Pacu Jalur Kuantan Singingi, Festival Menjaga Tradisi

Rabu, 01 Oktober 2014 – 00:41 WIB
Suasana Meriah Lomba Pacu Jalur di Kuantan Singingi. Foto: IST

jpnn.com - RIBUAN penonton di tepian Narosa terdengar riuh rendah. Mereka memberi semangat pada anak jalur yang baru saja lepas. 40 pemuda mengayuh kencang masing-masing dayung mereka. Kompak dan serentak.

 

BACA JUGA: Ibu Muda Rangkap Bandar Narkoba Diringkus

Anggota sebuah jalur disebut anak pacu, terdiri atas: tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan) dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberi tekanan yang seimbang agar jalur berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama. Selain pemain, dalam lomba pacu jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya perlombaan dan menetapkan pemenang.

 

BACA JUGA: Jadwal Tes CPNS Masih Tunggu Tim BKN ke Nunukan

Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Hal ini tak lepas dari catatan panjang sejarah, Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, telah digunakan sebagai jalur pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pulalah perlombaan pacu jalur pertama kali dilakukan. Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan tiga tiang pancang.

Pacu Jalur merupakan salah satu tradisi budaya di Riau yang begitu mengakar di masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. Bahkan agenda ini sudah masuk dalam kalender pariwisata nasional. Pacu jalur sejenis lomba perahu dayung tradisional dari Riau berukuran panjang sekitar 25-40 m dengan awak perahu 40-60 orang, tergantung dari jenis jalurnya.

BACA JUGA: Jamwas Kirim Tim Periksa Pejabat Kejati Sulsel

Asal Usul dan Perkembangan

 

Kuantan Singingi adalah sebuah daerah yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, pada gilirannya membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur1 sebagai alat transportasi Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya.

 

Selain itu, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.

 

Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat stempat disebut sebagai “pacu jalur”.

 

Pada awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Ketika itu setiap perlombaan tidak selalu diikuti dengan pemberian hadiah. Artinya, ada kampung yang menyediakan hadiah dan ada yang tidak menyediakannya. Lomba yang tidak menyediakan hadiah diakhiri dengan acara makan bersama.

 

Adapun jenis makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan empat buah marewa2 yang ukurannya berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing).

 

Ketika Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk Teluk Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17- Agustusan).

Banyak makna yang muncul dari tradisi pacu jalur ini. Tidak sebatas perlombaan yang rutin digelar sekali dalam setahun. Dimulai dari semangat gotong royong masyarakat. Semangat kegotong royongan terlihat mulai dari proses pembuatan jalur hingga perlombaan. Biasanya masyarakat Kuansing melakukan musyawarah terlebih dahulu sebelum pembuatan jalur. Setelah semua sepakat baru kemudian mereka bersama-sama ke hutan mencari pohon besar yang nantinya akan digunakan untuk pembuatan jalur tersebut.

Bukan hal yang mudah, ada begitu banyak proses yang harus dilalui, jika sudah mendapatkan pohon yang cocok untuk dijadikan jalur, maka harus dilakukan tradisi persembahan untuk meminta izin sebelum dilakukan penebangan pohon. Pemilihan pohon yang akan dijadikan jalur juga tidak sembarangan, karena kayu yang digunakan akan sangat mempengaruhi hasil lomba nantinya. Di luar peran dari pawang ataupun dukun jalur tentunya.

Masyarakat pun meyakini kalau pohon yang sudah ditebang kemudian dijadikan jalur tersebut akan tetap hidup secara ghaib. Peran dari dukun jalur inilah nantinya yang akan menentukan kencang atau tidaknya jalur ini ketika dilombakan, makanya tidak heran kalau kita melihat ada prosesi yang dilakukan pada saat mencari, membuat, dan melepas jalur ke gelanggang pacuan.

Biasanya sebelum pacu jalur dimulai diawali dengan Upacara Sakral dan Magis oleh Pawang jalur. Seluruh Desa dan Kecamatan di Kabupaten Kuantan Singing mengirimkan wakilnya untuk mengikuti lomba sebagai partisipasi dan prestise masing-masing desa. Disamping pacu jalur diadakan juga Pekan Raya Kuantan Singing, pertunjukan Sendratari, lagu daerah, randai, dan sebagainya.

Dentuman Meriam

Perlombaan Pacu Jalur Taluk Kuantan memakai penilaian “sistem gugur”. Sehingga peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Selain itu juga menggunakan “sistem setengah kompetisi”. Dimana setiap regu akan bermain beberapa kali, dan regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.

Perlombaan meriah ini dimulai dengan tanda yang cukup unik, yaitu dengan membunyikan meriam. Bagi Anda yang belum terbiasa mendengar suara meriam ini jangan kaget. Meriam ini digunakan karena bila memakai peluit, suara peluit  tidak akan terdengar oleh peserta lomba. Karena luasnya arena pacu dan hiruk pikuk penonton yang menyaksikan perlombaan.

Pada dentuman pertama Jalur-Jalur (perahu-perahu) yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap untuk mengayuh dayung. Dan setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketiga kalinya, maka dimulailah perlombaan Pacu Jalur tersebut. Setiap regu akan berlomba memacu (mengayuh) Jalurnya dan mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk mencapai garis finish.

Sebelum acara puncak festival Pacu Jalur ini dimulai, Anda terlebih dahulu akan dihibur dengan penampilan tari-tarian dan nyanyian daerah untuk menghibur peserta dan masyarakat yang menyaksikan acara ini. Biasanya festival ini diikuti oleh ratusan perahu dan melibatkan ribuan atlet dayung.

Peralatan permainan dalam pacu jalur, tentu saja adalah jalur yang dibuat dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung. Panjang jalur antara 25--30 meter, dengan lebar ruang bagian tengah 11,25 meter. Bagian-bagian jalur terdiri atas: (1) luan (haluan); (2) talingo (telinga depan); (3) panggar (tempat duduk); (4) pornik (lambung); (5) ruang timbo (tempat menimba air); (6) talingo belakang; (7) kamudi (tempat pengemudi); (8) lambai-lambai/selembayung (pegangan tukan onjor); (9) pandaro (bibit jalur); (10) ular-ular (tempat duduk pedayung); (11) selembayung (ujung jalur berukir); dan (13) panimbo (gayung air). Jalur dilengkapi pula dengan sebuah dayung untuk setiap pemain.

 

Bagian selembayung dan pinggir badan jalur biasanya berukir dan diberi warna semarak. Motifnya bermacam-macam seperti: sulur-suluran, geometris, ombak, buruk dan bahkan pesawat terbang. Tiap-tiap jalur mempunyai nama seperti: Naga Sakti, Gajah Tunggal, Rawang Udang, Kompe Berangin, Bomber, Pelita, Orde Baru, Raja Kinantan, Kibasan Nago Liar, Singa Kuantan Sungai Pinang, Dayung Serentak, Keramat Jati, Panggogar Alam, Tuah di Kampuang Godang di Rantau, Ratu Dewa dan lain-lain. Tujuan dari pengukiran, pewarnaan dan pemberian nama pada setiap jalur tersebut adalah agar dapat “tampil beda” dari yang lain.

 

Untuk dapat membuat sebuah jalur-lomba yang biasanya mewakili desa, kecamatan atau kabupaten, harus melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan banyak orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan jalur dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Kuantan Singingi disebut jalur.

 

Hal pertama yang dilakukan adalah menyusun rencana pembuatan jalur melalui musyawarah atau rapek kampung yang dihadiri oleh berbagai unsur seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda. Rapat ini biasanya dipimpin oleh seorang pemuka desa atau pemuka adat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka kegiatan selanjutnya adalah memilih jenis kayu. Pohon yang dicari adalah banio atau kulim kuyiang yang panjangnya antara 25--30 meter dengan garis tengah antara 1½ --2 meter. Kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, tahan air, juga dipercayai ada “penunggunya”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditentukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan kepada “penunggu” pohon agar pohon itu tidak hilang secara gaib.

 

Kayu yang sudah disemah oleh pawang, selanjutnya ditebang dengan kapak dan beliung. Setelah itu, kayu diabung (dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai dengan panjang jalur yang akan dibuat. Setelah diabung kedua ujungnya, kemudian kayu dikupas kulitnya dan diukir pada bagian haluan, telinga, dan lambung. Apabila jalur sudah terbentuk, maka langkah berikutnya adalah meratakan bagian depan (pendadan), yakni bagian atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke ujung. Kemudian disusul dengan tahap mencaruk atau melubangi dan menghaluskan bagian dalam kayu dengan ketebalan tertentu.

 

Selanjutnya menggaliak atau membalikkan dan menelungkupkan kembali jalur untuk dibentuk dan dihaluskan. Pekerjaan ini memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga ketebalan jalur agar dapat seimbang ketika berada di air. Cara mengukurnya antara lain dengan membuat lubang-lubang kakok atau bor yang kemudian ditutup lagi dengan semacam pasak.

 

Setelah terbentuk, maka jalur dibalikkan kembali dan kemudian dilanjutkan dengan proses terakhir yaitu membuat haluan dan kemudi. Apabila haluan dan kemudi telah terbentuk, maka jalur akan dibawa ke kampung untuk diasapi dan disertai dengan upacara maelo jalur. Sebelum jalur diluncurkan ke sungai, ada suatu upacara lagi yang bertujuan agar jalur dapat berlayar dengan baik ketika sudah berada di air.

 

Aturan Permainan

 

Pacu jalur dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: (1) pacu antarbanjar atau dusun; (2) pacu antardesa atau kelurahan; dan (3) pacu antarkecamatan yang ada di wilayah Kuantan Sengingi. Aturan dalam ketiga tingkatan perlombaan pacu jalur tersebut tergolong mudah, yaitu regu jalur yang dapat mencapai garis finish terlebih dahulu dari regu lain, dinyatakan sebagai pemenangnya. Pertandingan pacu jalur biasanya dilakukan dengan dua sistem yaitu: setengah kompetisi dan sistem gugur untuk menentukan pemenang pertama hingga keempat dan sepuluh besar.

 

Perlombaan, baik antardusun, antardesa, maupun antarkecamatan, diawali dengan membunyikan meriam. Meriam digunakan karena apabila memakai peluit tidak akan terdengar oleh peserta lomba, mengingat luasnya arena pacu dan banyaknya penonton yang menyaksikan perlombaan. Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap regu telah berada di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap (berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung.

 

Setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketika kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah anak pacunya (peserta) dalam lomba ini tidak dipersoalkan, karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang dalam “mengendalikan” jalur.

 

Dalam pertandingan jalur, apabila menerapkan sistem gugur, maka peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Namun apabila menggunakan sistem setengah kompetisi, setiap regu akan bermain beberapa kali dan pada akhirnya regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.

 

Adapun nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja keras, ketangkasan, keuletan, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar jalurnya dapat mendahului jalur regu lain. Nilai ketangkasan dan keuletan tercermin dari teknik-teknik yang dilakukan oleh anggota sebuah regu dalam menjalankan jalur agar dapat melaju dengan cepat dan tidak tenggelam.

 

Selain itu terdapat nilai kerja sama yang tercermin dari anggota regu yang berusaha bersama-sama mengendalikan jalur agar dapat melaju cepat dan memenangkan perlombaan. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. Pastikan anda tidak ketinggalan untuk menikmati festival pacu jalur saat mengunjungi Provinsi Riau.(***)

(Tulisan dirangkum dari berbagai sumber)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tertibkan Pasar Tumpah Keputran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler