jpnn.com - JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Margarito Kamis mengatakan, KPU Simalungun tidak bisa serta merta mencoret JR Saragih dan Amran Sinaga sebagai pasangan calon bupati-wakil bupati. Dia menegaskan, yang patut disalahkan terkait polemik ini justru KPU Simalungun.
Alasannya, putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan Amran Sinaga terbukti bersalah diputus pada 22 September 2014. Artinya, tanggal itu jauh hari sebelum penetapan pasangan calon.
BACA JUGA: ââ¬Å½Pencoretan Jagonya Demokrat Jelang Pemungutan Suara Bikin Pemilih Bingung
Dikatakan Margarito, jika KPU melakukan klarifikasi secara benar terkait persyaratan pasangan calon, maka vonis terhadap Amran yang sudah berkekuatan hukum tetap itu bisa diketahui saat pilkada masih tahapan pencalonan.
Sesuai ketentuan pasal 50 angka (5) UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pilkada, partai pengusung bisa mengajukan calon wakil bupati pengganti Amran. Sedang JR Saragih tetap sebagai calon bupati.
BACA JUGA: Doa Bersama Anak Yatim, PKB Berharap Pilkada Berjalan Damai
“KPU yang salah, mestinya cermat melakukan klarifikasi. Andai klarifikasi persyaratan cermat, yang bersangkutan (Amran Sinaga, red) oleh partai pengusungnya bisa diganti. Jadi hanya satu yang jatuh (kena kasus hukum, red), bukan dua-duanya (JR Saragih dan Amran, red),” terang Margarito Kamis kepada JPNN kemarin(7/12).
Pasal 50 ayat (5) UU Nomor 1 Tahun 2014 berbunyi, “Dalam hal Calon Bupati dan Calon Walikota diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik berhalangan tetap sampai dengan tahap penelitian kelengkapan persyaratan, Partai Politik atau gabungan Partai Politik diberi kesempatan untuk mengajukan Calon Bupati dan Calon Walikota pengganti paling lama 3 (tiga) hari sejak pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU Kabupaten/Kota diterima.”
BACA JUGA: Baca Nih, Peringatan KIP untuk Penyelenggara Pilkada
Bahkan, setelah ditetapkan sebagai calon pun, partai pengusung bisa mengganti jika yang bersangkutan berhalangan tetap. Menurut Margarito, “berhalangan tetap” ini seperti meninggal dunia atau kena kasus hukum sehingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon.
Ini diatur di UU Pilkada, Pasal 54 ayat (1), “Dalam hal calon berhalangan tetap sejak penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari Kampanye, Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang calonnya berhalangan tetap dapat mengusulkan calon pengganti paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak calon berhalangan tetap.”
Karena itu, Margarito berulang kali mengatakan, Amran yang divonis bersalah oleh MA pada September 2014 bisa lolos tahapan pilkada hingga tiga hari jelang pemungutan suara, merupakan keteledoran KPU.
“Keteledoran KPU ini tidak bisa dibebankan kepada calon bupati. Tidak boleh hak politiknya dikorbankan. Calon yang kena kasus hukum itu sejajar dengan yang meninggal dunia, masak iya pasangannya ikut dicoret?,” cetus Margarito, yang kerap menjadi saksi ahli dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan, Margarito mengatakan, tidak tertutup kemungkinan ada pihak yang sengaja “pura-pura tidak tahu” adanya putusan MA pada September 2014. “Sengaja dibiarkan dulu, begitu jelang pemungutan suara baru diungkap untuk menjegal pasangan tersebut. Padahal tidak bisa, ini jelas kesalahan KPU karena putusan MA sudah lama keluar, jauh hari sebelum penetapan calon,” beber Margarito.
Dia menyarankan JR Saragih untuk secepatnya mengadukan masalah ini ke Bawaslu. “Laporkan saja ke Bawaslu dan minta agar pilkada ditunda,” pungkas Margarito. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Awas, Birokrasi Terbawah Mengarahkan Memilih Calon Tertentu
Redaktur : Tim Redaksi