jpnn.com, DOHA - Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) kembali kehilangan anggota. Kemarin, Senin (3/12) Qatar memutuskan untuk meninggalkan organisasi yang terbentuk pada 1960 itu. Doha yang bergabung setahun setelah OPEC lahir bakal resmi hengkang pada Januari.
Keputusan itu disampaikan Menteri Negara Urusan Energi Saad Al Kaabi kemarin. Di hadapan media, dia menegaskan bahwa Qatar tidak meninggalkan OPEC karena alasan politik. Meski, keputusan tersebut diambil setelah Qatar menjadi sasaran blokade darat, laut, dan udara oleh Arab Saudi dan sekutu-sekutunya. Blokade itu sudah berlangsung 18 bulan terakhir.
BACA JUGA: PBNU Minta Dubes Osama Dipulangkan ke Arab Saudi
"Kami tidak berkata akan keluar dari bisnis minyak, tapi bisnis ini dikontrol oleh organisasi yang dikendalikan satu negara," tegas Kaabi tanpa menyebut negara yang dimaksud. Namun, selama ini Saudi merupakan negara yang paling berpengaruh dalam OPEC. Riyadh kerap mengambil keputusan sepihak.
Riyadh pula yang menuding Qatar mendanai terorisme. Meski Doha menampik tuduhan tersebut, Saudi bergeming. Bersama sekutu-sekutunya di Jazirah Arab, Saudi mengucilkan Qatar.
BACA JUGA: Pangeran MBS Bakal Tengok Investasi Saudi di Cilacap
Kemarin Kaabi mengaku telah mengomunikasikan keputusan Qatar untuk keluar dari OPEC dengan para petinggi organisasi tersebut. Rencananya Qatar tetap menghadiri pertemuan OPEC di Wina, Austria, pada Kamis dan Jumat mendatang. Qatar juga bersedia mematuhi komitmen apa pun yang lahir dalam pertemuan tersebut nanti.
Dalam pertemuan itu, OPEC mengagendakan pembahasan pengurangan produksi. Dengan demikian, harga minyak mentah bisa naik. Sejak Oktober, harga minyak turun hingga 30 persen. Dari USD 86 (sekitar Rp 1,2 juta) per barel menjadi USD 62 (sekitar Rp 883,7 ribu) per barel.
BACA JUGA: Gara-Gara Khashoggi, MBS Disemprot Macron, Dicuekin Erdogan
Saudi, Rusia, dan Amerika Serikat (AS) menjadi produsen terbesar minyak bumi saat ini. Mereka menyuplai sepertiga kebutuhan minyak dunia.
Setelah tidak lagi berkecimpung di bisnis minyak, Qatar bakal fokus menggarap sektor gas bumi. Sebab, produksi gas bumi negara tersebut lebih besar ketimbang produksi minyak.
"Menghabiskan waktu, usaha, dan sumber daya dalam organisasi yang kami hanyalah pemain kecil bukan hal yang praktis," tegas Kaabi seperti dilansir Reuters.
Doha memang hanya menghasilkan 600 ribu barel minyak bumi per hari (bpd). Jauh berbeda dengan Riyadh yang mencapai 11 juta bpd. Tapi, Qatar adalah penghasil liquefied natural gas (LNG) terbesar di dunia. Per tahun mereka bisa memproduksi 77 juta ton LNG. Pada 2024 mereka punya target meningkatkan produksi LNG menjadi 110 juta ton per tahun.
Perusahaan minyak milik negara, Qatar Petroleum, berencana meningkatkan kemampuan produksi minyaknya dan membangun pabrik etana cracker terbesar di Timur Tengah.
"Banyak pihak akan memolitisasi keputusan ini. Saya memastikan bahwa ini murni keputusan jangka panjang yang benar untuk Qatar," tegas Kaabi.
Keluarnya Qatar dari OPEC cukup mengagetkan meski tidak akan membawa pengaruh besar. Qatar tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang OPEC.
Mantan Chairman OPEC Chakib Khelil menegaskan bahwa keluarnya Qatar akan membawa dampak psikologis. "Ini bisa diikuti anggota yang lain," tegasnya.
Politikus yang pernah menjabat menteri energi Aljazair itu juga menegaskan bahwa keputusan Qatar bisa menjadi sinyal titik balik bersejarah bagi OPEC terhadap Rusia, Saudi, dan AS. (sha/c10/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Arab Saudi Beli Senjata Amerika Senilai Rp 215,6 T
Redaktur & Reporter : Adil