jpnn.com - BANDUNG – Banjir bandang yang menerjang Kota Bandung tak luput dari perhatian pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Denny Zulkaidi.
Dia menilai masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan Pemerintah Kota Bandung dalam mengatasi masalah banjir.
BACA JUGA: Duh, Dewan Desak Tambahan Penghasilan PNS Dicabut
Sampai saat ini, ia belum melihat adanya masterplan sarana dan prasarana drainase untuk Kota Bandung.
"Terakhir itu ada masterplan di Bandung Urban Development Project (BUDP) di awal tahun 1980-an. Tapi, sampai saat ini belum ada lagi tuh masterplan drainase untuk kota Bandung," katanya saat dihubungi, Senin (24/10).
BACA JUGA: Anak Buah Ridwan Kamil Klaim Rutin Bersihkan Gorong-Gorong, Tapi...
Masterplan dibutuhkan karena perubahan Kota Bandung sudah signifikan jika dilihat dari infrastruktur dan tata kota.
Dengan demikian, Pemerintah Kota Bandung harus membuat masterplan drainase baru dan menyeluruh, lengkap dengan pendekatan ekologinya.
BACA JUGA: Tak Puas Usai Bercinta, Istri Peras Suami Rp 200 Ribu
Seperti, menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH).
"Kalau dilihat rencana tata ruang berapa persen yang sudah terbangun, ya itulah yang dipakai itungan mengukur berapa lebar drainase untuk setiap ruas jalan yang diperlukan, atau berapa banyak sumur resapan biopori, dan ruang hijau untuk meresapkan air," katanaya.
"Jadi, bukan hanya pendekatan struktural membuat drainase yang besar saja, tapi sangat penting juga melihat dari sisi ekologi, yakni menyiapkan pula Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai resapan air. Pasti perubahannya cukup signifikan untuk mengurangi limpasan air ke drainasenya," Ia melanjutkan.
Denny menyatakan, perkembangan Kota Bandung dilihat dari presentase Ruang Terbuka Hijau dengan ruang terbangun sangat tidak seimbang, bahkan jauh dari UU penataan ruang no 26 tahun 2007.
Dalam UU itu Denny katakan, standar minimum RTH harus sebesar 20% dari luas total wilayah yang dimiliki sebuah kota.
"RTH yang ada di Kota Bandung datanya belum ada yang akurat. Ada versi yang menyebut baru 6% (menghitung pengelolaan yang di bawah dinas saja), ada juga yang bilang baru 11%, belum divalidasi. Tapi yang jelas masih jauh dari standar," katanya.
Kota Bandung sendiri memiliki luas sekitar 16.729 ha. Itu artinya, wilayah seluas 160 ha harus berfungsi sebagai RTH dan tidak boleh dijamah oleh pembangunan.
Seharusnya, Pemerintah Kota Bandung harus segera melakukan rencana merealisasikan penyediaan 20% wilayah untuk RTH sekaligus menentukan wilayah-wilayah yang diproyeksikan sebagai RTH.
Ia mencontohkan, bisa saja Pemerintah Kota menargetkan setiap tahun menambah ruang terbuka hijau secara berkala setengah persen di tiap tahunnya.
Hanya saja kemampuan APBD harus pula disiapkan, untuk pembebasan tanah.
"Kalau misalkan harga tanah per meternya Rp. 1 juta, berarti harus menyiapkan sedikitnya Rp. 800 milyar pertahun hanya untuk pembebasan tanah, belum infrastruktur," terangnya.
Disinggung mengenai kebijakan pemkot membangun dan merevitalisasi sejumlah taman, sebetulnya, Ia katakan, kalau melihat segi RTH, taman yang ada di Kota Bandung lebih banyak perkerasannya dibandingkan hijaunya.
"Ini taman, lihat lebih banyak yang hijau atau yang keras (yang tidak bisa meresap air)? Tiap taman, misal dari satu hektar, mungkin cuman 2000 persegi yang hijaunya. Makanya, saya lebih suka menyebut taman yang ada saat ini adalah ruang terbuka publik, bukan ruang terbuka hijau. Karena lebih banyak kerasnya. Kalau di UU disebut RTNH (Ruang Terbuka Non Hijau). Sedangkan yang 20% itu kan yang hijaunya saja yang dihitung," katanya.
Sejauh ini kebijakan pemkot ia nilaihanya ingin membuat Bandung berkembang namun mengabaikan pentingnya ruang terbuka hijau.
"Pemkot, harus memperbanyak RTH, untuk ekologi dan iklim mikro juga kan bagus, supaya teduh," pungkasnya. (bbb/dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pascaditerjang Banjir, Begini Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini
Redaktur : Tim Redaksi