Orang Dengan Skizofrenia, Pernah Tanpa Busana Muter Kampung

Senin, 11 September 2017 – 00:42 WIB
Para ODS di Rumah Berdaya tetap dan terus berkarya meski dalam keterbatasan. Foto: Sahrul Yunizar/Jawa Pos

jpnn.com - Orang Dengan Skizofrenia (ODS) berjuang bersama. Mereka terus bergerak membantu, bahu-membahu untuk masa depan ODS yang lebih baik. Dari Pulau Dewata, gerakan itu mereka namai Rumah Berdaya.

SAHRUL YUNIZAR, Denpasar

BACA JUGA: Kekeringan Parah, Warga Susuri Hutan Cari Air Bersih

PETIKAN gitar I Kadek Arimbawa terdengar nyaring di ruang tidur Rumah Berdaya, Denpasar, Bali. Bersama pemuda 25 tahun itu, Ketut Angga Wijaya dan Ida Kadesaka Rosanta (Saka) tengah bersantai. Menghabiskan jam makan siang.

Di antara lantunan lagu Zona Nyaman milik Fourtwnty yang dinyanyikan Kadek, mereka sesekali bergurau.

BACA JUGA: Alumni APDN Mantan Lurah, Kini Satgas Kebersihan

Begitu lagu masuk bagian inti, ketiganya serentak bernyanyi. ”Sembilu yang dulu biarlah berlalu, bekerja bersama hati. Kita ini insan, bukan seekor sapi,” dendang mereka kompak.

Senyum sesama orang dengan skizofrenia (ODS) itu menyiratkan makna lirik lagu yang mereka nyanyikan. Membiarkan masa lalu berlalu.

BACA JUGA: Duhai Ratna, Female DJ Moncer yang Sering Ditowel Bokongnya

Tanpa banyak bicara, Kadek, Angga, maupun Saka mafhum betul dengan pengalaman masing-masing. Sebagai ODS yang sudah mampu mengontrol diri, mereka punya pengalaman nyaris serupa.

Dipandang sebelah mata, diasingkan keluarga, dan dianggap tidak punya daya upaya. ”Tiang (saya) dulu sakit juga. Sekarang sudah sembuh.” Begitu Kadek membuka kisah masa lalunya.

Kadek bercerita penuh optimisme. Bahwa ODS bisa sembuh. Keyakinan itu yang membawa dirinya bergabung bersama Rumah Berdaya. Bagi dia, berada di antara ODS adalah yang terbaik.

”Kami bantu yang lain supaya sembuh,” ujar Kadek. Ucapan tersebut dia buktikan dengan mengantar dan menjemput rekan-rekan ODS dari berbagai wilayah di Denpasar ke Rumah Berdaya.

Peran itu dia lakoni dengan penuh tanggung jawab. Setiap pukul 07.00 Wita, Kadek berkeliling menggunakan kendaraan operasional pemberian Pemkot Denpasar.

Begitu pula halnya ketika jarum jam menunjuk pukul 17.00. Dia sudah pasti tengah sibuk di jalanan Denpasar. ”Antar jemput semua,” ucapnya. Kurang lebih setahun dia menjalankan tugas tersebut.

Seperti kebanyakan pemuda seusianya, Kadek sudah lulus kuliah. Dia menuntaskan pendidikan strata satu dan mendapat gelar sarjana ekonomi dari Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Gelar itu kian membuat percaya bahwa setiap ODS bisa seperti dirinya. Rumah Berdaya dianggap jalan paling tepat untuk ODS lain. Sebab, di sana mereka bisa saling berbagi.

Lain dengan Kadek, Saka yang juga senang bermusik belum sepenuhnya pulih. Namun, gangguan kejiwaan yang dia alami tidak tampak sama sekali.

Pria 35 tahun tersebut mampu berkomunikasi dengan baik. Khususnya soal lukisan. Maklum, dia juga gemar melukis.

Setiap punya waktu luang, tidak jarang dia menghabiskannya di galeri Rumah Berdaya. Untuk melukis apa saja. Menuangkan yang ingin dia curahkan.

Sementara itu, Angga yang juga sudah berusia kepala tiga masih melakoni pekerjaan yang sangat dia sukai. ”Saya wartawan lepas,” katanya.

Dia merupakan salah seorang yang turut serta mendirikan Rumah Berdaya. Bagi ODS lain, Angga adalah kawan bicara yang baik. Dia memang tidak senang banyak bicara, tapi banyak tahu.

Dia juga yang sering kali membantu Rumah Berdaya turut ambil bagian dalam berbagai event di Bali.

Adalah I Nyoman Sudiasa yang turut serta dalam pembentukan Rumah Berdaya bersama Angga. Nyoman merupakan sosok yang paling stabil di antara ODS lain di Rumah Berdaya.

Dia juga yang tahu betul bagaimana Rumah Berdaya memulai perjalanannya dua tahun lalu, tepatnya pada 10 Oktober 2015.

Ketika Jawa Pos menyambangi Rumah Berdaya Kamis siang, 24 Agustus, Nyoman sedang berbincang dengan seorang warga. ”Kami mau buat warung,” kata dia.

Bukan warung besar memang. Hanya warung kecil di muka Rumah Berdaya yang beralamat di Jalan Hayam Wuruk. ”Untuk tambah biaya operasional,” kata Nyoman pelan.

Rumah Berdaya memang bukan yayasan sosial. Mereka murni perkumpulan ODS di Bali yang bergerak sendiri. Tidak banyak minta, tapi terus berkarya. Dari karya tersebut mereka bisa bertahan.

Berkat karya itu pula mereka mendapat perhatian pemerintah. Termasuk di antaranya bangunan milik Pemkot Denpasar yang dijadikan markas Rumah Berdaya. Juga kendaraan operasional yang setiap hari dipakai Kadek mengantar jemput para ODS.

Semua mereka dapatkan hampir bersamaan. Medio Oktober dan September tahun lalu. Itu pun tidak datang begitu saja. Tapi setelah mereka beraudiensi dengan pemkot setempat.

Semula Nyoman dan Angga tidak bisa bertemu setiap hari dengan ODS lain. Paling cepat seminggu sekali mereka bersua. Itu pun tidak lama. Dua jam. Dari pukul 16.00 sampai 18.00.

Tempat bertemunya adalah kediaman dokter mereka, I Gusti Rai Putra. ”Kumpul-kumpul saja. Satu, dua, sampai tujuh orang,” ucap Nyoman.

Tujuannya tidak lain para ODS semakin terbiasa berkomunikasi. Minimal dengan sesama mereka.

Kalau sudah berkumpul, apa saja bisa mereka lakukan. Mengobrol berbagai hal, bernyanyi, sampai memasak bersama. Diakui Nyoman, itu turut berpengaruh terhadap progres pemulihan ODS. Dia sendiri merasakan langsung.

”Saya juga ODS,” ungkapnya. Karena merasa tertekan dengan tanggung jawab yang diemban sebagai kepala gudang sebuah perusahaan swasta, 16 tahun lalu dia kehilangan kendali.

Kala itu hidupnya benar-benar gelap. ”Kontrol (diri sendiri) memang nggak ada. Tapi, kejadian apa pun kami ingat,” kenangnya.

Setelah tumbang di tempat kerja pertengahan 2001, gangguan kejiwaan yang dia alami terus kambuh. Sempat sembuh, sebulan kemudian kembali kambuh.

”Rumah saya hancurkan. Telanjang keliling kampung di Buleleng,” kata dia sambil berusaha mengingat setiap kejadian yang dialami belasan tahun lalu.

Nyoman juga tidak lupa, pada tahun yang sama ketika mulai terganggu kejiwaannya, dirinya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Bangli.

Untung, dia punya istri setia. Meski Nyoman tengah terpuruk, istrinya tidak berhenti mendampingi. Selama di Rumah Sakit Jiwa Bangli, ibu dua anak bernama Ni Putu Sri Ayu Astuti tersebut terus bersamanya. Saat itu tekad Nyoman bulat. Dia ingin bebas dari gangguan jiwa.

Bukan hanya karena istrinya. Tapi juga karena buah hatinya yang pertama, Ni Putu Putri Indah Melati.

”Saya harus bisa menghidupi anak dan istri,” ucap Nyoman mengulang kalimat yang kala itu hanya mampu dia sampaikan dalam hati.

Tekad itu pula yang membuatnya lekas pulih. Bisa kembali bekerja dan menyaksikan kelahiran anak keduanya, Ni Made Cindy Sephia Yanti.

Meski sampai saat ini masih mengonsumsi obat untuk mengontrol emosi, Nyoman tidak protes. Yang penting, dia bisa melakoni tanggung jawab sebagai ayah dan suami.

Tekad serupa ingin dia tularkan kepada ODS lain. Keinginan itu berjumpa titik temu ketika dia bersua Rai, dokter yang juga berperan sebagai penanggung jawab Rumah Berdaya. ”Dokter Rai sangat care,” ungkap Nyoman.

Sejak Rumah Berdaya berdiri, Rai tidak jarang keluar uang pribadi. Mulai untuk makan para ODS sampai kebutuhan lainnya. Untung, Nyoman dan teman-temannya berjumpa seniman Budi Agung Kuswara.

Dia yang lantas menularkan virus berkesenian kepada para ODS di Rumah Berdaya. Agung pula yang memulai pendekatan seni untuk membantu memulihkan ODS di Rumah Berdaya.

Agung mengajarkan banyak hal. Mulai melukis, menyablon, sampai membuat desain produk. Meski tidak berjumpa Agung setiap hari, ODS yang setiap hari datang ke Rumah Berdaya tetap dapat berkarya.

Melalui tangan Nyoman dan ODS lain yang sudah sembuh, mereka belajar menyalurkan bakat seni masing-masing. Tidak heran jika pemandangan yang tampak ketika kali pertama sampai di Rumah Berdaya adalah kumpulan ODS yang sedang berkarya.

Beberapa ODS tampak sibuk menyablon. Ada pula yang tengah mengkreasi limbah koran menjadi barang seni bernilai guna.

”Itu bisa dibuat tempat dupa,” kata Nyoman sambil menunjuk ODS yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka.

Dia lantas mengajak Jawa Pos berkeliling Rumah Berdaya. Di bangunan itu ada satu ruangan khusus untuk perawatan ODS setiap pekan. Mereka memang rutin dicek kesehatan.

Selain itu, ada gudang, ruang pameran, dan ruang produksi. Total luasnya sekitar 5 are (500 meter persegi).

Itu sudah termasuk lahan tanpa bangunan yang juga mereka sulap menjadi ruang produksi. Menurut dia, Agung mampu menemukan keunikan dari tiap-tiap ODS di Rumah Berdaya.

Berdasar data dari dinas kesehatan setempat, tidak kurang dari sembilan ribu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Bali.

Termasuk di antaranya ODS. Namun, 300 yang sudah terdata di Denpasar sepenuhnya terawasi. Memang tidak semua akrab dengan Rumah Berdaya. Namun, memastikan mereka teperhatikan pun sudah melegakan Nyoman dan teman-temannya.

Ke depan, mereka ingin Rumah Berdaya jadi gerakan yang meluas di Bali. Tidak perlu persis sama. Yang penting punya niat serupa. Bahu-membahu membantu ODS.

Tentu tanpa menjauhkan mereka dari jangkauan keluarga. Karena itu, mereka lebih memilih repot antar jemput ketimbang memfasilitasi ODS menginap di Rumah Berdaya.

Alasannya jelas, dukungan keluarga dibutuhkan untuk membantu pemulihan ODS. Pun demikian lingkungan. Dengan begitu, mereka tidak sungkan kembali ke masyarakat ketika sudah berangsur pulih. Keinginan itu perlahan mulai menemukan jalan.

Dengan nama berbeda, berbagai gerakan untuk membantu ODGJ terus bermunculan. Rumah Berdaya pun membuka diri. Menyatakan siap berada di garda terdepan untuk ikut membantu.

Semula Nyoman tidak mengerti sama sekali soal skizofrenia. Dia juga tidak tahu bahwa dirinya adalah ODS. Beban serta tekanan kerja berat yang dia rasakan pada 2001 lantas membawanya hingga mengenal skizofrenia dan ODS.

”ODS bagian dari ODGJ,” kata dia. Sedangkan skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan. Biasa ditandai dengan gangguan proses berpikir.

Akibat gangguan kejiwaan tersebut, ODS sering kali salah tafsir terhadap perilaku orang-orang di sekitarnya. ”Jadi serbatakut. Takut dilukai, takut disakiti. Kami berontak untuk melindungi diri sendiri,” jelas Nyoman.

Tentu saja dia tidak asal bicara. Sebab, ayah dua anak itu mengalami sendiri. Tahu betul bagaimana perubahan terjadi ketika mulai merasa ada yang tidak beres dengan dirinya sendiri.

Skizofrenia yang biasa menyerang pada usia 15 sampai 35 tahun juga diartikan sebagai gangguan mental kronis.

Sehingga dapat mengakibatkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, serta perubahan perilaku yang berlangsung lama.

Untuk sembuh, ODS harus menjalani serangkaian pengobatan. Sampai saat ini Nyoman pun masih menjalani pengobatan. Tidak hanya mengonsumsi obat dari dokter, dia juga masih berkonsultasi dengan dokter Rai.

Rai pula yang sejak awal mendorong gerakan Rumah Berdaya. Termasuk mendanai operasi dari kantong sendiri. Tidak heran jika Nyoman dan para ODS lain di Rumah Berdaya begitu menghormati Rai. (*/c9/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Banjir Simpati dari Indonesia, Kiper Filipina Terharu


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler