jpnn.com - PALU - Sorotan terhadap pernyataan Jaksa Agung M.Prasetyo yang meminta agar jangan ada justifikasi terhadap Ahok, sebelum pengadilan mengeluarkan putusan yang bersifat tetap, masih berlanjut.
Dengan pernyataan tersebut, jaksa agung dinilai tidak paham dengan tugas yang diembannya sebagai jaksa.
BACA JUGA: Cek Kalendermu! Ini Daftar Libur Nasional dan Cuti Bersama 2017
Pemerhati Hukum yang juga akademisi Hukum Pidana Universitas Tadulako (Untad), Harun Nyak Itam Abu, SH, MH, mengatakan ,jika pernyataan tersebut berasal dari figur di luar kejaksanaan, maka itu lumrah.
Menghadapi kasus Ahok, semua pihak memang harusnya mengusung asas praduga tak bersalah.
BACA JUGA: Usul Sidang Ahok di Denpasar, Papua, atau NTT
Namun jika pernyataan tersebut keluar dari mulut jaksa, maka hal itu justru menjadi pertanyaan besar.
“Jika memang Jaksa Agung berpikiran, jangan ada justifikasi berarti dia sendiri tidak yakin bahwa Ahok bersalah. Kalau tidak yakin Ahok bersalah, kenapa lantas berkasnya dinyatakan P21 alias lengkap,” kata Harun, sapaan akrabnya, seperti diberitakan Radar Sulteng (Jawa Pos Group).
BACA JUGA: Bolehkah Lokasi Sidang Ahok Dipindah? Nih Penjelasan MA
Dijelaskan Harun, salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Memang dalam pelaksanaan kewenangan-kewenangan dalam proses peradilan pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, hendaknya memegang kuat asas-asas yang berlaku dalam hukum acara pidana.
Namun menurut Harun, yang layak mengucapkan kalimat presumtion of innocence adalah orang yang sedang diproses hukum oleh negara. Dalam hal ini tersangka atau penasehat hukumnya, bukan jaksa apalagi Jaksa Agung.
“Jika Jaksa Agung mengucapkan kalimat demikian, tentu patut dipertanyakan kualitas persidangan Ahok nantinya,” tegasnya.
Pernyataan Jaksa Agung yang menjadi polemik itu disampaikan di gedung DPR, Selasa (6/12).
"Bagaimana pun itu nanti putusan hakim. Tak boleh ada justifikasi (menganggap Ahok pasti bersalah). Yang memutuskan pengadilan. Oh iya, kita tak mau dicampuri. Biar hukum berjalan sesuai koridornya," kata Prasetyo saat itu.
Dari pernyataan Jaksa Agung tersebut, menurut Harun Nyak Itam Abu, maka ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Dikatakan, Jaksa Agung sudah melenceng dari tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menuntut (asas oportunitas).
“Bahkan, saya bisa menilai bahwa institusi kejaksaan yang mestinya mewakili kepentingan publik, kini sudah bergeser menjadi Pembela Ahok,” tegasnya lagi.
Masih menurut Harun, bahwa secara etika profesi hukum, tidak sepantasnya Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan yang demikian. karena sesungguhnya, pernyataannya seolah-olah melemahkan dakwaannya sendiri.
“Memang sejak awal diangkat menjadi Jaksa Agung, banyak sekali peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh Prasetyo,” tegasnya.
Harun menduga, bahwa Prasetyo bukan lagi merupakan alat atau perpanjangan tangan negara dalam hal masalah penegakkan hukum, tapi justru menjadi alat politik dari partai.
Walaupun Prasetyo berulang-ulang menyampaikan bahwa dia bukan lagi pengurus apalagi kader Nasdem, tapi siapa yang bisa menjamin, bahwa dia tidak tunduk pada Partai Nasdem.
Dalam penjelasan UU No 16 tahun 2004, pada bagian I Umum paragraf pertama, salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law).
“Pada paragraf ke enam UU tersebut disebut, dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan RI harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma Keagamaan, kesopanan,dan kesusilaan. Selain itu, wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat,” tandasnya.
Kata Harun Nyak Itam Abu, bahwa dalam sistem peradilan pidana, kedudukan polisi, jaksa dan hakim itu, mewakili negara dengan peran masing-masing.
Karena mewakili negara mereka memiliki diskresi untuk mengambil tindakan terhadap pelaku tindak pidana.
Menurut Harun, bahwa Jakgung wajib menggunakan haknya dalam KUHAP (pasal 183, 184, 185, 186) untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Jadi, ketika perkara sampai pada tahap P21 (telah dilimpahkan), JPU sudah harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah.
Jika sebaliknya, JPU bisa menerbitkan surat penghentian penuntutan perkara (SKP2) atau tuntutan bebas murni di pengadilan (vis praak).
Harun mengaku heran ketika Jaksa Agung, menyatakan kepada pers, yang meminta agar Ahok tidak dijustifikasi terhadap kasus yang membelitnnya saat ini. Ada pemaknaan, bahwa seakana-akan Ahok dinilai tidak bersalah oleh Jaksa Agung.
“Kepada siapa pernyataan Jaksa Agung ini ditujukan? Dalam pandangan saya, pernyataan ini paradoksal dengan tugas Jakgung. Dalam aturan peradilan, azas presumtion of innocent hanya digunakan oleh lawan penuntut, yaitu pengacara yang bertindak selaku pembela terdakwa,”tandas Harun.
Makanya, ketika ada wacana agar Jaksa Agung diganti, Harun mengaku sangat setuju.
Sebab selama menjabat sebagai Jaksa Agung, Prasetyo belum menunjukkan prestasi, malah justru lebih banyak membuat blunder dan polemik. (hnf/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Daftar Nama Korban Meninggal Gempa Aceh
Redaktur : Tim Redaksi