jpnn.com - SUDAH enam tahun lebih Habibie tanpa Ainun. Hasri Ainun Habibie. Perempuan yang menemaninya selama 48 tahun 10 hari. Sepanjang masa tanpa belahan jiwa itu dia rutin mengunjungi makam Ainun.
Di usianya yang kini 80 tahun, Habibie memberikan teladan tentang apa yang dia sebut sebagai cinta ilahiah: sebuah kasih yang melampaui cinta sejati.
BACA JUGA: Ketika Itu Habibie Menangis
Ya, sejak Ainun berpulang pada 22 Mei 2010, Habibie setia mengunjungi pusara kekasih abadinya itu. Setiap ke sana, Habibie selalu mengenakan syal peninggalan Ainun. Syal berwarna krem itu melingkar di lehernya. Melengkapi baju koko yang dia kenakan. Itulah syal pengusir sepi yang membuat Habibie selalu merasa ada Ainun di sisi.
”Ini syal punya Ibu Ainun. Tidak pernah saya cuci. Malam-malam selalu saya bawa ke bantal saya untuk menemani saya tidur. Jadi, saya tidak pernah merasa sendiri,” tutur Habibie kepada Jawa Pos yang mengikutinya nyekar di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Jumat (10/6).
BACA JUGA: Teman Nonmuslim Kaget: 19 Jam? Kamu Bakalan Mati!
Habibie nyekar ke makam Ainun tiap Jumat. Saat berziarah, dia selalu mengenakan pakaian yang sama. Baju koko berwarna putih itu juga pilihan sang istri. ”Pakaian semua Ainun yang pilih,” ungkap dia.
Orang bilang itulah cinta sejati. Namun, bagi Habibie, kasihnya ke perempuan yang dia nikahi pada 12 Mei 1962 itu melebihi cinta sejati. ”Cinta sejati itu bisa dipisahkan oleh maut. Tapi, cinta saya dan Ainun tidak bisa dipisahkan maut,” katanya.
BACA JUGA: Kisah Mantan Guru Berpuasa di Balik Jeruji Besi (2/Habis)
Habibie berkeyakinan bahwa maut yang menjemput Ainun terlebih dahulu tidak bisa menghapus cintanya. ”Cinta yang bahkan maut pun tidak bisa memisahkan itu hanya mungkin terjadi kalau Anda kecipratan atau diberi cinta ilahi,” tuturnya.
***
Cinta ilahiah itulah yang selalu mendorong Habibie rutin mengunjungi makam istrinya. Seperti yang tim Jawa Pos saksikan saat mengikuti rombongan Habibie nyekar. Pagi itu, Jumat (10/6), jam sudah menunjukkan pukul 07.55.
Tidak biasanya Habibie belum terlihat di area Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, tempatnya mengunjungi makam istri tercinta, Hasri Ainun Habibie. Paspampres yang tiba sebagai tim pendahulu mengatakan, Habibie biasanya sudah tiba di lokasi pada pukul 07.00.
Ternyata Habibie terlambat bangun. Setelah bangun untuk sahur dan menjalankan salat Subuh, Habibie sempat tertidur dan bangun lebih siang daripada biasanya. Namun, tekad untuk mengunjungi sang istri membuat Habibie bersikukuh tetap menjalankan ritual Jumat.
Tepat pukul 08.00, rombongan Habibie tiba di TMP Kalibata. Di usianya yang akan menginjak 80 tahun, tubuhnya masih terlihat kuat. Dia melangkah penuh semangat menuju altar pintu masuk TMP. Sejenak dia dan rombongan berhenti. Mereka berdiri dalam sikap sempurna. Menghadap monumen TMP Kalibata dan memberikan hormat.
Dia kemudian menuju pusara Ainun yang berlokasi di kavling nomor 121. Tidak jauh dari pusara Jenderal Besar A.H. Nasution dan mantan Wakil Presiden Sudharmono.
Sesampai di pusara itu, Habibie langsung mengalungkan tasbih di nisan sambil berbisik. Itulah bisikan kerinduan kepada Ainun. Doa demi doa mulai dipanjatkan. Puisi cinta untuk Ainun pun dibacakan Habibie. Lantang.
Kata demi kata cinta terlontar tulus dari mulut Habibie. Matanya yang berbinar mulai basah dan menitikkan air mata. Selepas melantunkan doa dan puisi di pusara Ainun, Habibie menaburkan bunga serta menyiram makam Ainun.
Waktu yang sudah menunjukkan pukul 09.15 membuat Habibie dan rombongan bergegas meninggalkan TMP Kalibata. Dia beranjak menuju Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, tempat papi dan maminya dimakamkan. Di sana, Habibie juga memanjatkan doa.
Jika sedang berada di Indonesia, setiap Jumat insinyur penerbangan itu selalu datang ke makam Ainun dan kedua orang tuanya. Saat sedang berada di luar kota pun, Habibie mengusahakan untuk kembali ke Jakarta pada Kamis karena keesokan harinya dia akan nyekar ke makam Ainun. Ketika tidak mengunjungi makam pun, doa-doa Habibie tidak pernah putus untuk Ainun.
Habibie berujar, doa adalah makanan bagi mereka-mereka yang sudah pindah ke dimensi lain. Doa mengandung kuantum energi yang bisa memberikan kekuatan. ”Dengan berdoa, saya yakin saya kasih (mereka, Red) makan,” ujarnya.
Dia percaya bahwa orang-orang yang sudah pergi terlebih dahulu tidak mati. Mereka hanya berpindah ke dimensi yang lebih sempurna. Pemikiran itu juga yang membuat Habibie yakin bahwa istrinya masih ada dan selalu mendampinginya.
”Karena itu, saya tidak pernah merasa sendiri. Ainun masih ada,” ucap Menristek di era Soeharto itu.
Habibie bercerita, dirinya dan Ainun berkomitmen tidak saling meninggalkan. Saat Ainun meninggal, papar Habibie, yang mati hanya hardware-nya.
”Saya berpendapat jenazah ini hardware. Saya yakin super-intelligent software Ainun sudah di-download ke dalam diri saya,” katanya sambil menunjuk dada.
Cinta Habibie memang begitu besar kepada Ainun. Kendati telah lama ditinggal Ainun, Habibie masih terus merasakan cinta yang sama. Bahkan lebih besar. Habibie mengaku sering tiba-tiba teriak, lalu menangis saat sedang membaca surah Yasin untuk Ainun. ”Saya nangis. Nangis bener seperti anak kecil. Untuk mengatasi itu, saya baca Alquran,” ungkapnya.
Saat Ainun meninggal, Habibie tumbang. Separo jiwanya telah pergi. Perempuan yang mendampinginya sudah tiada. Tidak ada lagi tempatnya untuk bermanja-manja. Tiada lagi yang memarahinya karena dia keras kepala.
Si genius merasa benar-benar bodoh karena tidak mengetahui bahwa istri yang dicintainya menderita kanker stadium lanjut. Dia bisa membuat pesawat terbang, kereta api, dan kapal laut. Dia juga dikenal dengan temuan-temuannya di bidang kedirgantaraan.
”Tapi tidak mengetahui penyakit Ibu. Dia kesal dan menyesal soal itu,” ungkap keponakan Habibie, Adrie Subono, kepada Jawa Pos.
Di sisi lain, Ainun pun tidak mau mengganggu konsentrasi suaminya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Dia memilih untuk tidak memberi tahu Habibie perihal pernyakitnya itu. ”Ibu selalu bilang dia fine-fine saja. Ibu juga kan sebenarnya dokter,” tambah Adrie.
Dalam kesedihannya itu, Habibie harus bangkit. Dia tidak mau cintanya kepada Ainun yang sudah puluhan tahun dirajutnya dipisahkan maut. Tim dokter dari Jerman dan Indonesia menyarankan Habibie untuk menjalani terapi self-healing.
Kondisi Habibie yang sedang down sangat rentan terserang gangguan emosional yang berdampak negatif pada sistem organ vital. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin Habibie jatuh sakit.
Habibie kemudian memilih menulis sebagai terapi self-healing. Melalui tulisan, Habibie mengungkapkan semua kenangannya bersama Ainun. Mulai kali pertama bertemu hingga akhirnya Tuhan mengambil Ainun. Dua setengah bulan dihabiskan Habibie untuk menyelesaikan buku tersebut.
Adrie, yang terus mendampingi Habibie, mengatakan, dalam kondisi yang masih down, Habibie berusaha menulis. Hati yang terluka membuat Habibie kerap menitikkan air mata saat bercerita tentang Ainun melalui tulisan.
”Dia menulis sambil menangis. Tapi, itulah obat di mana dia mencurahkan kerinduan dan rasa cintanya,” cerita Adrie. Tuhan pun akhirnya menganugerahkan kesehatan kepada Habibie.
Kini Habibie telah berusia 80 tahun. Selama itu pula dirinya telah memberikan teladan tentang kerja keras, kesungguhan, dan cara terbaik mengagungkan cinta. Selamat ulang tahun, Eyang Habibie... (andra nur oktaviani/c11/sof)
Setelah Ainun Tiada di Sisi
1. Setiap Jumat, Habibie rutin berziarah ke makam Ainun. Selain melantunkan serangkaian doa, Habibie selalu membacakan puisi cinta berjudul Manunggal.
2. Saat berziarah, Habibie tidak lupa mengalungkan tasbih dan syal peninggalan Ainun. Syal tersebut tidak pernah dicuci dan selalu dibawa tidur.
3. Setiap pergi ke suatu daerah, pengawal Habibie selalu membawa serta foto-foto Ainun untuk ditata di kamar yang akan ditinggali Habibie.
4. Habibie masih sering memimpikan Ainun. Dia juga menangis seperti anak kecil ketika sedang merindukan istrinya itu.
5. Berdoa dan membaca Alquran adalah cara Habibie untuk melipur rindu pada Ainun.
6. Tidak ada foto lain kecuali potret Ainun, Tuti Marini (mami), dan foto berdua Ainun-Habibie di kamar tidur Habibie.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Memaknai Kitab Kuning ke Dalam Bahasa Jawa dengan Laptop Pinjaman
Redaktur : Tim Redaksi