Operasional Kantor GoJek di Lampung Ditutup, Para Driver Kesulitan

Jumat, 13 September 2019 – 15:10 WIB
Stiker di helm ojek online. Foto: Facebook

jpnn.com, LAMPUNG - Pasca-ditutupnya operasional kantor GoJek di Lampung setelah aksi demo pada 5 September lalu, berimbas pada muncunya keluhan dari para mitra yang ingin tetap mencari nafkah atau onbid.

Keluhan ini disampaikan Zaki Sopiyan yang tidak peduli aksi offbid massal yang ada di Lampung. Zaki menyebutkan GoJek adalah satu-satunya tempat dirinya untuk mencari nafkah. Sehingga, tak ada alasan untuk tidak bekerja. 

BACA JUGA: Serentak, Tarif Baru Ojek Online Sudah Berlaku di Seluruh Indonesia

“Hanya di sinilah. Di GoJek. Nggak ada kerjaan lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” jelasnya, Rabu (11/9).

Bagi Zaki, penurunan insentif bukanlah masalah besar baginya. Menurutnya, insentif tidak mempengaruhi pemasukannya sebagai driver ojek daring (online) GoJek. Pasalnya, dia masih bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarganya setiap hari.

BACA JUGA: Inilah Tarif Ojek Online Berdasar KM 348, Berlaku Mulai 2 September

“Saya nggak jadi masalah mau insentif turun apa nggak, bagi saya ya itu 'kan hanya insentif aja, tapi 'kan pemasukan tetap lancar. Sehari masih cukup untuk saya memenuhi kebutuhan keluarga dan hidup saya,” ujarnya.

Zaki juga tidak setuju jika kantor GoJek di Lampung harus ditutup. Jika kantor tidak beroperasi, dirinya dan rekan pengemudi lain kesulitan untuk mengadu perihal masalah yang ada di jalan.

BACA JUGA: Ini Penjelasan Gojek Soal Pemotongan Insentif Driver

“Sebenarnya saya juga tidak setuju kalau kantor GoJek ditutup. Karena kasian sama driver lain, kalau dia ada masalah di luar mau ngadu di mana, sementara kantornya ditutup, kalau ada masalah di jalan atau masalah apa pun biasanya ngadu ke kantor gojek dan dapat tanggapan,” jelasnya.

“Untuk orderan juga alhamdulillah masih lancar dan banyak juga yang onbid kok. Saya lihat sekarang ini kayaknya sudah pada paham teman-teman pengemudi dan pada onbid semua,” pungkasnya.

Pengamat asal Sumbagsel Yan Sulistyo berpendapat, aksi protes dari para mitra merupakan bentuk belum dipahaminya model bisnis berbasis teknologi. Sehingga menganggap pemangkasan insentif akan merugikan pihak mitra.

Yan berkomentar, tarif ojek daring selama ini dipersepsikan terjangkau atau murah oleh masyarakat. Sehingga dengan tarif yang lebih tinggi saat ini menyebabkan munculnya gejolak pada driver ojek daring.

“Sekarang 'kan tarifnya lebih tinggi, tentu risikonya dalam bisnis itu seperti bandul. Sehingga dalam konteks bisnis, kalau tarif _driver_ daring itu akan meningkat ya tentu insentif akan turun. Konsekuensinya harus diterima oleh mitra,” sebutnya.

Permasalahan yang mengemuka dalam ruang lingkup driver ojek daring, kata Yan, adalah hilangnya insentif. Padahal insentif dari operator tidak hilang, hanya berkurang akibat kenaikan tarif.

Pengurangan instentif ini untuk menyeimbangkan tarif per kilometer yang naik. Pendapatan mitra dinilai Yan sudah terakomodir dalam tarif baru yang diatur pemerintah.

“Di dalam Kepmenhub 438 juga dijelaskan ada alokasi untuk biaya operasional seperti asuransi dan bensin, maka mitra diminta fokus pada pendapatan organik,” ujarnya.

“Para mitra sebaiknya memahami skema bisnis yang berkembang. Jika dulu mitra dapat mengandalkan pendapatannya dari insentif, sekarang sudah tidak bisa lagi karena insentif bukanlah sumber pendapatan yang utama. Insentif adalah hak prerogatif aplikator yang besarannya tergantung dari kemampuan masing-masing aplikator,” pungkasnya.

Yan meminta agar driver ojek daring memahami kebijakan yang telah diberlakukan. Selain itu juga mengerti role model bisnis dari aplikator.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler