jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Emirsyah Satar sebagai tersangka dugaan korupsi dengan nilai kerugian negara hingga Rp 8,8 triliun di maskapai pelat merah itu.
Emirsyah Satar menjadi tersangka korupsi terkait pengadaan dan sewa pesawat CRJ 1000 serta ATR 72-600.
BACA JUGA: Emirsyah Satar & Soetikno Tersangka Korupsi Pengadaan Pesawat Garuda Indonesia
Seperti dalam kasus yang ditangani KPK, Emirsyah Satar juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung bersama mitra bisnisnya, Soetikno Soedarjo selaku Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA).
Dua kasus korupsi yang menyeret eks Dirut PT Garuda Indonesia di KPK dan Kejagung tersebut pun menjadi sorotan.
Pasalnya, perkara yang ditangani baik di KPK maupun Kejagung dinilai saling beririsan.
BACA JUGA: Jaksa Agung Ungkap Peran Emirsyah dan Soetikno di Kasus Korupsi Pengadaan Pesawat Garuda
Bahkan diduga dalam kasus ini berlaku asas Ne Bis In Idem, yakni kesamaan dalam objek perkara atau dengan kata lain terjadi pengulangan kasus.
Lantas bagaimana dengan kasus eks Dirut Garuda Emirsyah Satar, apakah benar berlaku asas Ne Bis In Idem?
Terkait hal ini, pakar hukum pidana yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar turut angkat bicara.
BACA JUGA: Emirsyah Satar Irit Bicara Usai Digarap KPK
"Sebenarnya bisa disimpulkan begini, dari keseluruhan perbuatan itu oleh KPK disimpulkan bahwa berujung pada atau berinti pada gratifikasi. Penerimaan yang dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan jabatannya yang kemudian itu juga dikualifikasi sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. Yang harus dipertanyakan adalah mengapa KPK ketika dulu mengusut pertama tidak fokus pada perbuatan yang sekarang diadili atau diambil alih oleh kejaksaan," ungkap Abdul Ficar di Jakarta, Sabtu (14/10).
Lebih lanjut menurut Abdul Ficar, jika kasus tersebut dirunut kembali dari awal maka perbuatan Emirsyah Satar menjadi penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pribadi dan merugikan negara, maka mau tidak mau menjadi pengulangan atas apa yang sudah dilakukan oleh KPK.
"Yang jadi pertanyaannya kan kenapa KPK dulu tidak menuntut dengan pasal 2 atau pasal 3 UU Korupsi tapi lebih memilih pada pasal-pasal gratifikasi yang dilakukan oleh KPK. Nah itu yang menjadi pertanyaan besar sebenarnya itu," ujar Abdul Ficar.
Kemudian, lanjut dia, fokus persoalannya adalah apakah perbuatan yang pernah dikualifikasi dalam satu tuntutan tertentu itu bisa diadili lagi.
"Ne Bis In Idem diatur dalam pasal 76 itu dinyatakan bahwa kecuali dalam hal putusan hakim yang mungkin masih diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang sama, perbuatan yang oleh hakim di Indonesia, terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap," ujar dia.
"Artinya, sudah ada putusan terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana itu sudah menjadi tetap dan sudah dijalankan dan dieksekusi," tambah Abdul.
Oleh karena itu, menurutnya, jika ada elemen perbuatan yang sudah dilakukan dan telah ada putusan awalnya lalu dijadikan tindak pidana baru, hal ini bisa menjadi Ne Bis In Idem. Kecuali jika objeknya memang berbeda.
"Menurut informasi dari kuasa hukum tadi, yang dijadikan hanya dua perbuatan pengadaan. Jadi dua dari lima yang pernah dituntut KPK. Karena itu kemudian saya jadi langsung menyimpulkan ini sebenarnya mengadili perbuatan yang pernah diadili," kata Abdul Ficar.
Karena itu, Dosen FH Universitas Trisakti itu pun menilai bahwa peradilan kasus korupsi Garuda yang kedua oleh Kejaksaan Agung ini sebenarnya merupakan perbuatan yang sudah ada putusannya.
"Saya menyimpulkannya sebagai Ne Bis In Idem," tandasnya.
Ia pun mempertanyakan apa tujuan penyidik kejaksaan dalam kasus ini, khususnya dalam konteks penegakan hukum pidana. Sebab, kata dia, penegakan hukum harus yang relevan untuk diajukan.
Dia mempertanyakan apakah kejaksaan akan memenuhi rasa keadilan jika seorang terdakwa dituntut berkali-kali atau setidaknya dua kali dalam konteks satu rangkaian perbuatan yang sama.
"Dalam tindak pidana korupsi misalkan, apakah memenuhi rasa keadilan jika seseorang pejabat negara yang sudah dihukum karena melakukan penyalahgunaan wewenang dan menerima pemberian dari orang lain dan dihukum dengan pasal gratifikasi, harus dituntut lagi dengan pasal perbuatan melawan hukum yang merugikan negara? Bukankah si pelaku sudah dijatuhi sanksi hukuman atas rangkaian perbuatannya? Ini jelas melanggar prinsip Ne Bis In Idem," kata dia.
"Nampaknya peristiwa ini akan terjadi, hari-hari ini seorang mantan direksi BUMN akan diadili untuk kedua kalinya atas dasar satu rangkaian perbuatan yang sama. Peristiwa ini akan menjadi batu ujian bagi progresifitas peradilan pidana kita. Semoga peradilan kita akan berani melakukan terobosan yang mencerahkan dan menggembirakan," pungkas Abdul Ficar.
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif