jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin menegaskan eksekusi pidana Djoko Tjandra oleh Bareskrim Polri tidak memiliki kekuatan konstitusional. Oleh karenanya Djoko Tjandra harus lepas dari segala tuntutan hukum.
Irman menjelaskan, bahwa putusan MA No 12/PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus Cessie Bank Bali, dimana putusan itu akhirnya memutuskan bahwa Djoko Tjandra bersalah dan memutus hukuman penjara dua tahun sejatinya tidak memiliki kekuatan konstitusional.
BACA JUGA: Semalam di Bareskrim, Djoko Tjandra Dioper ke Jaksa dan Jadi Penghuni Rutan Salemba
Melakui akun instagram resminya irmanputra_sidin menjelaskan, putusan MA No 12/PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 yang mengabulkan PK Jaksa Penuntut Umum tidak bisa dieksekusi.
Pasalnya, dijelaskan Irman, keputusan MK No 33/PUU-XIV/2016 terkait istri Djoko Tjandra Anna Boentaran menguji pasal 263 KUHP yang mana seharusnta PK hanya boleh diajukan oleh dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Namun kenyataanya tidak, JPU dapat mengajukan PK setelah Djoko Tjandra diputus bebas dari tuntutan hukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 156/Pid.b/2000/PN.Jak.Sel dan dikuatkan oleh putusan MA 1688K/Pid/2000.
BACA JUGA: KPK Pengin Usut Pihak yang Bantu Pelarian Djoko Tjandra
“MK (dalam putusan 33/PUU-XIV/2016) menyatakan norma ini adalah konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain, bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum,” jelas Irman mengurai.
Untuk itu, Irman meminta jika tafsir dalam pasal 263 KUHP dimaknai berbeda, maka bakal menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dan justru menjadikannya inskonstitusional.
BACA JUGA: Jenderal Idham Azis Beberkan Proses Penangkapan Djoko Tjandra
Oleh karena itu, Irman menambahkan, putusan kasasi MA No 1688K/Pid/2000 tertanggal 28 Juni 2001 yang menolak kasasi Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah penguatan bahwa Djoko Tjandra lepas dari tuntutan hukum karena perbuatan yang didakwaan terbukti tetapi bukan tindak pidana.
Sebelumnya Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir pun memandang bahwa upaya PK kejaksaan dalam kasus Djoko Tjandra cacat hukum. PK yang dilakukan oleh kejaksaan menurutnya tidak boleh mewakili kepentingnya melainkan untuk kepentingan korban, terdakwa, atau terpidana.
“Kesempatan akhir PK itu adanya pada milik terdakwa atau terpidana. Mengacu pada KUHAPidana jika jaksa mengajukan PK untuk kepentingannya maka langkah tersebut tentu cacat hukum,” tukas salah satu perumus Rancangan KUHPidana ini.
Dijelaskan Mudzakir, dalam proses penanganan perkara di pengadilan, jaksa dalam hal ini JPU (jaksa penuntut umum) menurutnya telah diberi kesempatan membuktikan dakwaannya mulai dari tingkat pertama (pengadilan negeri) hingga MA. Jika dalam proses tersebut JPU tidak dapat membuktikan dalilnya sebagaimana didakwakan maka upaya JPU berhenti sampai di situ.
“Azas prinsipnya tidak boleh PK karena jaksa sudah diberikan kesempatan dari pengadilan tingkat pertama hinggah Mahkamah Agung,” tukas Mudzakir.
Menurut Mudzakir, jaksa mengajukan PK memang presedennya pernah terjadi. Namun upaya PK itu untuk kepentingan korban, terdakwa atau terpidana. Artinya JPU mengajukan PK karena ada putusan yang melupakan hak dan kepentingan korban.
“Itu (PK) bisa dilakukan jaksa untuk kepentingan korban. Maka dengan PK itu putusan pengadilan akan diluruskan kembali agar sesuai dengan prinsip on the track keadilan dalam rangka pengambilan keputusan,” tutur Mudzakir.
“Sebaliknya jika alasan PK menguntungkan kepentingan jaksa maka itu tidak bisa,” imbuhnya.
Ia mencontohkan perkara mantan Danjen Kopasus Muchdi PR yang mana jaksa melakukan upaya PK alasannya demi kepentingan korban.
Oleh karenanya kata Mudzakir ruang kewenangan bagi jaksa mengajukan PK tidak dibuka bagi jika bertujuan memberatkan terdakwa, atau terpidana terkecuali bermaksud meringankan terdakwa atas kesalahan jaksa sehingga perlu dilurukan kembali kembali agar supaya pengadilan mengubah hukuman yang tepat dan menguntungkan terdakwa.
Merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi nagatif yang terkandung dalam Pasal 3 KUHAP, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP kata Mudzakir bermakna bahwa Jaksa dilarang mengajukan PK terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Yang kedua hak PK berdasarkan Pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya, sehingga tidak ada dasar hukum bahwa jaksa mengajukan PK.
Namun dua hal tersebut dilanggar oleh Jaksa. Yang terjadi, PK oleh JPU diterima dan dikabulkan Mahkamah Agung dengan putusan 12 PK/Pid.Sus/2009 11 Juni 2009 lalu. Amar putusan Peninjauan Kembali itu sendiri berbunyi mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta.
Seperti diketahui, dalam kasus cessie Bank Bali, PN Jakarta Selatan lewat putusan no. 156/Pid.B/2000/PN Jak.Sel melapaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging) alias bebas murni.
Bahkan putusan tersebut diperkuat dengan putusan Mahkah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 dengan amar putusan “menolak permohonan kasasi dari JPU pada Kejari Jakarta Selatan”. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil