jpnn.com, JAKARTA - Ombudsman RI menyoroti sejumlah maladministrasi yang diduga dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah honorer.
Oleh karena itu, Ombudsman RI menawarkan empat upaya penyelesaian masalah honorer tersebut.
BACA JUGA: Pemberkasan NIP PPPK Guru: Urus Suket Kesehatan Berhari-hari, Waktu Mepet, Honorer Stres
Hal ini sebagai opsi di tengah banyaknya maladministrasi yang terjadi dalam isu honorer di pemerintah pusat maupun daerah.
"Faktanya dari sisi kebijakan dan tata kelola tenaga honorer jadi masalah sejak awal. Bahasa kami banyak maladministrasi, bahkan itu berlapis-lapis pada sejumlah tingkatan," kata anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam Diskusi Publik “Kebijakan Tata Kelola Tenaga Honorer pada Instansi Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah” secara virtual, Selasa (28/12).
BACA JUGA: Penjelasan BKN Tentang Cara Mengisi DRH, Calon PPPK Guru Jangan Bingung
Opsi pertama adalah mengalihkan honorer ini menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Hal ini berarti dengan melakukan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
BACA JUGA: Tidak Bisa Ikut Seleksi PPPK 2021, Honorer K2 Tenaga Administrasi Minta Ombudsman Turun Tangan
"Kami memberikan kerangka penyelesaian soal honorer ini. Jadi, bukan solusi, ya, kami berikan opsi-opsi yang ada," kata lulusan Magister Administrasi Publik di Universitas Indonesia (UI) ini.
Opsi kedua, yakni dengan memperlakukan honorer selayaknya karyawan.
Hal ini, kata Robert, berdasarkan temuan Ombudsman terkait masalah kesejahteraan dan perlakuan adil kepada honorer di pusat maupun daerah.
Dia mengatakan dalam hal kesejahteraan sosial dan perlakuan atas honorer ditemukan banyak ketimpangan.
Honorer mendapatkan honor jauh lebih kecil dari ASN, tetapi mirisnya dalam konteks tertentu pekerjaannya lebih banyak dari ASN.
"Mungkin entah ASN-nya ngapain, lantas honorer yang mengerjakan pekerjaannya, itu fakta ya..kita buka-bukaan saja di sini," ujar Robert.
Dia menjelaskan opsi pengalihan tenaga honorer menjadi karyawan karena landasan keberadaan honorer selama ini tidak jelas.
Tidak mengikuti kerangka UU ASN dan juga tak seperti karyawan yang berdasar UU Ketenagakerjaan.
"Kenapa diarahkan ke situ (menjadi karyawan), ini demi kesejahteraannya karena hari ini enggak jelas," ujar pria kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Opsi ketiga, penyelesaian masalah honorer ialah dengan melakukan penghapusan bersyarat tenaga honorer.
Yakni dengan menyusun peraturan presiden (perpres) terkait pemberhentian semua tenaga honorer di seluruh kementerian atau lembaga dan pemda dengan masa transisi hingga 2023 sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Hal ini diikuti dengan menyusun perpres untuk melaksanakan Pasal 96 Ayat 1 PP Nomor 49 Tahun 2018 yang melarang PPK atau pejabat lain mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN.
Hal ini juga dibarengi dengan penegakan sanksi fiskal dan administratif terhadap pejabat yang masih mengangkat honorer.
"Karena kita memang butuh honorer dan faktanya memang tidak mungkin semua posisi formasi tertentu dapat diisi ASN, tetapi bagaimana honorer yang berkepastian dan berkesejahteraan ini harus diperjuangkan," ujarnya.
Opsi keempat, adalah 'Do Nothing'.
Artinya, bukan berarti tidak berbuat apa-apa atas tenaga honorer yang ada, tetapi apa yang terjadi hari ini biarkan berproses saja terus.
"Jadi, biarkan saja berjalan sebagaimana adanya tanpa adanya perubahan yang mendasar," kata Robert. (esy/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : Boy
Reporter : Mesya Mohamad