OJK Batasi Gaji Direksi

Senin, 24 Maret 2014 – 05:08 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera meluncurkan regulasi baru lagi untuk meningkatkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG). Salah satunya mewajibkan setiap perusahaan tercatat ( emiten) membentuk Komite Nominasi atau Komite Remunerasi.

Komite Nominasi dan Remunerasi, yang selanjutnya disebut Komite tertuang dalam draft peraturan baru OJK yang akan ditarget berlaku pada tahun ini. Komite dimaksud dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan fungsi dan tugas Dewan Komisaris terkait nominasi dan remunerasi.

BACA JUGA: Setahun, 180 Koperasi Bubar Jalan

Nominasi adalah pengusulan seseorang untuk ditempatkan dalam jabatan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris. Sedangkan Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi dan Dewan Komisaris karena kedudukan dan peran yang diberikan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. 

Komite paling sedikit terdiri dari tiga orang anggota dengan ketentuan yaitu satu di antara anggota Komite merangkap sebagai ketua Komite yang merupakan Komisaris Independen. Selain itu anggota Komite lainnya dapat berasal dari anggota Dewan Komisaris, pihak yang berasal anggota Dewan Komisaris, pihak yang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik, atau pihak yang menduduki jabatan manajerial di bawah Direksi yang membidangi sumber daya manusia.

BACA JUGA: Segera Wujudkan Indonesian Maritime Holding

OJK juga mengatur ketentuan anggota direksi dilarang menjadi anggota Komite dan anggota Komite yang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik yang disyaratkan tidak memiliki hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, dan memiliki pengalaman terkait nominasi dan atau remunerasi. Komite wajib menjalankan prosedur remunerasi dengan menyusun struktur remunerasi bagi anggota direksi dan atau dewan komisaris.

OJK menjelaskan struktur remunerasi dapat berupa gaji, honorarium, insentif, dan tunjangan yang bersifat tetap dan variabel. Kebijakan, besaran, dan struktur remunerasi harus memiliki kelayakan, kepatutan, serta tolak ukur yang wajar dengan mempertimbangkan remunerasi yang berlaku pada industri emiten serta mencerminkan tujuan dan pencapaian kinerja jangka pendek atau panjang sesuai dengan kebutuhan emiten. Kebijakan, besaran, dan struktur remunerasi harus dievaluasi paling kurang sekali dalam setahun.

BACA JUGA: Lagi, Pengusaha Mengeluh

Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Isakayoga, menilai kebijakan OJK ini dapat meningkatkan daya saing emiten Indonesia dalam rangka memasuki Asean Economic Communitiy 2015. Penerapan GCG yang lebih baik menjadi tuntutan yang perlu dipenuhi oleh seluruh emiten di Indonesia agar dapat lebih menarik minat investor.

Pembentukan Komite Nominasi menurutnya sangat krusial fungsinya bagi keberlangsungan manajerial emiten. Maka pembentukannya harus adil dan transparan kepada publik. "Intinya kami mendukung pembentukan ini karena selama ini gaji Komisaris emiten tidak ada yang mengontrol. Dengan adanya Komite ini efisiensi struktural menjadi fokus emiten," ujarnya, akhir pekan kemarin.

Di sisi lain OJK dianggap perlu mencermati lebih dalam terkait pembentukan Komite ini. Karena hal ini berpotensi menambah cost atau biaya yang tidak sedikit, dan emiten skala menengah-kecil terasa dampaknya. AEI "akan meminta penjelasan teknis lebih lanjut mengenai aturan ini kepada OJK.

Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS), Sukrisno, mengatakan sebelum adanya usulan aturan dari OJK ini pada prinsipnya perusahaan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang sudah ada komite remunerasi di level komisaris. Isinya di antaranya terdiri atas perwakilan komisaris dan direksi. "Salah satu fungsi komite ini ya mengusulkan gaji direksi termasuk komisaris dan itu sudah ada formulanya jadi berdasarkan persentase," ungkapnya saat dihubungi, akhir pekan kemarin.

Dalam struktur BUMN, komite ini sebatas memformulasikan sampai dengan mengusulkan. Keputusan finalnya tetap ada di Kementerian BUMN. "Pokoknya dasar penentuan besarannya itu tergantung kinerja perusahaan," tegasnya.

Sukrisno meyakini draft terbaru yang akan diberlakukan OJK bisa sinergi dengan aturan komite yang sudah ada di BUMN. Terlebih prinsip penerapannya sama yaitu GCG. "Saya kira nanti tinggal disinergikan saja," yakinnya.

Deputi Komisioner Bidang Pengawas Pasar Modal OJK, Noor Rachman, mengatakan draf aturan itu sedang dalam tahap minta pendapat kepada pihak terkait (rule making rule) bersama beberapa aturan lainnya. Aturan lain dimaksud terdiri atas revisi aturan mengenai rapat umum pemegang saham (RUPS) emiten dan surat edaran terkait Direksi dan Dewan Komisaris Emiten. Selanjutnya, OJK membuat aturan khusus mengenai management and employee stock option (MESOP) dan employee stock option plan (ESOP).

Awalnya, ketentuan ini tergabung dalam aturan IX.D.4 tentang Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (non HMETD). "Ini (aturan lama) kan seperti cek kosong, kalau mau mengeluarkan tinggal RUPS saja, tidak diatur lebih lanjut, nanti akan kami minta keterbukaan yang lebih rinci," ungkapnya.

Aturan yang minimalis membuat OJK kesulitan menindak emiten yang melakukan pelanggaran. Khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai RUPS. Saat ini OJK sudah memiliki peraturan OJK (POJK) nomor IX.I.1 tentang Rencana dan Pelaksanaan RUPS namun, menurutnya, aturan yang ada saat ini kurang komprehensif.

Sebenarnya, aturan mengenai RUPS diatur jelas dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT). "Tetapi, kami sulit mengenakan sanksi kalau ada pelanggaran, karena itu bukan aturan kami," ujarnya.

" "Maka detilnya akan diatur dalam revisi POJK IX.I.1. Saat ini, hanya ada lima poin yang diatur dan sifatnya normatif. (gen)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Politik Ekonomi Dituding Biang Kerok Carut Marut Energi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler