Pakar Ini Anggap SE Kapolri Bisa Mengulangi Situasi Orde Baru, Kok Bisa?

Jumat, 06 November 2015 – 12:03 WIB
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti. FOTO: DOK.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan Surat Edaran Nomor: 06/X/2015 Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech berpotensi menjadi pasal karet karena tafsirnya hanya dilakukan oleh polisi.

“Ini akan menjadi pasal karet, kalau tafsirnya tunggal oleh polisi,” kata Asep saat dihubungi wartawan, Jumat (6/11).

BACA JUGA: Anggota Polri Stres? Ini Solusinya

“Ini bisa membuat masalah seperti zaman orde baru dulu. Ketika kritik penguasa dianggap sebagai kebencian bagi para pejabat,” kata Asep lagi.

Dalam regulasi gaya otoriter seperti orde baru, menurut Asep, setiap orang kritis akan dicap sebagai menghina. Penanganannya pun sangat represif karena pengeritik langsung ditahan dulu baru urusan lainnya belakangan.

BACA JUGA: Ini Tanggapan Fahri Hamzah Terhadap Surat Edaran Kapolri

“Dulu hal ini menjadi masalah karena bagian dari upaya membungkam masyarakat dan menghalangi kebebasan berbicara dan berekspresi,” katanya.

Asep khawatir jika ada yang mengeritik Presiden Jokowi kedepannya akan ditangani sebagai sebuah penghinaan seperti halnya yang dilakukan pemeritahan orde baru dulu.

BACA JUGA: Bareskrim Panggil Petinggi Pelindo, Ini Dia Orangnya

“Jika nanti ada yang bilang Jokowi gagal, maka itu bisa dianggap menghina dan polisi bisa menangkapnya. Padahal itu misalnya bentuk sebuah kritik yang merupakan keniscayaan dalam demokrasi," imbuhnya.

Pasal ujaran kebencian, lanjut Asep, tidak bisa dikenakan kepada para pengeritik kekuasaan. Ujaran kebencian itu hanya bisa dikenakan jika menghina Tuhan, agama atau nabi.

“Kalau seperti yang diisukan masyarakat juga akan kena pasal yang dianggap menghina penguasa. Ini yang bisa ditafsir luas dan karet karena tidak ada ukuran yang jelas,” tegasnya.

Kritik kepada para pejabat atau penguasa, menurut Asep, justru menghidupkan demokrasi. Para pejabat atau penguasa yang tidak mau dikritik, maka disarankannya untuk mundur dari jabatannya. Sebab kritik seperti itu adalah resiko yang harus diemban oleh para pejabat.

“Kritik ataupun berbagai bentuk ekpresi lainnya yang dilontarkan masyarakat kepada para pejabat atau kekuasaan adalah bentuk dari ekspresi ketidakpuasan. Ini kan biasa saja," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara ini.

Penguasa, lanjutnya, tidak perlu takut dikritik jika memang dia amanah. Karena itu Asep mengingatkan Kapolri bahwa pasal penghinaan yang dulu diatur dalam Pasal 95 KUHP telah dihapus oleh MK.

“Dulu, ada pasal hatzai artikelen atau perbuatan tidak menyenangkan. Itu sudah dicabut oleh MK. Kalau pasal ini coba dihidupkan kembali lewat SE Kapolri maka ini ancaman bagi orang yang kritis," paparnya.

Asep juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk menjaga kebebasan berekspresi masyarakat.

“Dulu kan Jokowi naik daun juga karena peran sosial media. Kenapa sekarang menjadi takut dan khawatir dengan berbagai kritik yang muncul di sosial media?,” tanya Asep.(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Asal Posting Ya, Polri Bakal Usut Ratusan Ribu Akun Sosial Media


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler