Nih, Penjelasan Direktur Politik Dalam Negeri soal Sistem Terbuka Terbatas

Kamis, 11 Mei 2017 – 19:13 WIB
Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Ditjen Polpum) Kemendagri, DR. Bahtiar (kiri, berdiri) membuka acara Dialog Politik. Foto: istimewa for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sistem pemilu terbuka terbatas yang diusulkan pemerintah dalam RUU Pemilu masih menjadi perdebatan.

Meski usulan pemerintah sudah mendapat dukungan dari Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDI Perjuangan di DPR, tapi tampak belum ada satu kesepahaman mengenai sistem yang diusulkan dipakai dalam pemilu legislatif 2019 itu.

BACA JUGA: Badan Kesbangpol Diminta Mulai Sosialisasi Pilkada dan Pemilu 2019

Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Ditjen Polpum) Kemendagri, Bahtiar menjelaskan mengenai sistem pemilu terbuka terbatas.

“Sistem pemilu terbuka terbatas, sebagai sistem campuran, jalan tengah fanatisme penganut sistem terbuka dan sistem tertutup dengan kekurangan masing-masing,” ujar Bahtiar saat dihubungi wartawan, Kamis (11/5).

BACA JUGA: Mulai 2018 Pemerintah Naikkan Bantuan Keuangan Parpol

Sistem pemilu terbuka terbatas ini, lanjutnya, berguna untuk peningkatan kinerja parpol secara kelembagaan dan kinerja caleg secara personel untuk meraih suara di daerah pemilihan masing-masing.

Manfaat sistem pemilu terbuka terbatas, jelas Bahtiar, setidaknya memberi peluang yang sama antara kinerja tiap caleg dengan kinerja partai politik (parpol) secara kelembagaan. Sesuai usulan pemerintah, manfaat itu dapat dipertegas melalui tiga cara penentuan kursi caleg terpilih.

BACA JUGA: Tjahjo Bantah Ada Barter Pasal RUU Pemilu

Pertama, jika dalam pemilu nanti yang mencoblos nama tiap caleg suaranya lebih besar daripada yang mencoblos tanda gambar parpol, maka suara yang mencoblos tanda gambar parpol dikonversi ke suara caleg yang memiliki perolehan suara terbanyak pada dapil terkait dan penentuan kursinya berdasarkan suara terbanyak caleg.

Kedua, sebaliknya jika yang mencoblos nama tiap caleg suaranya lebih kecil daripada yang mencoblos tanda gambar parpol, maka suara yang mencoblos nama tiap caleg dikonversi ke suara parpol dan penentuan caleg terpilihnya berdasarkan nomor urut.

“Ketiga, jika yang mencoblos nama tiap caleg suaranya lebih besar daripada yang mencoblos tanda gambar parpol, maka suara yang mencoblos tanda gambar parpol dikonversi ke suara caleg dan penentuan kursinya berdasarkan suara terbanyak,” beber birokrat bergelar doktor ilmu pemerintahan itu.

Dijelaskan, selama ini, parpol diperlakukan tidak adil karena sebanyak apa pun suara yang mencoblos tanda gambar parpol menjadi tidak bernilai karena secara otomatis tersedot menjadi suara caleg berdasarkan sistem pemilu terbuka murni.

“Walaupun kinerja caleg terpilih itu dalam meraih suara di pemilu lebih rendah daripada kinerja parpol. Sistem pemilu terbuka terbatas berupaya menjembatani kesenjangan tersebut dan bertujuan meningkatkan kinerja parpol secara kelembagaan dan kinerja caleg secara personel untuk meraih suara sebanyak-banyaknya di dapil masing-masing,” ulasnya.

Dikatakan, publik perlu memahami sistem pemilu terbuka terbatas ini secara benar sesuai dengan usulan pemerintah.

Dikatakan, pilihan sistem pemilu yang keliru justru secara sistemik akan melemahkan sistem kepartaian yang pada akhirnya melemahkan sistem demokrasi dan sistem pemerintahan presidensial sesuai amanat konstitusi UUD 1945.

“Pilihan sistem pemilu yang tepat adalah bagian dari upaya pembentuk Undang-Undang, DPR dan pemerintah, untuk mendorong kualitas pemilu dan pilihan sistem pemilu harus mampu mendorong penguatan sistem kepartaian. Jangan sampai sistem kepartaian dilemahkan,” pungkasnya. (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Direktur Politik Dalam Negeri: Pilpres 2019 Jangan Sampai Tegang


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler