Pakar: Relasi Presiden dan Parpol Pengusung Tak Boleh Terputus

Jumat, 13 Januari 2023 – 08:39 WIB
Pakar menyebutkan bahwa relasi presiden dan parpol pengusung tidak boleh terputus. Foto: ANTARA/HO- ilustrasi KPU.

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan mengatakan pascareformasi UUD 1945 memberikan ruang andil yang besar bagi Partai Politik dalam penyelenggaraan negara.

Hal ini dikatakan Jimmy menanggapi pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait relasi antara partai politik atau parpol Pengusung dengan Presiden RI merupakan pernyataan yang konstitusional dan sesuai dengan konteks ketatanegaraan Indonesia.

BACA JUGA: 8 Parpol Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Pengamat Bilang Begini

"Seperti mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan presiden, maupun saat presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945," ujarJimmy kepada wartawan, Jumat (13/1).
 
Menurut Jimmy, UU 2/2008 dan UU 2/2011 tentang partai Politik (UU Partai Politik), menjelaskan bahwa keberadaan parpol dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita.

"Hal ini berimplikasi bahwa setiap partai politik memiliki asas dan ciri masing-masing yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Partai Politik," katanya.
 
Jimmy mengungkapkan ketika seorang warga negara direkrut menjadi calon presiden dan wakil presiden oleh partai pengusung, maka secara sadar warga negara tersebut mengikatkan dirinya dalam komitmen perjuangan melalui garis, asas, ciri, dan cita-cita parpol untuk kepentingan negara.

BACA JUGA: 8 Parpol Tolak Proporsional Tertutup, BRIN: Golkar Menunjukkan Peran

"Atas dasar itu, relasi antara presiden dan parpol pengusung tidak boleh terputus," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Oce Madril mengatakan agenda kepala negara memang sudah sewajarnya sejalan dengan karakter partai politik pengusung.

BACA JUGA: 8 Parpol Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Titi Perludem Merespons Begini

Oce menuturkan seperti di Amerika Serikat bisa diprediksi bahwa kebijakan presidennya tidak akan jauh berbeda dari mazhab Partai Republik atau Demokrat.
 
“Di Indonesia semestinya juga begitu. Konstitusi menegaskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Sehingga, capres dan cawapres adalah bagian dari parpol,” ujar Oce.
 
Oce Madril menambahkan relasi yang kuat antara parpol pengusung dan Presiden RI sangat dibutuhkan agar pemerintahan stabil dan berjalan efektif serta agenda kebijakan strategis.

"Itulah salah satu esensi pertimbangan mengapa dibutuhkan Presidential Treshold dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, supaya presiden mendapatkan back up politik yang cukup kuat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya, sehingga kita memiliki sistem presidensial yang efektif," tuturnya.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Mexsasai Indra mengatakan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2011 yang menekankan pada salah satu tujuan partai politik yakni sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.

Sehingga, lanjut Mexsasai partai politik punya peranan penting dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan di pemerintahan Indonesia.

"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2011 yang menekankan pada salah satu tujuan partai politik yakni sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara," tuturnya.
 
Dengan demikian, berdasarkan tujuan parpol tersebut, maka relasi antara partai pengusung dan Presiden tidak boleh terputus.

Kemudian lanjut Mexsasai, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2011 tersebut telah menjelaskan bahwa tujuan partai politik bukan hanya sekadar ikut kontestasi Pemilu. Misalnya melakukan pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas, penciptaan iklim yang kondusif, serta rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi.

"Oleh karena itu, seharusnya setiap partai politik berorientasi pada penyiapan kader-kader terbaik untuk direkrut dalam jabatan-jabatan politik termasuk sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden," tuturnya.
 
Pakar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Agus Riwanto mengungkapkan, seorang presiden adalah kader partai politik sejak pencalonan pilpres hingga menjabat sebagai presiden.

Sehingga kata Agus, dalam perspektif UU Pemilu, Parpol mempunyai relasi yang sangat erat dengan calon presiden (Capres).

Oleh karena itu, pasca amandemen UUD 1945 telah mengubah mekanisme Pilpres bukan dipilih oleh MPR RI akan tetapi dipilih langsung oleh Rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.  

"Selanjutnya UUD 1945 telah mengatur mekanisme pilpres harus melalui mekanisme Parpol. Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) itu merupakan dasar eksistensi fundamental parpol dalam konstitusi," katanya.
 
Agus menambahkan prosedur teknis pilpres diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur tentang syarat pencalonan.

Adapun syarat pencalonan antara lain, menegaskan bahwa Capres diusulkan dalam satu pasangan oleh Parpol atau koalisi parpol yang memiliki visi yang sama agar dapat memenuhi persyaratan ambang batas syarat pencalonan (Presidential Threshold) 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

Agus menuturkan penentuan Capres ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme parpol atau koalisi Parpol dan berhak melakukan kesepakatan dengan parpol pengusung dengan parpol pendukung yang tergabung dalam koalisi parpol. Termasuk juga kesepakatan itu dibuat tertulis ditandatangai oleh pimpinan Parpol di atas meterai yang cukup dan diserahkan kepada KPU.

"Jika tak terpenuhi maka seseorang tak dapat mencalonkan diri sebagai capres," tuturnya.
 
Agus menjelaskan bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 007/ PUU-II/2004, ada pembedaan antara Hak Konstitusional Warga Negara dengan Hak Konstitusional Partai Politik.

Pasalnya, untuk menjadi capres adalah hak setiap warga negara, namun hak tersebut tidak serta merta dapat dilaksanakan sendiri, melainkan harus melalui pencalonan oleh parpol. Maka, yang memiliki hak konstitusional dalam pencalonan Capres adalah Parpol bukan setiap warga negara.
 
“Capres adalah kader parpol bukan perorangan. Karenanya, relasinya harus kuat dengan parpol pengusung sejak pintu pencalonan sebagai seorang capres," pungkas Agus. (mcr10/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler