jpnn.com - BARANGKALI sudah biasa menahan lapar dan dahaga mulai dari pukul 05.00 hingga 18.00, seperti puasa di Indonesia.
Namun, bagaimana jika harus menahan lapar dari pukul 02.50 hingga 21.20, dengan keadaan mengidap mag akut? Hal inilah yang dirasakan Szalfha Kacita, mahasiswi asal Kaltim yang sedang menempuh S-2 jurusan Global Enterprise and Entrepreneurship di University of Southampton di Britania Raya.
BACA JUGA: Kisah Mantan Guru Berpuasa di Balik Jeruji Besi (2/Habis)
“Awalnya takut membayangkan puasa di sini (Inggris), soalnya lama banget. Bahkan ada teman yang bilang ‘nineteen hours? You're gonna die!’ (19 jam? Kamu bakalan mati). Soalnya dia tahu saya punya mag akut,” kisah dara berambut sebahu tersebut saat bincang dengan Kaltim Post (Jawa POs Group) via Line.
Teman-teman nonmuslim Salfa yang berasal dari negara lain, umumnya kaget. Meski begitu, hal tersebut tidak mengurangi niatnya untuk beribadah. Menurutnya, beribadah bergantung pribadi masing-masing.
BACA JUGA: Memaknai Kitab Kuning ke Dalam Bahasa Jawa dengan Laptop Pinjaman
Melihat tekad Salfa, teman-temannya selalu mendukung ibadahnya dengan mengingatkan mengatur pola makan yang benar.
Asalkan ada niat, bukan berarti jalan mulus. Pada awal-awal puasa, Salfa sempat membatalkan puasanya karena mag kambuh. Menurutnya, dia tahu batasan-batasan tubuh. Makanya, dia memilih membatalkan puasa daripada sakitnya tambah parah.
BACA JUGA: Kisah Mantan Guru Berpuasa di Balik Jeruji Besi (1)
“Mungkin badannya kaget karena tiba-tiba puasa selama itu. Beruntung, sekarang sudah terbiasa,” imbuh alumnus SMA 1 Samarinda tersebut.
Durasi puasa yang lama, menyebabkan pola tidur Salfa berubah, dia baru tidur pukul 04.00 dan bangun pukul 12.00. Meski bukan jam tidur yang bagus, menurut Salfa ini efektif. Sebab, jika tidur di antara buka puasa dan sahur, dia merasa pusing dan ada rasa tak nyaman jika habis makan langsung tidur.
Agar sakit mag tak kambuh, Salfa menyiasati dengan makan tak boleh telat, jumlahnya tidak terlalu banyak, dan hanya mengonsumsi oatmeal serta buah-buahan karena kenyangnya bisa lebih lama. “Untung cuaca di sini enggak panas. Jadi, enggak gampang haus,” tutur Salfa.
Saat ini, Salfa tengah sibuk menyusun tesis. Sehingga, aktivitasnya tidak terlalu banyak. Selain jalan-jalan bersama teman, dia banyak menghabiskan waktu di rumah atau di perpustakaan.
Jauh dari keluarga dan Tanah Air, tentu ada rindu. Untuk sedikit mengobatinya, Salfa bersama teman-teman dari Indonesia masak dan buka bersama. Sedangkan, rindu suara azan diobati dengan aplikasi yang dia unduh di smartphone-nya.
“Tapi, paling kangen itu sama keluarga. Apalagi, tahun ini enggak bisa Lebaran bersama keluarga. Soalnya, habis cek-cek harga tiket pesawat, pada mahal semua,” kata Salfa. (*/nyc/far/k15/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia Berduka, Seniman Legendaris ini Wafat Pagi Tadi
Redaktur : Tim Redaksi