Otto Hasibuan Ungkap Sejumlah Masalah UU Kepailitan dan PKPU

Jumat, 18 Februari 2022 – 09:31 WIB
Otto Hasibuan. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan menyoroti sejumlah masalah dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajikan Pembayaran Utang (PKPU).

Hal ini dia sampaikan saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk Masa Depan Kepailitan dan PKPU di Indonesia yang digelar Bidang Pendidikan DPN Peradi pada Kamis (17/2).

BACA JUGA: Otto Hasibuan Tegaskan Single Bar Lebih Baik Ketimbang Sistem Lainnya

Otto menyebut lahirnya UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini merupakan kepatuhan Indonesia kepada International Monetary Fund (IMF) saat mengalami krisis.

Para kreditur, khususnya asing mempunyai banyak tagihan dan uangnya belum bisa kembali.

BACA JUGA: Isu Kepailitan dan PKPU Jadi Perhatian Peserta PKPA DPC Peradi Jakbar

Ketika itu dibahas bahwa yang harusnya boleh mengajukan permohonan pailit dan PKPU itu adalah debitur. Sebab, mereka yang mengetahui keadaan usahanya atau kesanggupan membayar utang dan sebagainya.

“Karena situasi politik pada waktu itu, para pihak asing itu memberikan kesempatan pada UU itu siapa yang boleh megajukan pailit itu adalah juga termasuk kreditur,” ujarnya.

BACA JUGA: MK Diminta Tolak Uji Materi UU Kepailitan

Setelah UU tersebut disahkan, pihak yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan dan PKPU saat ini menjadi instrumen untuk menagih utang.

“Oleh karena itu, Apindo mengajukan petisi atau permohonan agar diminimalisir kepailitan ini. Bahkan ada usulan untuk merevisi UU Kepailitan,” ujarnya.

Dia menyebut pihak yang berhak mengajukan kepailitan dan PKPU ini perlu dikaji ulang.

“Apakah kewenangan ini cukup diberikan hanya kepada debitur saja atau tetap dipertahankan. Ini menjadi persolan yang jadi tren akhir-akhir ini,” katanya.

Persoalan lainnya, UU tersebut telah mengubah paradigma UU sebelumnya. Sebelum ada UU Kepailitan dan PKPU, orang berpikir bahwa pailit itu benar-benar tidak mempunyai sesuatu apapun, termasuk aset untuk membayar.

“Anggapan umum kalau orang punya aset banyak walaupun dia punya utang, katakan asetnya Rp 100 miliar, tetapi utangnya Rp 100 juta, orang tidak berpikir orang itu pailit karena asetnya masih banyak,” katanya.

Setelah ada UU Kepailitan dan PKPU, paradigma itu runtuh karena ketentuannya kalau ada dua utang jatuh tempo yang bisa ditagih tetapi tidak dibayar, maka perusahaan yang ditagih itu cukup memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.

“Akhirnya orang berpikir meskipun orang itu punya asetnya Rp 1 triliun, tetapi utangnya misal Rp10 miliar tidak dibayar, tetap saja pailit. Terjadi pergeseran bagaimana seseorang dinyatakan pailit atau tidak,” ujarnya.

Sehingga, tidak ada ambang batas jumlah utang dengan aset yang dimiliki suatu perusahaan atau seseorang untuk dapat dinyatakan pailit karena hanya dibuktikan dengan dua utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih tetapi tidak dibayar.

“Ini menjadi suatu persoalan, mau ke mana kondisi seperti itu, apakah masih layak definisi utang seperti itu, atau apakah harus ada treshold yang harus kita pakai ukurannya,” kata Otto.

Dalam webinar ini juga menghadirkan tiga pembicara lainnya, yakni Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar, Ketum Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI) Soedeson Tandra, dan Dosen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Hadi Subhan. (cuy/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler