jpnn.com - Video lama itu beredar lagi, menjadi viral, dan mendapat respons ramai dari netizen.
Ali Mochtar Ngabalin, tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) sudah agak lama tidak membuat kontroversi.
BACA JUGA: Jokowi, Pak Harto, dan ASEAN
Rupanya banyak yang kangen sehingga warganet mengunggah lagi video Ngabalin yang menyebut Wali Sanga berasal dari China.
Video tersebut diambil pada 2020 dan pada waktu itu sudah memantik perdebatan ramai di kalangan netizen.
BACA JUGA: Mahfud MD Malu Jadi Orang Indonesia
Ngabalin memberikan pernyataan itu pada 9 Maret 2020 ketika diundang menjadi salah satu narasumber di Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Samantabadra-NSI di Jakarta Selatan.
Rupanya banyak yang kangen kepada Ngabalin sehingga video itu diunggah ulang di Twitter dan Instagram sampai menimbulkan perdebatan ramai. Mungkin video ini di-repost dalam rangka menyambut Imlek tahun ini.
BACA JUGA: Imlek dan Kelinci Air
Ngabalin dalam potongan video yang beredar tersebut mengatakan Wali Sanga yang diyakini sebagai penyebar Islam di Nusantara itu berasal dari China.
"Baca itu itu sejarah Wali Sanga yang dipuja-puji umat Islam itu. Bangsa apa mereka? Bangsa China,’’ kata Ngabalin.
Lalu Ngabalin melanjutkan ucapannya, "my father is China, my mother is China."
Netizen cepat merespons. Ada yang mengatakan Ngabalin salah persepsi dan tidak bisa membedakan antara Wali Sanga dengan Sembilan Naga.
Dua-duanya sama-sama berjumlah sembilan. Bedanya, Wali Sanga menyebarkan Islam di Nusantara, sedangkan Sembilan Naga menyebarkan investasi di ibu kota Nusantara.
Pembicaraan Ngabalin hanya dipotong pendek sehingga tidak jelas konteksnya. Mungkin Ngabalin ingin mengatakan bahwa etnis China di Indonesia mempunyai peran yang penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Salah satu buktinya adalah Wali Sanga yang mempunyai garis keturunan dari China.
Debat mengenai asal-usul penyebaran Islam di Indonesia sudah berlangsung lama. Ada yang berpendapat bahwa penyebar Islam pertama adalah para pedagang Gujarat, India.
Salah satu di antara Wali Sanga ialah Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Maulana Malik Ibrahim adalah guru bagi para wali lainnya dan dianggap sebagai ulama pionir yang menyebarkan Islam di Jawa.
Asal-usul Sunan Gresik masih diperdebatkan. Berbagai sumber menyatakan ia dilahirkan di Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah pada awal abad ke-14.
Pendapat lain mengatakan bahwa sang wali berasal dari Arab, kemudian hijrah ke Gujarat, India, lalu berkelana ke Malaka, hingga sampai di Pulau Jawa.
Terdapat penelitian sejarah yang menyatakan bahwa di antara para wali itu ada yang keturunan China. Salah satu yang paling terkenal ialah Sunan Ampel di Surabaya yang dikenal sebagai Raden Rahmat.
Garis keturunan China pada Raden Rahmat menurun dari ibunya yang merupakan bangsawan Kerajaan Champa.
Catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong menyebut Sunan Ampel mempunyai nama China Bong Swi Hoo.
Sunan Ampel adalah cucu dari Haji Bong Tak Keng, seorang Tionghoa asal suku Hui yang beragama Islam mazhab Hanafi. Haji Bong Tak Keng ditugaskan oleh Sam Po Bo untuk menjadi pemimpin komunitas Tionghoa di Champa.
Disertasi yang ditulis oleh Dr. Tan Ta Sen dari Universitas Indonesia (UI) -diterbitkan menjadi buku berjudul ‘Cheng Ho’ oleh penerbit Kompas (2010)- mendedahkan ekspedisi Laksamana Cheng Ho pada abad ke-15 ke Nusantara membawa misi budaya, dagang, dan agama.
Laksamana Cheng Ho beragama Islam. Oleh karena itu, ekspedisi tersebut juga membawa misi penyebaran Islam.
Dr Tan Ta Sen adalah presiden International Cheng He Society yang juga direktur Cheng Ho Cultural Museum, Malaka. Disertasi doktoralnya dibimbing oleh Prof. Abdullah Dahana yang dikenal sebagai sinolog atau ahli sejarah China terkemuka di Indonesia.
Cheng Ho melakukan ekspedisi besar sebanyak 7 kali, berkeliling Samudera Barat sejak 1405 sampai 1433. Armada Cheng Ho yang membawa belasan kapal dengan awak ribuan orang mengelilingi 33 negara di Asia dan Afrika.
Wilayah-wilayah penting di Asia Tenggara yang disinggahi Cheng Ho, antara lain, Champa, Zhenla, Siam, Malaka, Jawa, Palembang, Samudra, Aru, Pahang, Kelantan, dan Sulu.
Cheng Ho dalam ekspedisinya biasanya meninggalkan anak buahnya di beberapa tempat lokal untuk tinggal dan bermukim.
Sebagai jenderal yang beragama Islam, Cheng Ho diyakini membawa banyak anak buahnya yang juga muslim. Di beberapa wilayah Nusantara, anak buah Cheng Ho berkawin-mawin dengan perempuan lokal dan menyebarkan Islam di lingkungan baru mereka.
Hasil disertasi Dr. Tan Ta Sen memperlihatkan adanya dimensi baru dalam penyebaran awal Islam Indonesia di Nusantara.
Jejak pengaruh Islam dari China sangat jelas terlihat di Jawa dan Sumatra. Almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pun mengaku bahwa ia punya darah keturunan China dari garis leluhur yang menyambung sampai ke para wali keturunan Tionghoa itu.
Di sisi lain, Prof Dr. Hamka percaya bahwa jalur penyebaran Islam di Nusantara datang langsung dari Makkah, yang berarti ‘mutawatir’ langsung bersambung kepada Rasulullah.
Hamka mengungkapkan berdasarkan naskah kuno Tiongkok, sekitar 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatra Barat di daerah Barus.
Marco Polo —seorang penjelajah dari Venesia— saat singgah di Pasai pada 1292 M mengungkapkan telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam di Nusantara.
Perkembangan Islam di Nusantara makin pesat pada abad ke-16 M. Islam telah menyebar secara merata ke seluruh wilayah Nusantara, termasuk di wilayah timur melalui Kesultanan Tidore yang menguasai wilayah Papua sejak abad ke-17 M.
Studi Hamka diperkuat oleh Prof. Azyumardi Azra yang melakukan penelitian ekstensif mengenai perkembangan Islam di Nusantara dan Asia Tenggara. Studi Azyumardi ini dianggap paling otoritatif karena ruang lingkup penelitiannya yang sangat luas.
Menurut Azyumardi para penyebar awal Islam di Nusantara adalah para ulama yang langsung dididik di Makkah dan Madinah, serta mendapatkan ijazah yang langsung bersambung ke Rasulullah.
Para ulama seperti Al Raniri dan Al Sinkili di Aceh, Syech Yusuf Al Makassari di Makasar, dan Al Bantani di Banten, adalah lulusan langsung dari Makkah dan Madinah yang kemudian menyebarkan Islam ke Nusantara dan Asia Tenggara.
Jejak China di penyebaran Islam Indonesia menjadi bagian dari sejarah. Namun, hal itu tidak perlu dipolitisasi untuk membenarkan kebijakan pro-China yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.
Jejak dakwah Islam dari China di Indonesia tidak banyak membantu asimilasi dan integrasi etnis Tionghoa dengan pribumi di Indonesia.
Karena politik belah bambu penjajah Belanda, etnis Tionghoa di Indonesia tidak menyatu dengan pribumi dan menjadi ekslusif bersama masyarakat Eropa.
Tidak banyak etnis Tionghoa di Indonesia yang memeluk Islam. Di antara mereka lebih banyak yang memeluk Kristen, Katolik, Buddha, maypun Konghucu.
Hal ini menghalangi integrasi dan asimiliasi. Di Filipina dan Thailand, etnis Tionghoa menyatu dengan pribumi karena memeluk agama mayoritas pribumi. Ketegangan dan kerusuhan rasial nyaris tidak ada di kedua negara itu.
Di Indonesia polarisasi itu terlihat makin mencolok dalam beberapa tahun terakhir ini. Ketegangan rasial itu menjadi api dalam sekam yang setiap saat bisa membakar.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Budak
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi