Berbeda dengan beberapa negara Barat yang menganut strategi 'hidup bersama virus', Tiongkok mengambil kebijakan 'nol kasus' COVID19 dengan aturan yang ketat.
Tapi risikonya, Tiongkok bisa tertutup untuk dunia luar sampai tahun 2023.
BACA JUGA: Panglima TNI Datang ke Sumbar, Dia Mengingatkan Soal Pelacakan!
Varian Delta yang menyebar dengan cepat memaksa beberapa negara yang melakukan 'lockdown' ketat, seperti Singapura dan Australia, mulai berpikir ulang mengenai strategi tersebut.
Ketika seorang pakar penyakit menular Tiongkok menyarankan hal yang sama bulan lalu, muncul tentangan besar baik dari Pemerintah maupun dari netizen di Tiongkok.
BACA JUGA: Kesadaran Patuh Prokes Ternyata Masih Rendah, Siap-siap Saja!
Zhang Wenhong, direktur penyakit menular di sebuah rumah sakit besar di Shanghai, menulis sebuah unggahan di jejaring sosialnya.
"Semakin banyak orang yang merasa pandemi tidak akan berakhir dalam waktu dekat dan juga mungkin tidak akan berakhir dalam jangka panjang," tulisnya.
BACA JUGA: Begini Caranya Agar Lansia Tak Takut Vaksin COVID-19
"Banyak pakar penyakit menular di seluruh dunia percaya sekarang virus corona sudah menetap dan dunia harus belajar hidup berdampingan dengannya."
Unggahan itu muncul di saat Tiongkok menghadapi penularan varian Delta, yang menyebar dari Nanjing ke 12 kota lainnya dalam beberapa pekan terakhir.
Jumlahnya masih rendah sekitar 100 kasus per hari di negara yang berpenduduk 1,4 miliar tersebut.
Namun adanya kasus penularan baru ini membuat Dr Zhang menyarankan agar Tiongkok mulai membuka diri dari kebijakan ketat yang diberlakukan saat ini, seperti melarang warga Tiongkok bepergian ke luar negeri, kebijakan yang mirip di Australia.
"Setelah kasus penularan di Nanjing, kita pasti akan belajar lebih banyak lagi," tulisnya.
"Cara Tiongkok memilih masa depan haruslah memastikan warganya berbagi masa depan dengan dunia lainnya, dan di saat yang sama melindungi warganya dari ketakutan terhadap virus."
Dr Zhang sebelumnya dikenal sebagai pakar yang mendukung kebijakan 'lockdown' ketat selama pandemi.
Tapi kini dengan pandangan barunya soal "hidup bersama virus", yang juga sudah diterima di banyak negara, menimbulkan reaksi negatif dari Pemerintah Tiongkok. Tiongkok ingin 'menang perang' melawan virus
Mantan menteri kesehatan Tiongkok, yang mungkin sudah mendapat izin dari Pemerintah Tiongkok, menggunakan tajuk rencana harian resmi pemerintah People's Daily bulan ini untuk menentang pendapat Dr Zhang.
Tanpa menyebut nama dokter Zhang, mantan menteri Gao Qiang menulis "Beberapa pakar di Tiongkok menilai pendekatan yang dilakukan Inggris, Amerika Serikat dan beberapa negara lain untuk 'hidup berdampingan dengan virus' menjanjikan 'keterbukaan' sementara pendekatan karantina Tiongkok membatasi."
Dia mengatakan negara-negara Barat "yang mencabut atau melonggarkan" aturan 'lockdown 'menunjukkan dominasi dan pengaruh mereka.
Gao mengatakan keputusan tersebut dibuat tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan warga.
"Ini adalah keputusan salah saat mencegah epidemi yang disebabkan karena buruknya sistem politik di Inggris, Amerika Serikat dan negara lain," tulisnya.
"Ini juga hasil dari pendekatan yang mementingkan hak individu."
Gao juga memberikan gambaran adanya perang antara virus dan kemanusiaan, dengan mengatakan Tiongkok tidak melihat jika vaksinasi akan cukup untuk memenangkan perang.
Dr Zhang bukanlah satu-satunya suara yang menyarankan agar Tiongkok melonggarkan dan keluar dari pembatasa aturan terkait COVID-19.
Mantan pakar penanggulangan penyakit Feng Zijian mengatakan minggu lalu jika Tiongkok bisa kembali ke kehidupan normal ketika tingkat vaksinasi dicapai pada titik tertentu.
Komentarnya kemudian menghilang dari internet.
Polisi di provinsi Jiangxi bahkan menahan seorang pria yang memberikan komentar mendukung pelonggaran pembatasan, menurut media lokal.
Sensor terhadap komentar Dr Feng ditambah dengan tajuk Menteri Gao tampaknya menunjukkan sikap yang masih dianut Tiongkok untuk berusaha menghentikan penyebaran virus dengan segala cara, berbeda dengan apa yang dilakukan negara-negara lain.
Ini menjadi menarik melihat bahwa dalam enam bulan mendatang Tiongkok akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin.
Pihak berwenang belum mengeluarkan rencana bagaimana pengaturan atlet yang datang dari negara-negara yang memiliki banyak kasus COVID-19. Bisakah Tiongkok yang terisolasi tetap berkembang?
Rujuan Gao mengenai kelemahan sistem politik negara-negara Barat adalah hal yang sudah biasa di Tiongkok, di mana pimpinan Partai Komunis Xi Jinping digambarkan berhasil menangani penularan COVID.
Ini sekaligus upaya Tiongkok untuk membuktikan mereka memiliki sistem yang lebih hebat ketimbang dunia barat.
"Mereka menciptakan gambaran bahwa dengan adanya nol kasus sebagai keberhasilan, jadi beralih dari kebijakan itu akan memerlukan perubahan pandangan publik," kata Ian Chong, pengamat politik dari National University Singapore.
"Dengan dengan adanya varian Delta dan mungkin juga dengan varian berikutnya, menekan kasus hingga nol mungkin lebih susah. Jadi diperlukan indikator kesuksesan bagi partai dan kepemimpinan."
Untuk sementara, paling tidak dari pandangan mantan menteri kesehatan Gao, Tiongkok masih berusaha memastikan virus tidak akan menyebar luas di sana.
"Sejarah keberhasilan manusia untuk berkembang adalah sejarah memerangi virus sampai mati," tulisnya.
"Pilihannya manusia menghilangkan virus atau manusia yang ditelan oleh virus.
"Manusia tidak pernah hidup 'berdampingan' dengan virus dalam waktu yang lama."
Di saat negara yang mengandalkan pariwisata mengalami keterpurukan ekonomi karena penutupan perbatasan, Tiongkok tidak mengalaminya.
Warga juga tidak menunjukkan rasa ketidakpuasan karena tidak bisa ke luar negeri, karena hanya sekitar 10 persen penduduk Tiongkok yang memiliki paspor.
Walau susah mengukur pendapat publik di sana, namun terisolasinya Tiongkok saat ini tidak akan meningkatkan tekanan politik di dalam negeri, seperti yang terjadi di Australia. Apakah Tiongkok khawatir dengan kekuatan vaksinnya?
Yanzhong Huang, peneliti masalah kesehatan global di lembaga pemikir Council on Foreign Relations di Amerika Serikat mengatakan pendekatan nol kasus virus masih sangat populer di Tiongkok saat ini.
Namun dia mengatakan alasan mengapa kebijakan itu dianut, adalah mungkin kekhawatiran pemimpin Tiongkok mengenai vaksin negara mereka.
"Saya kira mereka tidak sepenuhnya percaya dengan tingkat efektivitas vaksin mereka dalam mencegah penularan varian Delta," katanya kepada ABC.
Tiongkok sudah melakukan 1,7 miliar dosis vaksinasi, dengan menggunakan dua vaksin buatan sendiri Sinopharm dan Sinovac.
Berarti sekitar 60 persen dari jumlah penduduk di Tiongkok sudah mendapat vaksinasi dua dosis.
"Vaksin itu masih efektif, saya kira, untuk mencegah kasus yang parah. Namun untuk sebuah negara yang mengejar nol kasus, adanya kasus berapa saja masih tidak bisa diterima," kata Dr Huang.
Ia mengatakan saat ini Tiongkok akan tetap mempertahankan kebijakan untuk menekan kasus ke titik terendah.
"Pendekatan ini membuat orang tidak ingin berubah dan itu juga terjadi di Australia juga," katanya.
Walau ini memberikan rasa aman karena adanya penutupan perbatasan, namun menurut Dr Huang ini bisa juga membahayakan.
"Akhirnya ketika sebuah negara menutup diri dari luar dan tidak ada pertukaran secara epidemiologis, maka akan muncul apa yang disebut kesenjangan imunitas," katanya.
"Kecuali kita terus memperbarui vaksin, maka kita akan melihat negara yang menutup diri akan rentan terhadap varian virus yang baru, yang berpotensi lebih membahayakan."
Artikel ini diproduksi dan dirangkum oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Vaksinasi Covid-19 di Jakarta Sedikit Lagi Capai Target 8,9 Juta