Pakar Hukum Tata Negara: Pembatasan Masa Jabatan Presiden Harus Jadi Pedoman Berbangsa

Kamis, 09 Februari 2023 – 20:29 WIB
dalam Dialog Kebangsaan ”Refleksi 25 Tahun Reformasi” yang diselenggarakan oleh Forum 2045 di Ballroom UC - UGM, Yogyakarta, Kamis (9/2). Foto: Dok Forum 2045

jpnn.com, JAKARTA - Forum 2045 menilai reformasi memasuki usia ke 25 tahun. Lanskap politik telah mengalami banyak perubahan dibandingkan masa Orde Baru, tetapi upaya untuk menjadikan Indonesia lebih demokratis masih menghadapi tantangan yang tak mudah.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Prof. Dr. Ni'matul Huda, SH, M.Hum mengatakan tantangan untuk menegakkan demokratis itu terlihat dari kemunculan usulan dan upaya politik untuk memperpanjang masa jabatan presiden, yang belakangan marak kembali.

BACA JUGA: Ulin Yusron Yakin Tak Ada Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Pak Jokowi Sudah Ogah

Prof. Ni'matul menilai meski dinilai bertentangan dengan spirit konstitusionalisme dan nilai-nilai demokrasi, usulan tersebut masih saja digelorakan oleh pihak-pihak tertentu.

"Karena itu, konsistensi publik dalam menjaga agar Pasal 1 ayat (2) dan (3) yang dielaborasi dengan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22E dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengalami amandemen penting," ujar Prof. Ni'matul dalam Dialog Kebangsaan ”Refleksi 25 Tahun Reformasi” yang diselenggarakan oleh Forum 2045 di Ballroom UC - UGM, Yogyakarta, Kamis (9/2).

BACA JUGA: Tokoh Papua Ajak Akhiri Polemik Soal Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Forum 2045 adalah kelompok guru besar, akademisi dan pegiat sosial dari berbagai kampus dan institusi di Indonesia, yang berkolaborasi untuk menyiapkan kontribusi akademik bagi penyusunan cetak biru Indonesia pasca 2025.

”Pasal-pasal yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden seharusnya menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara,” ujar Prof. Ni'matul.

BACA JUGA: Konsolidasi Nasional Pimpinan FPKS, Tolak Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Pakar hukum yang dijuluki ”Srikandi Konstitusi” itu juga mengingatkan betapa berbahayanya wacana penundaan pemilu.

Sebab, selain bertentangan dengan semangat berkonstitusi dan berdemokrasi, penundaan pemilu juga menghambat terjadinya regenerasi kepemimpinan bangsa dan menyingkirkan peluang untuk memperbaiki kehidupan rakyat.

Pemilu yang berkala akan menjamin terjadinya regenerasi dan memberi kesempatan kepada rakyat untuk menilai kinerja rezim sebelumnya, agar mereka dapat menentukan masa depan yang lebih baik,” ucapnya.

Selain Ni’matul Huda, ”Refleksi 25 Tahun Reformasi” juga menghadirkan pembicara pakar ilmu pemerintahan dari UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso dan peneliti politik BRIN, Prof. Dr. R. Siti Zuhro. Di samping paparan para pakar, beberapa pimpinan partai politik juga turut menyampaikan paparannya dalam forum tersebut. Yakni, Dr. Didik Mukrianto (Ketua DPP Partai Demokrat), Saur Hutabarat (Ketua Mahkamah Partai Nasdem), dan H. Sukamta, Ph.D. (Anggota F-PKS DPR RI).

Ketua DPP Partai Demokrat Didik Mukrianto mengemukakan Indonesia ke depan memiliki pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk menjadikan demokrasi lebih stabil, kuat, dan berkualitas.

Penguatan demokrasi tersebut, kata Didik, harus dapat berjalan seiring dengan upaya untuk membuat ekonomi lebih kokoh, adil dan berkelanjutan serta upaya memajukan peradaban bangsa.

”Karena itulah, kami membutuhkan kepemimpinan yang memiliki visi perubahan dan perbaikan,” pungkas Didik. (mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler