jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito dalam menata perberasan melalui kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak hanya memberikan dampak positif bagi industri perberasan nasional.
Akan tetapi membuat harga beras stabil dan konsumen menikmati harga lebih murah dibandingkan sebelum HET.
BACA JUGA: Mantan Danpampres: Lebih Baik Bertani Daripada Sibuk Politik
Kepala Pusat dan Sistem Informasi, Kementerian Pertanian (Kementan), Suwandi, menuturkan setelah pemberlakuan HET, harga beras premium di ritel dan pasar modern wilayah Jakarta dan sekitarnya saat ini turun mencapai 50 persen.
Harga beras yang semula Rp 22.000 hingga Rp 36.000 per kg, turun menjadi Rp 12.800 per kg.
BACA JUGA: Ini Cara Dirjen Peternakan Urai Permasalahan Perunggasan
“Sebagai pembanding, harga beras di supermarket di Vietnam pada bulan September 2017 beras varietas Nang-Xuan Rp 15.185 perkg, Lai sua Rp 15.318 perkg, Tran chau Rp 16.916 perkg, Bac Tham Nam Dinh Rp 18.914 perkg, dan Dac San Thai Duong Rp 16.250 perkg, bila dengan nilai kurs Rp 13.320 per USD,” ungkap Suwandi yang menjabat sebagai juga sebagai Plt. Kepala Biro Humas dan Informasi Publik di Jakarta.
Selanjutnya berdasarkan penelusuran Tim Kementan pada 1 Oktober 2017 di beberapa supermarket di My Tho City, Provinsi Tien Giang, Vietnam, harga beras berkisar 11.400 hingga 24.000 Namdong.
BACA JUGA: Mentan: Mau Jadi Investor, Harus Punya Uang Tunai
Harga tersebut setara dengan Rp 6.758 hingga 14.227 per kg.
“Dengan fakta ini terlihat harga beras di Vietnam tidak jauh berbeda dengan Indonesia,” sambung Suwandi.
Untuk diketahui, stok beras BULOG saat ini mencapai 1,53 juta ton. Suwandi menilai stok tersebut aman untuk memenuhi kebutuhan beras hingga tujuh bulan ke depan yaitu April 2018 dan pada Februari-April 2018 akan panen raya padi. Sejak tahun 2016 Indonesia sudah swasembada beras karena konsumsi beras sudah dipenuhi dari produksi dalam negeri.
“Indonesia sejak Januari tahun 2016 hingga awal Oktober 2017 ini tidak mengeluarkan rekomendasi impor maupun ijin impor beras medium,” tuturnya.
Suwandi pun menegaskan berdasarkan data BPS Januari hingga Agustus 2017, Indonesia impor beras 191 ribu ton.
Ini bukan impor beras medium, tetapi beras pecah 100% (menir) sebesar 188 ribu ton dan sisanya berupa benih dan beras khusus.
“Beras khusus yang tidak tidak diproduksi di dalam negeri seperti: Thai Hom Mali, Thai Jasmine Rice, Parboiled Rice, Basmati, dibutuhkan untuk restoran asing yang ada di Indonesia,” tegasnya.
“Ekspor-impor jenis beras khusus ini wajar dalam perdagangan dunia karena tidak diproduksi di dalam negeri. Indonesia juga sudah ekspor beras merah, beras hitam, beras organik dan lainnya,” imbuh Suwandi.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan komoditas pertanian Januari hingga Agustus 2017 surplus USD 10,98 miliar.
Surplus ini diperoleh dari ekspor sebesar USD 22,18 miliar dikurangi impor sebesar USD 11,20 miliar.
Surplus neraca perdagangan ini naik 101 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2016 surplus USD 5,46 miliar.
Kontribusi terbesar surplus dari ekspor sawit dan karet, serta sebagian berasal dari penurunan impor pangan dan ada kenaikan ekspor pangan.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mentan Tambah Dana Rp 200 Miliar, Semua Harus Kerja Keras
Redaktur & Reporter : Natalia