jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah urung menerapkan pajak karbon karena sejumlah gejolak di tingkat global. Penerapan pajak karbon kembali ditunda untuk kedua kalinya.
CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani mengatakan penerapan pajak karbon memang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.
BACA JUGA: Teddy Garuda Minta Bu Sri Mulyani Kalem soal Ajakan Biokot Pajak
"Kami mengapresiasi penerapan pajak karbon kepada sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca," ungkap Johanna dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (22/7).
Namun, Johanna menilai penerapan pajak karbon harus dilakukan dengan perencanaan dan kalkulasi yang matang sehingga dapat meminimalisir dampak negatif seperti inflasi.
BACA JUGA: PT Jhonlin dan Bank Panin Tunggu Waktu Saja, Sudah Ada Bukti Suap ke Pejabat Pajak
"Penerapan pajak karbon dapat menimbulkan potensi kenaikan harga energi seperti BBM maupun listrik dengan bertambahnya ongkos produksi," imbuh Johanna.
Dia juga menyebut perlu edukasi terkait pentingnya pajak karbon, terutama terkait risiko perubahan iklim terhadap masyarakat.
"Sehingga nantinya, ketika pemerintah menerapkan pajak karbon secara penuh, masyarakat dapat menerima dengan baik,” ungkap Johanna.
BACA JUGA: Cara Mudah dan Cepat Mengurus Pajak dengan Menggunakan E-Billing, Catat!
Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, dan lain - lain. Pajak karbon bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca sebagai langkah memerangi pemanasan global.
Pajak karbon sedang diperkenalkan di Indonesia sesuai dengan Undang - Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan DPR sejak 7 Oktober 2021.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama.
Menurut Kementerian Keuangan, dana yang terkumpul dari pajak karbon akan digunakan untuk menambah dana pembangunan, mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta program bantuan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Data Bank Dunia menyebut sampai pertengahan 2021, terdapat sekitar 35 negara yang telah menerapkan pajak karbon. Tiap negara menerapkan kebijakan pajak yang beragam. Finlandia misalnya, menerapkan tarif pajak berbeda terhadap emisi karbon dari kendaraan dan pembangkit listrik.
pajak karbon di skala global umumnya dihitung dengan satuan USD Serikat per ton CO. Selain itu, ada juga negara yang menerapkan pengendalian emisi karbon melalui instrumen kebijakan pasar karbon atau Emission Trading System (ETS) seperti Tiongkok, Korea Selatan, Selandia Baru, beberapa negara anggota Uni Eropa, dan sejumlah negara bagian Amerika Serikat.
Di tahap awal nanti, Indonesia akan mengenakan pajak karbon kepada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, dengan tarif Rp 30 ribu atau sekitar US$ 2,1 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e).
Adapun mekanismenya dengan menetapkan cap atau batas maksimal emisi untuk tiap sektor dan pajak akan ditetapkan pada emisi di atas cap tersebut, bukan atas keseluruhan emisi. (mcr10/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul