Otto Syamsuddin Ishak, Pria yang Rela Jadi Investigator Kasus-Kasus HAM

Rela Bertahun-tahun Tak Disapa Anak-anaknya

Kamis, 16 Juni 2011 – 08:08 WIB
Otto Syamsudin Ishak, investigator dan pendamping kasus kasus hak asasi manusia saat menjadi instruktur kelas investigasi Jumat (17/06) lalu. Foto : Ridlwan/Jawa Pos

Selama puluhan tahun Otto Syamsuddin Ishak akrab dengan tubuh terluka, diintimidasi, diculik, bahkan hampir matiTapi, itu sama sekali tak menggoyahkan tekadnya untuk menjadi seorang investigator untuk kasus-kasus hak asasi manusia (HAM)

BACA JUGA: Melacak Jejak Untung, Terduga Teroris yang Tewas Mencurigakan di Tangan Densus 88

Apa yang membuat dirinya kuat?
 ------------------------------ ------------------------
 RIDLWAN-THOMAS AQUINO, Jakarta
------------------------------ ------------------------
Peristiwa tersebut selalu diingat Otto
Waktu itu sekitar akhir September 1991

BACA JUGA: Setelah Lamaran, Anak dan Ibu yang Berboncengan Itu Tewas Ditabrak Bus

Dia sedang berjalan sendiri di tepi hutan Geumpang, Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam)
Tiba-tiba, tiga orang bersenjata tajam muncul dari kanan dan kiri bukit

BACA JUGA: Modif Club, Klub Biker Para Difabel yang Gemar Touring

Tanpa basa-basi, parang-parang itu hampir terayun ke tubuhnya

Otto mundur setapak sembari mengamati tiga lelaki berwajah garang itu"Lho, Otto..Kau Otto kan?" tiba-tiba seorang di antara mereka berseru"Dia ternyata teman saya bermain layang-layang waktu kecilKami lantas berpelukan, lalu tertawa bersama," ujar Otto mengisahkan pertemuan mengesankan yang masih segar di memorinya itu.

Kejadian tersebut hanyalah salah satu di antara belasan insiden yang kenyang dinikmati OttoPutra asli Aceh yang lahir pada 14 Oktober 1959 tersebut selama bertahun-tahun memang aktif keluar-masuk hutan Aceh selama berlakunya daerah operasi militer (DOM) di sana pada era Orba sampai masa damai 2005"Mereka memang ditugaskan oleh seseorang untuk menghabisi sayaAlhamdulillah masih selamat," katanya

Jumat pekan lalu (17/6), Otto yang kini mengampu mata kuliah sosiologi di Universitas Syiah Kuala, NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), tersebut sedang berada di JakartaPria berkumis melintang dengan sorot mata tajam itu menjadi salah seorang instruktur pelatihan investigasi yang diprakarsai Yayasan PantauJawa Pos menjadi salah satu peserta

Otto tampil santai dengan celana jins dan baju lengan pendek tanpa dimasukkan ke pinggangDengan cekatan dia menulis bagan-bagan grafis di whiteboard soal tip dan trik investigasi"Menekuni ilmu investigasi itu harus totalAgar lancar, kita harus berkawan dengan semua pihakSaat itu dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) saya baik, dengan intel tentara juga baik," jelasnya.

Ayah lima anak dari pernikahannya dengan Dyah Rahmani Purnomowati itu terjun ke Aceh dengan LSM yang didirikannya, Cordova, pada 1990Otto juga ikut mendirikan Imparsial bersama almarhum Munir, pejuang HAMKarena kedekatannya dengan GAM, termasuk sempat mendirikan Komite Independen Pemilu, dirinya dipetakan sebagai "musuh" oleh TNI"Saya tahu itu, tapi tetap jalan saja," katanya

Prinsip Otto sederhanaKetika melakukan pendampingan atau investigasi, dia berharap akan ada satu nyawa yang bisa diselamatkan"Kalau saya lima menit berkunjung di satu kampung, lima menit itu pula korban yang saya dampingi merasa nyamanItu saja yang bisa saya lakukan," ungkapnya.

Pendidikan Otto awalnya adalah ilmu geografi regionalDia menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta pada 1977Pulang ke Aceh pada 1989, dia menjadi aktivis dan sesekali mengajar di Universitas Syiah KualaBaru pada 1995 dia bisa menamatkan S-2 sosiologi, juga di UGM

Sejak menjadi aktivis di pedalaman hutan-hutan Aceh, Otto tak memberitahukan profesinya itu kepada keluargaTerutama anak-anaknyaDia tak ingin aktivitasnya tersebut membahayakan nyawa keluarga"Kalau ditanya teman sekolah atau teman bermain di rumah soal pekerjaan saya, anak-anak saya tak tahu hendak menjawab apa," kata Otto

Tentu saja hal itu berdampak terhadap psikologis anak-anak Otto"Bayangkan, ketika yang lain bisa bangga bilang ayahku dokter, ayahku polisi, atau apa, anak saya bingung saya ini kerja apa sebenarnya," tuturnya.

Salah seorang anaknya sampai ngambek dan enggan berbicara dengan OttoHal itu terjadi bertahun-tahun"Pokoknya, setiap saya hendak berangkat, istri hanya pesan hati-hati Bang tanpa tahu tujuan saya ke mana," ungkapnya

Keluarga besar Otto juga cemasSebab, kakek Otto pernah meninggal dalam perjuangan melawan Belanda"Apa kau mau bernasib macam kakekmu?" kata Otto menirukan nasihat pamannya.

Tapi, berbekal tekad, langkah Otto tak surutCaranya bertahan dan masuk ke komunitas-komunitas asli Aceh juga unikMisalnya, dia tak pernah mau berfoto bersamaBaik dengan TNI maupun dengan warga Aceh"Coba cari foto saya saat itu, sama sekali tak adaOrang tahu nama saya, tapi tak tahu yang mana wajahnya," tegasnya.

Dia juga melarang sumber-sumbernya memberi tahu kekuatan militer masing-masing"Kalau misalnya pasukan GAM memberi tahu jumlah senjatanya, saya langsung pergiSaya tak ingin itu membahayakan mereka karena siapa jamin saya tak buka rahasia kalau ditangkap," ujarnya.

Saat DOM pada zaman Orde Baru diterapkan, tercatat 8.344 korban sipil tak berdosa berjatuhan di Aceh"Kami berusaha mendampingi mereka dan mengadvokasi hak-hak sipilnya," ungkapnya.Aktivitas Otto sampai ke dunia internasional saat diundang Sub-Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada 1999.

Dia juga pernah diculik aktivis GAMDirinya dipertemukan dengan panglima GAM saat itu, Teungku Abdullah Syafei atau yang populer disebut Teungku LahPertemuan tersebut berlangsung akrab dan hangat"Beliau mengundang saya kapan saja main ke kediamannyaKami bertukar cerita soal HAM dan hak-hak sipil," jelasnya

Berkat kedekatannya dengan Teungku Lah itu, Bondan Gunawan, menteri sekretaris negara era Presiden Abdurrahman Wahid, meminta bantuan Otto sebagai mediatorDiantar Otto, Bondan bertemu Teungku LahItulah cikal bakal jeda kemanusiaan pertama untuk konflik Aceh.

Setelah Teungku Lah wafat dalam kontak tembak, Otto pernah nyaris ditangkap TNISaat itu, secara kebetulan dirinya mendapat kesempatan untuk kursus tentang hak asasi manusia di Amerika Serikat"Saya jadi saksi mata tragedi WTC karena saya sedang berada dua blok dari gedung itu saat runtuh," ungkapnya.

Pulang ke Indonesia, Otto terus aktif mengadvokasi hak-hak sipilDia sangat bahagia ketika suatu hari anaknya menelepon dan meminta maaf sambil menangis"Tampaknya, dia iseng-iseng ketik nama Otto di Google, lalu pahamlah dia apa profesi bapaknya," tuturnyaAktivitas terbaru Otto saat ini adalah mendampingi aktivis di Papua"Sampai sekarang saya masih hilir mudik di Bumi Cenderawasih," katanya

Dia kerap bertemu aktivis-aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di gunung-gunung, lengkap dengan persenjataan mereka"Yang ini belum bisa diceritakan secara detail dulu," ujarnya.

Secara khusus, Otto mengkritik jurnalis yang enggan melakukan prinsip investigasiMedia, kata dia, lebih cenderung tak mau bersusah payah menembus narasumber untuk menggali informasi secara utuh.

"Misalnya, dalam kasus terorisme, media hanya mengutip polisiTidak ada yang mengadvokasi korbanMisalnya, setelah seseorang ditembak Densus, apa yang terjadi di keluarga itu," tegasnya.Hal itu membuat masyarakat jenuh"Jurnalisme yang hanya bersumber katanya orang dengan sendirinya akan ditinggalkan wargaMasyarakat sekarang sudah cerdas," ujarnya(c5/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingin Buktikan Pemain Sepakbola Juga Bisa Jadi Doktor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler