Pajak Baru

Oleh: Dahlan Iskan

Selasa, 30 Maret 2021 – 05:50 WIB
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Ini tidak sekadar menang pemilu. Ini perjuangan ideologi ekonomi.

Belum lagi 100 hari menduduki kursi kepresidenan Joe Biden sudah berani bersikap: naikkan pajak. Terutama untuk orang kaya.

BACA JUGA: Borris Johnson dan Joe Biden Prihatin dengan Aksi Balasan dari China

Pun Presiden Donald Trump dulu. Belum 100 hari masa kepresidenannya sudah melakukan itu: turunkan pajak.

Itulah pembeda terbesar ideologi Demokrat dan Republik: soal teori ekonomi.

BACA JUGA: Joe Biden Kucurkan Stimulus, Warga AS Mulai Terima BLT Setara Rp 20 juta

Partai Republik berteori ekonomi bisa maju kalau pajak rendah.

Partai Demokrat berteori ekonomi bisa maju kalau yang kaya dipajaki lebih tinggi.

BACA JUGA: Terjebak Seminggu di Terusan Suez, Kapal Sebesar Gedung Pencakar Langit ini Bikin Pusing Pemerintah Mesir

Republik berpendapat: kalau tarif pajak itu tinggi pengusaha tidak bergairah. Mereka akan lari ke negara yang pajaknya rendah.

Demokrat berpendapat: anggaran negara harus besar. Untuk bisa membiayai pembangunan besar-besaran. Dan sumber anggaran itu harus dari pajak.

Lanjutan dari ideologi itu: Republik lebih pro pengusaha besar. Demokrat lebih pro pekerja. Republik lebih menginginkan pemerintah yang kecil –jangan banyak peraturan. Demokrat ingin pemerintah ikut mengatur ekonomi.

Biden tidak perlu pencitraan. Ia tegas: pajak harus naik.

Soal naik berapa persen akan dinegosiasikan dengan parlemen. Ia sendiri maunya sampai 36 persen. Dari yang sekarang 21 persen.

Belum pernah Amerika punya tarif pajak serendah sekarang. Trump sangat membanggakan sejarah yang dia buat itu.

Bahkan dia pribadi, waktu itu, ingin pajak turun sampai tinggal 16 persen. Kompromi politik akhirnya sepakat di angka 21 persen.

Kompromi yang sama akan dilakukan Biden. Ia tidak akan bisa menaikkan pajak sesuai dengan keinginan idealnya.

Senaik-naiknya, kelihatannya tidak akan melebihi 29 persen. Bahkan, bisa jadi, akan ketemu di angka kompromi: 27 persen.

Biden merencanakan kenaikan pajak itu akan menambah pemasukan negara sebesar USD 2,5 triliun. Itu akan cukup untuk membiayai pembaharuan infrastruktur di Amerika.

Infrastruktur itu nanti akan lebih banyak dinikmati oleh orang kaya. Karena itu sumber biayanya juga harus dari pajak.

Sedang untuk golongan bawah Biden baru saja berhasil mendapat persetujuan parlemen: USD 1,9 triliun. Untuk dibagi langsung kepada keluarga berpendapatan rendah. Mereka menderita akibat Covid.

"Kita (AS) harus punya paradigma baru untuk juga menghargai kerja. Bukan hanya menghargai kekayaan," ujar Biden seperti dikutip secara luas di media Amerika.

Hasil jajak pendapat terbaru mengatakan dukungan untuk Biden memang tinggi. Mencapai 70 persen. Itu tinggi sekali. Terutama untuk langkahnya mengatasi Covid-19.

Saat dilantik Biden punya target: di 100 hari pertamanya sebagai presiden 100 juta orang Amerika divaksin.

Target itu ternyata tercapai dalam 50 hari. Maka Biden menjanjikan target baru: 200 juta dalam 100 hari pertama di Gedung Putih.

Angka Covid di AS memang menurun drastis. Kemarin, misalnya, adalah yang terendah: hanya 34.000 sehari. Di zaman Trump dulu pernah 200.000/hari.

Dukungan terendah untuk Biden hanya di bidang imigrasi. Bulan ini angka manusia yang ingin masuk Amerika mencapai puncaknya. Mereka memenuhi perbatasan Amerika-Mexico: dari berbagai negara miskin di Amerika Tengah.

Mereka itu, kata pengkritik Biden, punya mimpi: begitu Biden jadi presiden perbatasan akan dibuka. Para oposan menilai perbatasan sekarang ini dalam keadaan krisis.

Biden tidak setuju istilah krisis itu. Dari tahun ke tahun jumlah pengungsi di perbatasan selalu naik drastis di bulan Maret. Itulah, kata Biden, bulan terbaik untuk mencapai perbatasan. Tidak lagi dingin. Juga belum musim panas.

Di bidang pengendalian senjata api untuk perorangan, Biden juga kurang dapat dukungan. Sebenarnya titik kompromi hampir bertemu: semua orang tetap bebas memiliki senjata api, tetapi saat membelinya harus menyertakan latar belakang hidupnya.

Tinggal ada ganjalan sedikit di sini: apakah seorang ayah yang akan menjual senjata kepada anak kandungnya tega mengecek latar belakang anaknya.

Dua minggu lalu memang ada dua kejadian besar di Amerika. Dua-duanya dilakukan oleh pemuda umur 21 tahun. Yang satu anak kulit putih. Satunya lagi anak keturunan Arab-Suriah.

Yang kulit putih melakukan penembakan di tiga panti pijat di dekat Atlanta. Delapan orang meninggal.

Yang keturunan Arab melakukan penembakan di supermarket di kota Boulder Colorado. Yang meninggal sepuluh orang –salah satunya polisi.

Yang kulit putih mengaku punya problem kecanduan seks.

Yang keturunan Arab mengaku sering jadi korban bully saat di SMA. Ia lahir di Suriah. Umur lima tahun dibawa mengungsi ke Amerika.

Dua pemuda 21 tahun itu sama-sama membeli senjata di toko dekat rumah mereka. Waktunya pun sama: 2-3 hari sebelum melakukan penembakan membabi buta.

Dua-duanya tidak ada hubungannya dengan rasisme. Atau agama. Atau ideologi. Karena itu hebohnya tidak lama.

Apalagi Biden tidak mau terpancing. Ia tetap tidak mau keluar jalur. Kenaikan pajak akan jadi perjuangan jangka pendeknya di parlemen.

Dia sama dengan Trump: prihatin akan ketertinggalan Amerika di sektor infrastruktur. Yang dalam kata-kata Trump, infrastruktur Amerika itu seperti negara dunia ketiga.

Amerika belum bisa membuktikan secara nyata teori mana yang terbukti terbaik. Pergantian pemerintahan lewat pemilu selalu membuat program tidak berjalan tuntas. (*)

 


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler