Negara Totaliter

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 16 Juni 2022 – 17:54 WIB
Despotisme baru tidak melanggar hukum, tetapi menggunakan hukum. Ilustrasi. Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Ada beberapa persamaan, di samping perbedaan yang menyolok dari pemikiran tokoh kenegaraan seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jaques Rousseau mengenai bentuk negara. 

Mendirikan negara berarti menyerahkan beberapa hak kepada negara, dan hak yang tersisa menjadi pagar pembatas bagi kekuasaan negara supaya tidak menerobosnya.

BACA JUGA: Ahmad Doli: Penyempurnaan Aturan Dilakukan untuk Menjaga Demokrasi

Hobbes dengan negara Leviathan mengandaikan kekuatan yang mutlak kepada negara untuk mengatur rakyat dengan kekerasan dan hukuman.

Hobbes menganut paham absolute power, negara mempunyai kekuasaan mutlak dan menolak adanya lembaga perwakilan. 

BACA JUGA: Soal Isu Amendemen UUD 1945, HNW Bilang BP MPR Telah Buat Kesepakatan Bulat, Apa ya?

Locke tidak sepakat dengan Hobbes dan mencetuskan gagasan adanya konstitusi untuk membatasi kekuasaan si monster Leviathan. 

Locke menggagas terbentuknya lembaga perwakilan yang dibaginya dalam tiga badan ala Montesquieu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. 

BACA JUGA: Amendemen Bisa Mensahkan Presiden 3 Periode, tetapi Risikonya Luar Biasa

Sementara itu, Rousseau menganut paham negara totaliter, rakyat melepaskan diri seluruhnya ke dalam negara melalui kehendak bersama, atau general will.

Negara harus menjadi total karena menjadi perwujudan yang identik dengan rakyat. 

Negara adalah kehendak rakyat sendiri, karena negara dan rakyat melebur menjadi satu. 

Negera tidak berhadapan dengan individu-individu. 

Karena itu, negara dalam versi Rousseau mempunyai kekuasaan tak terbatas, dan tanpa jaminan nyata apa pun bagi hak-hak rakyat. 

Pandangan Rousseau ini mudah diselewengkan menjadi semacam anarki kalau fungsi trias politica tidak berjalan dengan baik. 

Revolusi Prancis banyak diilhami oleh Rousseau. 

Pemimpin revolusi Maximillian Robespierre adalah pengikut fanatik Rouseeau. 

Dia memperkenalkan penjagalan guillotine untuk menggorok leher siapa saja yang tidak setuju dengan kekuasaan mutlak general will. 

Pada akhirnya Robespierre sendiri yang dipotong lehernya dengan guillotine.

Revolusi Prancis kemudian melahirkan demokrasi di seluruh Eropa. 

Vox populi vox dei adalah adagium yang sering menjadi ungkapan untuk mewakili suara rakyat sebagai legitimasi kekuasaan. 

Para penguasa totaliter mengatasnamakan rakyat untuk menindas rakyat. 

Karena itu rakyat mengingatkan bahwa suara mereka adalah suara Tuhan. 

Melalui ungkapan ini, para pejuang dan rakyat kaum minoritas berharap agar suara mereka didengarkan. 

Mereka berharap agar para penindas itu mempertimbangkan bahwa ada sesuatu yang suci dan kudus datang dari rakyat kecil dan sederhana.

Dalam sebuah negara demokrasi yang pluralistik, kaum tertindas dan terpinggirkan itu menjadi minoritas. 

Mereka menjadi minoritas sering terpinggirkan karena kehadiran mereka menjadi semacam ancaman bagi kemapanan kaum mayoritas. 

Apalagi bila kehendak kaum minoritas itu berbeda dengan kehendak kaum mayoritas.

Klaim kelompok mayoritas itu selalu mengatasnamakan kehendak umum atau general will yang kemudian dipakai sebagai legitimasi untuk menindas.

Rousseau melihat bahwa negara terbentuk karena adanya ‘’general will’’, kehendak umum.  

Fenomena ‘’kehendak rakyat’’ ini sering dimanipulasi oleh rezim untuk melegitimasi kekuasaannya atas nama kesejahteraan rakyat.

Negara yang berdasarkan general will mudah terpeleset menjadi despotisme. 

Ketika segala cara dilakukan penguasa untuk mengukuhkan kekuasaan dan menghimpun semua sumber daya dengan tetap berupaya menjaga dukungan publik dan menjaga institusi-institusi demokrasi, itu adalah bentuk despotisme.

Dalam perkembangannya, despotisme berkembang menjadi varian baru yang disebut sebagai ‘’the new despotism’’. 

Despotisme baru berbeda dengan despotisme klasik. 

Despotisme lama mengacu pada prakrik kekuasaan otoriter dan pemberlakuan hukum sewenang-wenang tanpa persetujuan rakyat. 

John Keane dalam ‘’The New Despotism’’ (2020) memerinci perbedaan antara despotisme lama dan baru. 

Despotisme baru mengandalkan pada perluasan kekuasaan eksekutif dengan mengendalikan peradilan. 

Pemilihan umum, prosedur demokrasi, dan lembaga pemerintahan tetap eksis sebagai sarana untuk menyelenggarakan demokrasi prosedural.

Depotisme baru membutuhkan lembaga demokrasi dan pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, agar menjadi lebih kuat, tahan lama, dan efektif.

Penguasa mengartikulasikan diri sebagai elite yang berdiri di puncak hierarki politik. 

Mereka menggabungkan kekuatan modal, teknologi, media, serta tentara dan polisi.

Despotisme baru berjalan di rel hukum dan prosedur demokrasi sebagai formalitas, sedangkan substansi demokrasi menjadi kosong. 

Ini berbeda dengan despotisme klasik yang merupakan sistem kekuasaan yang tak terbatas dan sewenang-wenang.

Despotisme klasik dijalankan dengan menabrak dan melanggar hukum, mengkhianati demokrasi, bahkan mematikan lembaga-lembaga demokrasi. 

Tujuannya mengukuhkan kekuasaan, mematikan aspirasi dan protes rakyat, memosisikan rakyat dalam kontrol penuh penguasa.

Despotisme baru tidak menjalankan praktik brutal seperti itu. 

Despotisme baru berjalan sesuai hukum, mengikuti prosedur demokrasi, dan menjaga lembaga-lembaga demokrasi. 

Dalam praksis despotisme baru, ketaatan pada hukum itu bertujuan mengukuhkan kekuasaan.

Menjaga institusi demokrasi dan mengikuti prosedur demokrasi juga untuk mengukuhkan kekuasaan. 

Yang terjadi kemudian adalah ketaatan hukum semu dan demokrasi semu. 

Negara semakin kurang menghormati kebebasan sipil. 

Intervensi negara pada kehidupan privat warga negara makin kuat. 

Pelemahan-pelemahan terhadap institusi publik dilakukan dengan mengabaikan transparansi, mengabaikan partisipasi publik.

Pelemahan demokrasi dengan praksis despotisme baru dilakukan dengan beberapa cara. 

Koersi makin sering dilakukan, dan  negara menggunakan dan memanfaatkan hukum untuk melemahkan supremasi hukum. 

Selain itu, negara memobilisasi pers dan media sosial aneka platform untuk membentuk konstruksi sosial terhadap tindakan negara.

Koersi adalah bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan dengan menggunakan tekanan sehingga salah satu pihak yang berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibandingkan dengan pihak lawan. 

Koersi juga termasuk sistem komunikasi yang menggunakan paksaan dan kekerasan.

Kekuatan-kekuatan politik dihimpun dalam sebuah koalisi besar yang mampu menentukan berbagai legislasi, meskipun tidak sesuai dengan aspirasi publik.

Koalisi besar ini memakai hukum untuk memperlemah hukum. 

Atas nama kesejahteraan rakyat, atas nama pembangunan, negara melakukan berbagai pelanggaran itu. 

Negara melakukannya melalui prosedur demokrasi normal dan tidak melanggar hukum demi mencapai kebaikan warga.

Despotisme baru tidak melanggar hukum, tetapi menggunakan hukum. 

Tidak mengkhianati demokrasi, tapi melemahkan demokrasi. 

Hakikat demokrasi sebagai jalan menyejahterakan rakyat bisa segera terwujud karena para elite sibuk mengukuhkan kekuasaan.

Individu atau organisasi masyarakat sipil yang mengkritik pemerintah akan mendapatkan citra buruk sebagai ‘’public enemy number one’’. 

Despotisme baru mematikan gerakan civil society dengan merangkulnya menjadi bagian dari korporatisme negara. 

Jika rayuan itu tidak berhasil maka gerakan civil society diisolasi dan didiskreditkan. 

Despotisme baru ‘’bebas’’ dari korupsi karena despotisme itu sendiri adalah sistem yang korup. 

Karena despotisme adalah sistem korup, maka korupsi dianggap sebagai bagian inheren dari sistem itu. 

Dalam despotisme baru korupsi menjadi praktik umum yang meluas karena tidak ada sistem kontrol yang efektif dari mekanisme trias politica

Juga tidak ada mekanisme kontrol dari publik melalui media yang kredibel dan independen. 

Di kalangan aktivis demokrasi Indonesia, trias politica despotis dipelesetkan menjadi ‘’execu-thieve, legisla-thieve, judica-thieve’’, karena ketiga-tiganya bersama-sama menjadi maling atau garong kekuasaan yang mengorupsi uang rakyat secara berjemaah. 

Dalam sistem negara despotis, korupsi dilakukan secara sistemis dan melibatkan elite-elite politik tertinggi, yang mendapat restu langsung maupun tidak langsung dari presiden sebagai pemimpin tertinggi negara dan pemerintahan. 

Dalam sistem despotis lembaga antikorupsi dibentuk, tetapi hanya menjadi aksesoris supaya terlihat demokratis. 

Dalam praktiknya, lembaga anti-korupsi itu dilemahkan sehingga menjadi mandul dan tidak berdaya.

Pada akhirnya despotisme baru bisa melakukan apa saja dengan memakai mekanisme demokrasi formal. 

Untuk mengubah konstitusi pun, tidak ada kesulitan yang berarti bagi despotisme baru, karena semua persyaratan demokratis sudah dikuasai. 

Mayoritas suara parlemen sudah dikuasai sehingga tidak sulit untuk mencapai 2/3 suara untuk mengubah konstitusi.

Despotisme baru sudah muncul di Rusia dan China dan juga Turki dengan modelnya masing-masing. 

Tidak mustahil bentuk despotisme baru akan muncul di Indonesia dengan varian yang berbeda, entah kapan. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler