jpnn.com, JAKARTA - Achmad Budi Cahyanto, guru seni rupa di SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura, meninggal dunia usai dipukul muridnya sendiri. Kasus kekerasan di dunia pendidikan bukan kali ini saja terjadi.
---
Ambulans yang ditumpangi Budi sampai di RSUD dr Soetomo, Surabaya, pukul 20.19 pada Kamis (1/2). Mobil ambulans tersebut langsung parkir di depan Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Perawat datang membawa dragbar untuk membawa guru SMAN 1 Torjun Sampang itu masuk.
BACA JUGA: Inikah Penyebab Murid Berani Pukul Guru?
Sayang, hanya mendapatkan perawatan selama hampir dua jam, Budi menghembuskan napas terakhir.
Kepala PKRS RSUD dr Soetomo dr Pesta Parulian Maurid Edwar SpAn mengatakan Budi sempat mendapatkan perawatan.
BACA JUGA: Pak Guru Meninggal Usai Dipukul Murid, Istri Sedang Hamil
”Tetapi sudah terlambat dan diduga ada trauma berat di kepala,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos, Jumat (2/2).
Mendikbud Prof Dr Muhadjir Effendy mengungkapkan dukanya. Karangan bunga dikirimkan ke rumah Guru Budi bersama datangnya Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rachman dan beberapa staf Kemendikbud.
BACA JUGA: Pak Guru Dipukul Muridnya, Tiba di Rumah Salat, Lantasâ¦
”Saya sudah dengar juga sudah mengirim utusan Kemendikbud untuk menelisik sekalian menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga korban,” katanya.
Jika nanti hasil investigasi membuktikan jika kejadiannya seperti yang beredar di masyarakat, Muhadjir mengatakan tindakan siswa tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran berat.
”Dari segi hukum, sepenuhnya menjadi wewenang aparat penegak hukum dan pengadilan. Sedang dari segi pendidikan, bagaimanapun pendekatan edukatif tetap harus dilakukan untuk membuat pelaku tidak kehilangan masa depannya,” ungkapnya.
Dia mengakui bahwa pelanggaran etika, tindakan indisipliner, perilaku menyimpang, dan sejenisnya masih sering terjadi di kalangan para siswa.
Muhadjir menuturkan sudah sering kali dia mengingatkan agar sekolah betul-batul memfungsikan keberadaan Bimbingan Konseling Sekolah.
”Harus memiliki data yang akurat dan analisis yang cermat terhadap sifat dan perilaku masing-masing siswa,” ucap Muhadjir.
Setelah mendapatkan data tersebut, kemudian sekolah harus memberi perhatian dan penanganan khusus terhadap siswa yang memiliki sifat-sifat dan kecenderungan berperilaku menyimpang.
Selain itu sekolah juga menelusuri minat dan bakat tiap siswanya. ”Karena pada dasar setiap siswa itu unik dan istimewa. Karena itu harus ada porsi yang cukup melakukan individu dalam pembelajaran dan pembinaan untuk menutup kelemahan sistem klasikal yang cenderung menyamaratakan siswa,” teranynya.
Sementara Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto menuturkan, pemukulan yang dilakukan siswa terhadap guru honorer di Sampang dan diduga mengakibatkan guru tersebut meninggal sangat memperihatinkan. ”Ini merupakan tanggung jawab bersama,” jelasnya.
Tentunya, untuk berupaya menekan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan. Polri dalam kondisi ini mendorong untuk bisa mencari solusinya. ”Agar kekerasan tidak lagi terjadi di sekolah,” paparnya.
Langkah kepolisian dalam menangani kasus kekerasan oleh siswa yang diduga mengakibatkan kematian tentunya perlu membuktikan terlebih dahulu. Karena itu dibutuhkan otopsi untuk mencari penyebab kematian.
”Kalau penyebab kematian diketahui, maka pelakunya tentunya bisa diprediksi, penyidik Polda Jatim telah mendalami,” ujarnya.
Namun, yang perlu dipahami bahwa polisi tentu akan patuh pada undang-undang peradilan anak.
Mengingat yang diduga menjadi pelaku masih usia anak sekaligus siswa. Dia menegaskan, penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak ini tidak sama dengan memeriksa orang dewasa.
”Penahanan terhadap anak, nantinya juga tidak diperbolehkan digabung dengan orang dewasa alias tersendiri,” tegasnya.
Proses sidangnya juga harus tertutup untuk melindungi anak tersebut. Dia mengatakan, aturan-aturan tersebut berlaku untuk pelaku yang usia anak.
”Anak-anak masih memiliki masa depan yang panjang,” ujarnya ditemui di kantor Divhumas Polri kemarin.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyampaikan rasa keprihatinan lembaganya atas kasus di Sampang itu.
Dia mengatakan KPAI meminta kepolisian untuk mengusut apa sebenarnya penyebab kematian tersebut. ’’Apakah karena pukulan si siswa atau sebab lain,’’ katanya kemarin.
Perlunya kepastian itu karena ada jeda antara peristiwa pemukulan dengan kematian guru tersebut. Jika ujung pengusutan berkesimpulan pemukulan sebagai penyebab kematian, maka hukum harus ditegakkan.
Meskipun si pelaku usianya masih anak-anak. Dia mengatakan siswa pelaku pemukulan itu bisa diproses hukum sesuai dengan UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Retno mengatakan KPAI segera berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menelusuri duduk perkara kasus tersebut.
Kepada pihak media massa Retno berpesan supaya identitas anak yang diduga menjadi pelaku itu untuk dirahasiakan.
Terpisah, kecaman juga muncul dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sekjend FSGI Heru Purnomo menuturkan kasus yang menimpa Ahmad Budi Cahyono itu bukan kali pertama kali terjadi.
Dia menyebutkan sebelumnnya ada kasus yang menimpa guru Dasrul di Sulawesi Selatan. Semestinya, guru dalam menjalankan profesinya mendapatkan perlindungan.
”Harus ada SOP baik guru maupun siswa, ketika menjadi korban kekerasan di lingkungan sekolah,” ujar Heru kemarin.
Dia menjelaskan pihak sekolah atau pemerintah daerah semestinya sesegera mungkin memberikan pertolongan pertama pada guru dengan membawa ke rumah sakit.
”Sehingga dapat dideteksi segera dampaknya dan tidak terlambat mendapatkan bantuan dan tindakan medis sebagaimana mestinya,” imbuh dia.
Ketentuan mengenai perlindungan terhadap guru itu sebenarnay sudah tercantum dalam UU Guru dan Dosen 14/2005 pasal 39 ayat 1.
Disebutkan baha Pemerintah, Pemerintah Daerah , masyarakat , organisasi profesi , dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
“Jika karena pemukukan siswa sebagai penyebab kematian guru maka hukum harus di tegakkan,” tegas Heru.
Pemukulan terhadap guru di Sampang itu dianggap sudah diluar batas kewajaran. Sehingga harus menjadi perhatian dan efek jera kepada para siswa yang berpotensi melakukan tindak kekerasan.
”Sedangkan bagi para pendidik harus selalu menyadari bahwa dalam melaksanakan tugas ada resiko seperti itu,” kata dia. (lyn/idr/jun/wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Astaga, Tante Kartika Habisi Keponakan Sendiri di Musala
Redaktur & Reporter : Soetomo