Owi/Butet Selalu Kena 'Kutukan' Istora, Hendra Menyesal Sedikit karena...

Selasa, 15 Maret 2016 – 08:00 WIB
Tontowi Ahmad/ Liliyana Natsir dari Indonesia kalah saat berhadapan dengan Zhang Nan/ Zhao Yunlei dari China dalam pertandingan ganda campuran di Indonesia Open, Jakarta. (06/06/2015). Foto: Wahyudin/Jawapos

jpnn.com - EMAS Olimpiade sudah. Juara dunia? Tiga kali malah. Medali All England, Asian Games, dan putaran final grand prix telah pula tergantung dengan manis di rak rumah. Belum lagi sederet gelar super series lain. 

NURIS ANDI P.-DIAR CANDRA, Jakarta

BACA JUGA: Striker Anyar Persib Disebut Legenda di Klub Lamanya, O Iya?

Karena itu, mau diukur pakai parameter apa pun, Hendra Setiawan jelas pebulu tangkis hebat.   Jadi, semestinya pemain spesialis ganda putra itu sudah sangat puas dengan raihannya. Semestinya. 

Tapi, toh partner Mohammad Ahsan tersebut merasa masih ada ”lubang” dalam karirnya. Kecil sih kalau dibandingkan dengan yang sudah dicapainya selama ini. Tapi, mungkin bagi dia, itu seperti bisul. Mengganggu.  

BACA JUGA: Sudah Ratusan Tahun Dukuh Ini tak Ada Listrik, di Jawa Bro!

”Saya belum pernah dapat emas PON,” katanya kepada Jawa Pos dalam sebuah perbincangan di markas bulu tangkis Indonesia di Cipayung, Jakarta Timur.

Menyesal? ”Sedikit, he he he,” lanjut Hendra.  

BACA JUGA: Dipanggil Presiden Jokowi ke Istana atau Saya Meninggal

Peluang merebut emas PON itu sebenarnya terbuka lebar pada 2004. Pada PON di Palembang tersebut, berduet dengan Markis Kido untuk mewakili Jakarta, Hendra melaju ke final. Tapi, di partai puncak itu, mereka ditaklukkan pasangan Jawa Tengah Nova Widianto/Candra Wijaya. 

”Padahal, kalau juara waktu itu, dapat rumah, ha ha ha,” kata pemain 31 tahun tersebut.

Untuk pemain dengan karir yang masih hijau kala itu, hadiah rumah jelas sangat wow. Tapi, tentu saja rumah yang lepas tersebut sudah terkompensasi dengan berbagai uang hadiah, penghargaan, bonus, serta kontrak sponsor yang diperoleh Hendra sepanjang karir sejak kegagalan di Palembang itu. Jumlahnya juga sudah pasti berlipat-lipat.

Indonesia punya sederet pebulu tangkis dengan raihan selevel Hendra. Dari generasi baheula sampai angkatan kiwari. Juga, seperti Hendra, di balik kegemilangan sepanjang karir, ada saja gelar yang selalu gagal direbut. 

Taufik Hidayat misalnya. Seperti Hendra, Taufik juga pernah berjaya di Olimpiade, kejuaraan dunia, dan Asian Games. Dan, tak seperti Hendra, menantu mantan Ketua Umum KONI Agum Gumelar itu dua kali sukses mengantarkan Indonesia menjuarai Piala Thomas.

Taufik juga tercatat sebagai pemegang rekor juara tunggal putra Indonesia Terbuka dengan enam kali memenanginya. Tapi, Taufik selalu terantuk di All England. 

Lain lagi Susy Susanti. ”Musuh besar” tunggal putri terbaik Indonesia sepanjang masa itu bernama Asian Games. Jangankan medali emas, ke final saja, juara Olimpiade 1992 di Barcelona itu belum pernah. 

Nah, kalau batu sandungan Taufik dan Susy di luar negeri, duet Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir malah terantuk di kandang sendiri. Mereka memang pernah mencatat hat-trick juara All England. Tapi, di Istora Senayan, ganda campuran andalan Indonesia itu selalu apes. 

Sejak dipasangkan pada 2010, belum sekali pun Owi/Butet –sapaan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir– naik podium di Istora Senayan. Pada 2011 dan 2012, Owi/Butet kandas di partai puncak Indonesia Terbuka. Lalu, mulai 2013 sampai 2015, duet peringkat kedua dunia tersebut selalu mentok di semifinal. Begitu pula saat tampil di kejuaraan dunia tahun lalu. 

”Terkadang kami juga terpengaruh riuh suporter di Istora,” ujar Owi.

Maksudnya, karena didukung teriakan aaaa…eaaa… oleh 15 ribu penonton, mereka kerap lepas kontrol.

”Penginnya gebuk terus,” ucap Owi. Atau kalau istilah pelatih mereka, Richard Mainaky, gedebak-gedebuk tanpa hasil. Akhirnya, permainan jadi monoton, gampang dibaca lawan, dan habis sendiri. 

Owi jelas lebih penasaran ketimbang Butet terkait dengan ”kutukan” di Istora itu. Sebab, Butet setidaknya pernah merasakan gelar di gelanggang yang sudah uzur tersebut. Pada 2005, penghuni pelatnas sejak 2002 itu menjadi juara ganda campuran bersama Nova Widianto. Tiga tahun berselang, dia menjadi kampiun ganda putri bareng Vita Marissa. 

”Saya, Butet, dan Kak Icad (pelatih ganda campuran pelatnas Richard Mainaky, Red) terus berkomunikasi buat menemukan solusi kenapa kok nggak bisa juara di Istora,” tutur Owi, yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. 

Owi maupun Butet berharap kesialan di Istora tersebut bisa diakhiri tahun ini. Begitu juga dengan ”lubang” lain: merebut emas di multievent. Sebab, mereka juga selalu tersandung pada babak-babak akhir. 

Pada Olimpiade 2012 London, misalnya, Owi/Butet maju ke semifinal. Namun, mereka menyerah lewat rubber game dengan hasil 23-21, 18-21, dan 13-21 terhadap Xu Chen/Ma Jin. Dalam perebutan perunggu, Owi/Butet lagi-lagi kalah oleh pasangan Denmark Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen dengan hasil 12-21 dan 12-21. 

Dalam Asian Games XVII/2014 di Incheon, Korea Selatan, Owi/Butet malah sudah menembus final. Sayang, di laga puncak, mereka disikat momok yang selalu mengalahkan mereka dua tahun belakangan, Zhang Nan/Zhao Yunlei. 

Dengan usia Butet yang sudah kepala tiga, waktu yang tersisa bagi mereka tak banyak lagi. Sebab, tak semua pemain seperti padi: makin tua makin berisi. Kebanyakan, kian bertambah usia, kian melorot pula prestasi.

Di Rio de Janeiro nanti, Butet menjalani Olimpiade ketiganya. Pada 2008, dia meraih perak bersama Nova Widianto. Sedangkan pada edisi 2012, dia gagal total, tanpa medali. Tahun ini adalah kesempatan terakhirnya buat mempersembahkan medali bagi Indonesia. 

”Kalau sudah juara Olimpiade itu, mau ngapain saja enak,” ujar Butet. 

Kalau memang demikian, mungkin pengalaman si juara Olimpiade Rexy Mainaky bisa menjadi cambuk bagi Butet dan Owi. Intinya, lubang di karir jangan sampai menjadi penghalang. Don’t get mad, get even! Kira-kira begitu istilah kekiniannya. 

Lihat saja Rexy. Berduet dengan Ricky Subagja, dia pernah dipermalukan duet Malaysia Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock di final ganda putra SEA Games 1995. Kegagalan itu sekaligus menjadikan emas SEA Games tak pernah masuk daftar curriculum vitae ganda legendaris Indonesia tersebut. Sebab, pada ajang yang sama edisi 1997, mereka juga kalah oleh Candra Wijaya/Sigit Budiarto di partai puncak.   

Tapi, setahun setelah kekalahan di SEA Games 1995, mereka membalasnya di ajang yang lebih berlipat-lipat gengsinya: Olimpiade. Rexy/Ricky mengatasi Cheah/Yap 5-15, 15-13, dan 15-12 di Atlanta. 

”Nggak papa, Bro, kita kelewatan medali emas SEA Games. Tapi, emas Olympic kita sikat,” kata Rexy, melalui pesan singkat.      

Bisa jadi kekalahan di final SEA Games 1995 itu menjadi pelajaran berharga bagi Ricky/Rexy sehingga tak mengulangi kesalahan yang sama setahun berselang. Tapi, menurut Rexy, tak ada salahnya juga sedikit ”beramal”. 

”Kan bagus juga kalau kita bagi-bagi medali ke pemain lain biar nggak terkesan serakah, he he he,” tambah bapak dua anak itu.

Rexy tentu bergurau. Tapi, ada baiknya Owi/Butet tetap menjadikannya pelajaran. Jadi, anggap saja kegagalan sebelumnya di Istora atau multievent sebagai ”amal”. Semoga di Olimpiade 2016, giliran para pemain lain yang ”beramal” kepada mereka… (*/c11/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gubernur Ganteng Marah: Honorer Saya Pecat Semua!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler