Pak Bill dan Pak Amien

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 04 April 2022 – 16:59 WIB
Presiden Jokowi. Foto : dok. Ricardo/JPNN

jpnn.com - Dua orang profesor itu berasal dari dua wilayah yang dipisahkan oleh jarak 16 ribu kilometer menyeberangi Samudera Pasifik. Satu di Yogyakarta, lainnya di Ohio, Amerika Serikat.

Namun, keduanya seperti disatukan oleh keprihatinan yang sama. Prof. Amien Rais di Yogya dan Prof. R. William Liddle di Amerika, secara hampir bersamaan memberikan refleksinya mengenai kondisi politik mutakhir di Indonesia.

BACA JUGA: Rapat di DPR, Anak Buah Jokowi Dicecar Soal Isu Presiden 3 Periode

Amien Rais dengan gayanya yang khas menohok, mengingatkan Presiden Joko Widodo supaya menghentikan tindakannya yang megalomanian dengan menggelindingkan wacana penambahan jabatan kepresidenan tiga periode. Amien menyebut Jokowi terkena sindrom paranoid dan menyarankan supaya memeriksakan diri ke psikolog.

Pak Bill--begitu Prof. Liddle biasa disapa koleganya di Indonesia—dengan lebih halus mengingatkan kemungkinan kekuasaan Jokowi akan berakhir dengan tragedi jika memaksakan perpanjangan tiga periode. Pak Bill mengutip kepemimpinan Soekarno dan Soeharto yang berakhir dengan tragedi karena terjadinya pelanggaran demokrasi secara telanjang.

BACA JUGA: Dicecar Komisi II Soal APDESI Dukung Jokowi 3 Periode, Pratikno Bilang Begini

Pak Amien, veteran pejuang reformasi, mempunyai pengalaman langsung ketika berhadapan dengan rezim otoriter Soeharto. Amien menjadi salah satu tokoh sentral dalam proses kejatuhan Soeharto. Dalam gerakan reformasi 1998 itu Amien berani menantang Soeharto yang ketika itu berada pada puncak kekuasaan.

Ketika itu Amien masih muda, kuat, dan seolah tidak mengenal takut. Sekarang, Amien Rais sudah berusia 78 tahun, terlihat sepuh, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti dari aktivisme politik. Energinya tetap menyala setiap kali melihat kekuasaan yang dianggapnya menyimpang dari garis demokrasi.

BACA JUGA: Keras, Amien Rais Sebut Rezim Jokowi-Luhut Paranoid hingga Ugal-ugalan

Amien mendirikan Partai Ummat dan menjadi ketua majelis syuro yang sangat berpengaruh. Dalam video resmi partai yang dirilis Sabtu (2/4) Amien dengan tegas menolak wacana kepresidenan tiga periode. Dengan tegas Amien menyebutkan bahwa pasangan Jokowi-Luhut harus berakhir pada 2024.

Amien pasti sengaja memakai istilah ‘’Pasangan Jokowi-Luhut’’ dan tidak menyebut ‘’Jokowi-Ma’ruf Amien’’. Ini memang gaya khas Amien setiap kali membuat pernyataan politik. Selalu tajam dan tidak pakai basa-basi.

Menyebutkan nama Luhut dengan terbuka berarti Amien membeber kepada publik bahwa wacana tiga periode ini muncul dari Luhut. Jokowi memang bersikap pasif dengan menyampaikan beberapa kali pernyataan yang bersayap. Namun, jelas terlihat bahwa Jokowi menunggu gelombang sambil mengukur kedalaman air.

Jokowi dan Luhut Binsar Pandjaitan harus selesai masa jabatannya pada 2024 mendatang. Sehingga jangan lagi ada wacana perpanjangan jabatan kepala negara yang jelas menabrak konstitusi.

Bagi Amien perkembangan politik ini seperti sebuah ‘’deja vu’’ sebuah pengalaman yang terulang kembali. Ia mengalaminya semasa Orde Baru. Ia melihat wacana perpanjangan tiga periode ini sama seperti era Orde Baru yang berusaha memperpanjang kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.

Dia tegas menolak dan menyebut rekayasa itu sebagai kejahatan politik, political crime. Ditegaskan, tidak boleh lagi dua oknum ini lantas menggerakkan berbagai cara, kebulatan tekad ala Orde Baru. Masih terngiang-ngiang rakyat kita dibodohi, ditekan, diancam untuk mengegolkan tujuan politik yang sesungguhnya jahat.

Amien melihat ada gejala paranoid dalam rezim ini. Perpanjangan masa jabatan digelindingkan karena adanya ketakutan, selalu merasa tidak aman terhadap pemimpin berikutnya. Karena itu kemudian digunakan cara-cara Orde Baru, seperti bujuk rayu terhadap masyarakat untuk mendapatkan dukungan, seolah-oleh hanya Jokowi saja yang mampu menyelamatkan Indonesia.

Ciri rezim paranoid, kata Amien, adalah tidak pernah merasa secure, kemudian menutupi kelemahannya dengan menggertak, mengancam, mengerahkan massa yang masif. Pernyataan sikap dari sekumpulan kepala desa yang mendukung tiga periode adalah contohnya.

Pola yang sama oleh Amien bakal dilakukan dengan menggerakkan asosiasi-asosiasi dan kumpulan tertentu seperti petani, nelayan, buruh, pegawai negeri, pensiunan, dan kelompok-kelompok lain dari berbagai komponen.

Pak Bill tidak kalah keras pesannya dibanding Pak Amien. Namun, Pak Bill lebih lembut dan tersembunyi. Agak ironis rasanya. Pak Bill yang orang Amerika malah sangat Jawa dalam memberikan kritik. Santun dan penuh dengan tembung sanepa. Namun, message-nya tegas dan menohok. Sebuah kode keras.

Dalam artikelnya ‘’Sesepuh Bangsa’’ (4/3) Pak Bill dengan terus terang menyebut peran Jokowi dalam kemunculan wacana kepresidenan tiga periode. Kiranya tidak tersangkal lagi, Presiden Jokowi sedang menggalang kekuatan politik agar sidang MPR diselenggarakan dan konstitusi diamendemen demi perpanjangan masa jabatannya.

Mengapa kesimpulan mengenai hal ini begitu pasti? Pak Bill kemudian mengajukan argumen dengan mengemukakan pernyataan tiga pemimpin parpol, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar, yang menghendaki penundaan pemilu. Peran Luhut Binsar Panjaitan oleh Pak Bill juga disebut sebagai faktor yang meyakinkannya bahwa Jokowi berada di belakang wacana ini.

Sama seperti Pak Amien, Pak Bill mengingatkan kita supaya belajar kepada sejarah Orde Baru. Pak Bill mengingatkan juga peristiwa yang mengakhiri kekuasaan Bung Karno bersama Orde Lama. Pak Bill menyarankan Jokowi belajar dari kearifan B.J Habibie yang pada 1999 memutuskan untuk tidak memaksakan diri maju sebagai presiden, setelah pertanggungjawabannya ditolak dalam oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Habibie dianggap sebagai seorang demokrat sejati yang harus diteladani oleh Jokowi. Habibie belajar dari sejarah, belajar dari pengalaman buruk yang terjadi pada Orde Lama dan Orde Baru. Model kepemimpinan yang top-down memaksakan kehendak dari atas ke bawah membawa konsekuensi kehancuran dua rezim itu.

Bung Karno memaksakan demokrasi terpimpin dengan sentral kekuasaan berada di tangannya. Dengan kekuasaan mutlak itu ia mengendalikan demokrasi dari atas ke bawah. Tidak ada inisiatif rakyat, tidak ada kebebasan berpendapat dari rakyat. Dengan kekuasaan yang berpusat di tangannya, Soekarno menasbihkan diri sendiri sebagai presiden seumur hidup.

Akhir dari kisah kekuasaan Soekarno adalah tragedi. Ia digulingkan oleh demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang tidak bisa lagi dikendalikan. Legasi Soekarno sebagai proklamator tercoreng oleh tipuan kekuasaan yang membuatnya terlena.

Soeharto melakukan koreksi terhadap Soekarno. Namun, yang dilakukan tidak lebih baik. Soeharto juga memusatkan kekuasaan di tangannya dan mengendalikan negara dengan pendekatan top-down yang otoriter. Soeharto terobsesi oleh stabilitas sebagai prasyarat pembangunan, dan stabilitas itu dicapainya dengan menekan kebebasan rakyat.

Pak Bill menyarankan Jokowi belajar dari kearifan Habibie yang mengubah pendekatan top-down menjadi bottom-up. Memberi kebebasan demokrasi kepada rakyat supaya bisa mempergunakan kebebasan dengan lebih bijaksana. Dengan demokrasi dan kebebasan itu Habibie akan membangun ekonomi dan kesejahteraan berbasis masyarakat madani yang demokratis.

Stabilitas politik dicapai kalau rakyat punya kebebasan dan kesejahteraan. Stabilitas tidak perlu dipaksakan dari atas dengan berbagai rekayasa, karena stabilitas paksaan seperti itu rapuh dan sangat mudah ambruk. Kalau masyarakat madani yang demokratis sudah tercapai, stabilitas akan muncul menjadi sebuah sistem yang tidak bergantung kepada kepemimpinan perorangan.

Pak Bill menyebut ‘’Sesepuh Bangsa’’, tetapi tidak eksplisit menyebut nama. Secara implisit Pak Bill merujuk Habibie sebagai Sesepuh Bangsa dengan sikap kenegarawanan yang bijaksana. Pak Bill menyebut Habibie sebagai presiden demokratis pertama dalam era Reformasi.

Mengapa? Karena Habibie adalah presiden pertama dalam sejarah Indonesia merdeka yang menyerahkan nasib politiknya kepada suara rakyat. Setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR hasil pemilu demokratis 1999, ia langsung menarik kembali pencalonannya untuk masa jabatan 1999-2004.

Jokowi harus belajar pada kearifan Habibie. Itulah pesan Pak Bill. Tegas dan jelas. Jika tidak, maka demokrasi Indonesia berada dalam bahaya. Ancaman yang dihadapi demokrasi Indonesia kini begitu nyata, tetapi solusinya juga begitu terang.

Apa itu? Pemilu diadakan sesuai jadwal, dan masa jabatan kepresidenan harus tetap dipertahankan dua periode. Mudah-mudahan Jokowi mengikuti nasihat Pak Bill. (*)


Redaktur : Mufthia Ridwan
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler