jpnn.com, JAKARTA - Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Aminah Swarnawati mengingatkan politikus dan partai politik untuk beradaptasi dengan cara kampanye digital ala gen Z serta kalangan milenial jelang Pemilu 2024.
Ini disampaikannya dalam webinar nasional yang digelar Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UMJ bertajuk 'Strategi Digitalisasi Pemasaran dan Kampanye Politik Pada Pemilu 2024' baru-baru ini.
BACA JUGA: PAN Setuju Kampanye Pemilu 2024 di Kampus, Asalkan
Webinar yang digelar secara hybrid ini menghadirkan beberapa nasumber, antara lain Hendri Satrio (Pakar Komunikasi Politik/Founder Lembaga Survei KedaiKOPI), Mardani Ali Sera (Politikus PKS/Anggota DPR RI), Pilar Saga Ichsan (Politikus Muda Golkar/Wakil Wali Kota Tangerang Selatan), dan Trisno Muldani (Perwakilan Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UMJ).
Sementara itu sebagai pengantar, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UMJ Evi Satispi, Aminah Swarnawati serta Peneliti BRIN dan juga pengajar Marketing Politik UMJ, Prof. Siti Zuhro.
BACA JUGA: PAN Bantah Tudingan Soal Zulhas Gunakan Program Pemerintah Untuk Kampanye
“Karena mereka (milenial dan gen-z) merupakan digital native, sedangkan generasi sebelumnya merupakan digital immigrant sehingga kata kuncinya ialah adaptasi dan kolaborasi,” tuturnya.
Aminah menambahkan media konvensional mungkin penting sebagai media pemasaran politik tetapi masyarakat selaku pengguna saat ini telah lebih banyak yang bergeser ke digital.
BACA JUGA: Buruh Bawa 5 Tuntutan ke DPR, Ada soal Kampanye Pemilu
Oleh karena itu, pemasaran politik di media digital menjadi penting untuk didiskusikan.
Sementara itu, Dekan FISIP UMJ, Evi Statispi menyatakan fenomena serba elektronik seharusnya menjadi dasar untuk menggunakan instrument digital dalam pelaksanaan pemilu mendatang.
Penyelenggara pemilu dalam hal ini didorong melakukan inovasi-inovasi dalam pelaksanaan Pemilu 2024.
Evi berpesan kepada mahasiswa agar berperan aktif dalam mensosialisasikan cara memilih pemimpin yang baik.
“Mudah-mudahan dengan strategi yang baik, yang dilaksanakan dengan cara baik, tidak akan ada lagi praktik curang dalam pemilu, sehingga dapat menghasilkan terpilihnya pemimpin yang baik,” imbuhnya.
Dalam paparan yang merupakan hasil diskusi mahasiswa, Trisno Muldani menyoroti tingginya biaya kampanye yang dilakukan oleh partai politik di Pemilu 2019 lalu, yang mana tiga partai teratas ialah oleh Perindo, PSI, dan Hanura.
Mereka lebih banyak mengalokasikan biaya kampanye tersebut untuk membayar iklan di media konvensional, seperti televisi, media massa maupun baliho.
“Padahal dari sisi perolehan suara justru berbanding terbalik. Justru partai yang belanja iklan politik itu mendapatkan suara sedikit, dan partai yang sudah mapanlah yang memperoleh suara yang tinggi di DPR,” ujar Trisno.
Trisno melanjutkan saat ini seharusnya media digital lebih dipilih sebagai instrumen pemasaran dan kampanye politik karena memiliki empat kelebihan.
Yakni dari sisi target pasar, biaya, waktu, dan komunikasi, media digital jauh lebih unggul dibanding media konvensional.
“Sehingga, anggaran kampanye yang tinggi, bisa dialokasikan untuk hal yang lebih krusial misalnya pendidikan politik untuk masyarakat, agar meningkatkan jumlah pemilih rasional,” tuturnya.
Namun, patut digaris bawahi, lanjut Trisno, penggunaan media sosial juga jangan sampai menumbuhkan lebih banyak kampanye-kampanye digital yang berisi hoaks dan kampanye hitam.
“Karenanya, penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU maupun Bawaslu harus memerhatikan hal ini, jangan sampai kondisi keterbelahan di tahun 2019 lalu terjadi kembali di Pemilu mendatang” tegasnya.
Lebih lanjut, Trisno mendorong e-voting dilaksanakan pada pemilu mendatang. Karana berdasarkan data, pengguna internet di Indonesia saat ini sudah mencapai 220 juta.
Sebanyak 60 persennya merupakan pemilih milenial sehingga, e-voting, menurut Trisno, menjadi alternatif untuk menjadikan pemilu mendatang lebih efektif, efisien, dan jujur.
“Karena jika mengaca pada pandemi lalu, masyarakat dipaksa menggunakan aplikasi Peduli Lindungi, dan mereka dapat menggunakannya. Selain itu untuk mengisi bensin, masyarakat juga dipaksa untuk memakai aplikasi. Jadi kenapa tidak, masyarakat juga diajak untuk mengikuti pemilu secara e-voting,” tambah Trisno.
Realitas Berdasarkan Survei dan Fakta Lapangan
Lain halnya dengan Pengamat Politik Hendri Satrio, yang menyebut bahwa aktivitas di media sosial tidak berbanding lurus dengan elektabilitas partai politik maupun politikus.
Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh KedaiKOPI, bahwa media yang paling dipercaya masyarakat saat ini masih dipegang oleh media konvensional seperti televisi.
Sementara media sosial menjadi media paling tidak dipercaya oleh publik.
“Suka atau tidak suka, selain TV, yang bisa diandalkan dan efektif ialah baliho-baliho. Jadi tidak bisa hanya mengandalkan media digital, selain tentunya harus dilihat dulu ceruk pemilihnya” kata Hendri.
Terkait pemilih pemula, Hendri juga mengungkap bahwa anak-anak muda yang memenuhi media sosial saat ini masih belum menjadi pemilih yang independen.
Hal ini berdasarkan data, di mana pilihan politik mereka masih terpengaruh oleh orang lain.
“Anak-anak yang baru mencoblos di 2024, pada saat memilih dipengaruhi pilihan orang lain, misalnya orang tua mereka,” kata Hendri Satrio.
Efektivitas kampanye di media sosial sebenarnya dirasakan betul oleh politikus PKS Mardani Ali Sera.
Dia mengungkapkan pengalamannya di pemilu legislatif 2019 lalu, lebih banyak membuat e-spanduk dan e-flyer ketimbang mencetak baliho-baliho konvensional.
“Digitalisasi menjadi cara mudah untuk mempengaruhi audiens. Lewat media sosial yang saya punya, saya dengan mudah menjangkau orang di daerah saya, dan juga lebih efektif,” ujar Mardani.
Meski demikian, Mardani menegaskan bahwa ‘pasukan darat’ juga tidak bisa dikesampingkan.
Menurutnya, suka saja tidak cukup, karena harus bisa memastikan warga harus juga memilih.
Senada dengan Mardani, kampanye digital juga dimanfaatkan oleh Politikus Muda Golkar yang juga Wakil Wali Kota Tangerang Selatan, Pilar Saga Ichsan.
Menurutnya, kampanye digital bisa menjangkau dengan mudah pemilih yang menggunakan media sosial.
“Pengalaman di Tangerang Selatan, yang mana sebagian besar telah menggunakan media sosial, itu kami maksimalkan untuk meraup suara. Namun, tetap harus dengan strategi, karena media sosial menyesuaikan dengan karakteristik, usia, pendidikan, akan berbeda” ungkap Pilar.
Namun terlepas dari itu semua, Peneliti BRIN dan Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi UMJ, Prof. Siti Zuhro menegaskan yang terpenting dalam menyambut pemilu mendatang ialah pembenahan pola kampanye partai politik.
Menurutnya, Parpol harus berbenah dan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
Terkait digitalisasi, Siti Zuhro menuturkan, fenomena ini juga harus menjadi perhatian partai politik. Hal itu merupakan salah satu upaya agar publik merasakan kehadiran partai politik.
“Karena bagi partai politik, kampanye merupakan hal yang terus menerus diadakan. Partai harus mempu adaptif, inovatif dan menghadapi kebaruan, sebab jika tidak, animo masyarakat akan menurun,” pungkasnya. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia