimewaan DIY, soal cicak versus buaya, bencana alam, lambannya penanganan kasus korupsi dan berbagai kasus yang mendera bangsa ini, dilamatkan sebagai “kelemahan atau kesalahan” SBY.

Persis rezim Orde BaruSemua dipersalahkan kepada SoehartoPadahal, yang bercokol di rezim Orde Baru ada banyak menteri, jenderal, para politikus, anggota parlemen, pengusaha papan atas dan sebagainyaKebijakan Orde Baru yang sedemikian luas, baik di bidang politik, ekonomi, social, kebudayaan dan sebagainya, rasanya tak mungkin diputuskan oleh Soeharto sendirianSebelum jadi presiden, dia hanya seorang Mayor Jenderal di Kostrad yang tak mungkin tahu segala hal.

Bahkan yang diadili di meja hijau pun hanya segelintirKasus Soeharto terputus di “tengah jalan” karena kondisi kesehatan yang secara hukum memungkinkan dia tak bisa dilanjutkan peradilannyaUniknya, tokoh lain di sekitar Soeharto tak tersentuh hukumSemua bebas melenggang kangkung.

Padahal sedemikian banyak kebijakan Orde Baru yang salahDi berbagai bidangYa, ekonomi, hukum, social, HAM, hingga kekerasan dan penghilangan nyawa serta lain sebagainyaTetapi Soeharto diadili dan dipersalahkan justru setelah ia tak berkuasa, dan terus dipersalahkan setelah beliau meninggal dunia.

Memang yang “selalu menyalahkan” SBY hanya segelintir para pengamat, politikus, NGO tertentuBelum tentu juga mewakili ratusan juta rakyat IndonesiaBuktinya, dalam Pilpres, SBY memenangkan pertarunganNamun pengaruhnya ketika ditayangkan di televisi atau media cetak bisa merasuki banyak orang.

Sampai ada komentar di facebook, bahwa kita susah payah menang 2-1 melawan Thailand gara-gara SBY, Ibu Ani dan sejumlah menteri menonton laga itu melalui televisi  dan disyiarkan media pulaAstaga! Bahkan ia menulis syair lagu dan menyanyikannya pun dipersalahkan, bak kisah ayah dan anak dengan seekor keledai yang serba salah itu.    

Bukannya kritik tidak penting, bahkan perlu, sepanjang tak melihat dunia ini dengan “kacamata hitam” meluluTetapi ibarat permainan sepakbola dan lakon teater, para aktor kenegaraan pun membutuhkan good will masyakaratBurung merak? Yang jika semakin disorak-sorai semakin menjadi? Ya, manusiawi belaka.

Tak hanya Rendra yang seperti itu, Juga Sutardji Calzoum Bakhri, Bung Karno, Iwan FalsManusia itu ada narsisnya, anugerah Ilahiat belaka, sepanjang tidak berlebihan melampaui porsinyaNarsis dan Marxis itu bedaYang terakhir ini memang melegitimasi pertentangan kelas sebagai paradigm perjuangan.

Ada yang bilang bahwa Bung Karno dan Rendra patut dielu-elukan karena kualitas penampilannya memang patut dipujiKinerja SBY, bagaimana? Tak patut dipuji? Soal korupsi dinilai gagal karena semakin banyak saja kasus korupsi yang tersibakkan di Indonesia.

Tunggu duluBukankah itu sebuah sukses? Justru akan dinilai gagal manakala kasus korupsi semakin sedikit yang terungkap padahal reformasi birokrasi belum terselenggara dengan baik, bahkan masih jauh panggang dari api.

Resumenya, penegakan hukum telah bekerja dan akan terus bekerjaJangan kaget jika akan semakin kasus korupsi yang terungkap di masa depanMungkin, memang tidak drastisKorupsi habis dalam tempo sekejab? Mustahil.

Ekspektasi public mungkin terlalu besarBagus-bagus saja sehingga menjadi cemeti bagi pemerintahan SBY untuk bergerak tahap demi tahap dengan tren yang kian baikPula penegakan hukum tak seperti perang yang tinggal menembakkan peluru untuk membunuh musuhSelalu ada proses, apalagi sistem  meja hijau mengenal hirarki dari tingkat pertama hingga kasasi bahkan peninjauan kembali.

Kita harus belajar dari lapangan hijau tatkala timnas memenangkan empat pertarungan melawan Malaysia, Laos, Thailand dan FilipinaDukungan semua stasiun televisi, infotainment, media radio, dotcom, termasuk fans sepakbola dari berbagai lapisan social, termasuk selebritis dan gadis-gadis cantik, penonton berjubel adalah sesuatu yang tak dimiliki pentas politik di negeri ini.

Di GBK tak ada bendera parpol,  LSM pengunjuk rasa serta kaum oposanDi GBK hanya ada pecinta sepakbola yang merindukan nama PSSI kembali berkibar, kendatipun banyak yang tak menyukai Nurdin Halid, ketua umum PSSI ituTapi apalah arti Halid dibanding Indonesia, seperti halnya SBY dibanding negeri ini?

Panggung politik bolehlah belajar dari politik sepakbola yang menyatukan, bukannya memisahkan karena politik kepentingan dan kepentingan politik.(***)

  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dradjad Wibowo pun Menangis


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler