Pajak Terlalu Banyak, Pengembang Properti Masih Butuh Insentif

Selasa, 25 Juni 2019 – 14:56 WIB
Ilustrasi perumahan yang sedang dibangun. Foto: Kaltim Post/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah telah menaikkan batas harga rumah yang dikategorikan mewah dari Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar.

Rumah yang harganya di bawah Rp 30 miliar tidak dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

BACA JUGA: Harga Rumah Subsidi Naik, Margin Keuntungan Pengembang Tidak Terlalu Besar

Selain itu, batas harga rumah mewah yang dikenai pajak penghasilan (PPh) pasal 22 juga akan naik dari Rp 5 miliar menjadi Rp 30 miliar.

BACA JUGA: Tol Malang Bikin Properti CitraGarden City Laris Manis

BACA JUGA: Pajak Rumah Mewah Kian Longgar

Dengan begitu, rumah di bawah harga Rp 30 miliar tidak dikenai PPh pasal 22. Tarif pajaknya pun akan diturunkan dari lima persen menjadi satu persen.

Meski demikian, pengembang masih membutuhkan insentif pajak untuk mendorong pertumbuhan penjualan properti.

BACA JUGA: Penjualan Rumah Mewah Turun 70 Persen

Sekretaris Jenderal DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, meski sejumlah keringanan pajak telah diberikan, pajak untuk properti masih dinilai mahal.

Totok mencontohkan, rumah mewah dikenai pajak 38,5 persen. Pajak-pajak itu terdiri atas pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 5 persen, PPh pengalihan 2,5 persen, PPh pasal 22 sebesar 1 persen, dan PPnBM 20 persen.

"Terlalu banyak itu. Macam-macam sekali pajaknya," ujarnya, Senin (24/6). Rumah sederhana dikenai pajak yang totalnya 17,5 persen karena tidak dikenai PPnBM dan PPh pasal 22.

Jenis pajak yang telah ada, menurut Totok, sangat beragam. Dia ingin pajak-pajak tersebut disederhanakan.

"Supaya lebih mudah menghitungnya dan mengurusnya. Itu supaya konsumen tidak diberatkan," ucapnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, komponen perpajakan yang ada dalam transaksi properti memang sangat banyak.

Tarifnya pun mahal. Dia menyarankan BPHTB diturunkan dari 5 persen menjadi 2,5 persen.

Namun, karena BPHTB merupakan ranah pemerintah daerah (pemda), mengubah aturan cukup sulit.

Karena itu, harus ada revisi terlebih dahulu terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

"Itu mutlak supaya dasar hukumnya diubah. Harus ada aturan yang lebih tinggi di tingkat pusat untuk mengubah itu," katanya. (rin/c11/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Strategi Intiland Grande Genjot Penjualan Properti


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler