Pakar Keamanan Siber Dukung Presiden Jokowi dan DPR Revisi Pasal Karet UU ITE

Rabu, 17 Februari 2021 – 17:03 WIB
Ilustrasi penggunaan data internet. Foto: Ridha

jpnn.com, JAKARTA - Pakar keamanan siber Pratama Persadha mendukung sikap Presiden Jokowi merevisi pasal karet di UU ITE.

Menurutnya, pasal di KUHP sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik.

BACA JUGA: Kapolri Utamakan Mediasi Kasus UU ITE yang Tidak Berpotensi Konflik Horizontal

“UU ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak. Tentunya kepolisian juga mendapatkan tekanan dari masyarakat, karena masing-masing pihak ingin laporannya dan pihak terlapor segera di proses,” jelas Pratama dalam keterangannya, Rabu (17/2).

Dia menjelaskan UU ITE ada sejak 2008 dan sudah mengalami revisi pada 2016.

BACA JUGA: Saran Roy Suryo untuk Pemerintah soal Revisi UU ITE

Saat itu Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara didesak untuk mengubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun.

Hal ini terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun.

BACA JUGA: Bang Saleh Yakin Banget Revisi UU ITE Disetujui Mayoritas Fraksi

Belakangan ini, Pratama menegaskan, UU ITE makin mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan aturan tersebut, terutama Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28.

"Beberapa parpol mendesak agar pasal karet UU ITE dihapus. Presiden Joko Widodo sendiri sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet yang ada," ungkapnya.

Chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini menjelaskan, dalam beberapa kasus hoaks yang malah ditangkap adalah pihak-pihak yang menyebarkan saja, yang bisa dibilang mereka ini juga korban karena terhasut dan tidak tahu konten yang di-posting adalah informasi bohong.

“Kami ingin UU ITE ini mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual," katanya.

Menurut dia, memang dalam penyebaran sebuah konten informasi bohong, ada saja masyarakat yang menjadi tersangka karena ikut menyebarkan meskipun tidak tahu dan bukan bagian dari tim hoaks.

"Namun ini kan sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar. Inilah salah satu ketakutan masyarakat,” terangnya.

Pratama juga menegaskan apalagi edukasi anti-hoaks di masyarakat ini hampir tidak ada. Jadi, tegas dia lagi,  masyarakat ini kesannya diancam tetapi tidak diberikan bekal.

“Bukan berarti Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 misalnya dihapus atau direvisi, lalu hoaks bisa bebas tanpa hukuman. Ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di KUHP yang bisa digunakan. Tindakannya sama, hanya ini dilakukan di wilayah siber,” jelas pria asal Cepu ini.

Pratama menjelaskan masyarakat seharusnya dilindungi dan diberikan edukasi.

Selama ini, katanya, beberapa pasal UU ITE memang seperti menjadi momok menakutkan.

Ia mencontohkan, beberapa kasus yang ramai belakangan ini adalah Abu Janda dan pelaporan Dino Patti Jalal.

Menurutnya, kasus Abu Janda dalam menyebut Islam sebagai agama arogan, selain dengan UU ITE juga bisa dengan UU Penodaan Agama.

Dia menambahkan, yang sering ditakutkan masyarakat ini seperti pada kasus Dino Patti Jalal.

Sebab, ujar dia, saat menjelaskan kasus pencurian SHM rumah ibunya di Twitter dan Instagram, Dino Patti Jalal malah dilaporkan karena dianggap mencemarkan nama baik dengan Pasal 27 Ayat 3.

Pratama mengatakan bahwa untuk Pasal 28 khususnya Ayat 1 memang perlu diperjelas lagi agar masyarakat tidak menjadi korban, karena menjadi penyebar konten hoaks.

"Jadi pasal 28 Ayat 1 ini juga sering dijadikan bahan untuk menjerat para penyebar konten hoaks selain Pasal 27 Ayat 3 yang diarahkan pada pencemaran nama baik di internet,” paparnya.

Pratama berpendapat revisi harus fokus pada pemidanaan para penyebar yang menjadi satu tim dengan aktor intelektual maupun aktor kreator kontennya.

Jadi, ia menegaskan, masyarakat yang mendapatkan konten hoaks sekadar mem-posting tidak serta merta menjadi korban pemidanaan.

Namun, kata Pratama, memang ada risiko nantinya bahwa konten hoaks bisa menyebar.

Karena itu, lanjut dia,  karena itu butuh edukasi terus menerus.

Masyarakat butuh pendekatan kultural, tidak selalu dengan hukum yang membuat gusar.

“Memang sebaik apa pun UU dan regulasi yang ada, tetap kemampuan aparat, jaksa dan hakim adalah yang paling menentukan dalam proses keadilan di tanah air," jelasnya.

Namun demikian, Pratama mengatakan iktikada baik Presiden Joko Widodo ini sebaiknya didukung seluruh elemen masyarakat agar segera dieksekusi DPR.

"Kita tunggu saja, semoga pemerintah segera mengajukan revisi pada pasal-pasal UU ITE yang sudah ada,” pungkas Pratama. (boy/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler