jpnn.com - JAKARTA - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sudah waktunya untuk direvisi.
Guru Besar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad bahkan menyebut revisi sebuah keharusan dan keniscayaan.
BACA JUGA: Tak Benar Ada Ego Sektoral Antara KPK, Polri dan Kejagung
Pasalnya, 20 tahun sudah undang-undang tersebut berlaku di mana banyak perkembangan, dinamika dan tantangan baru.
Suparji menyatakan pandangannya saat menjadi narasumber pada diskusi ‘RUU Perubahan UU No.2 Tahun 2002 Tentang Polri’ di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (24/7).
BACA JUGA: Pakar Hukum Kritisi Kewenangan Kejagung Tangani Perkara
"Revisi UU Polri merupakan sebuah keharusan, keniscayaan, mengingat sudah 20 tahun lebih dan sudah banyak perkembangan hukum, putusan MK, dinamika masyarakat, tantangan hukum, perkembangan informasi dan teknologi yang kemudian itu mendorong perlunya perubahan UU Polri,” ujar Suparji.
Dia menilai saat ini permasalahan hukum berkembang pesat. Mulai dari peretasan, penipuan, perjudian online serta kasus-kasus hukum lainnya.
BACA JUGA: Pakar Hukum Tegaskan Indonesia Adalah Negara Hukum, Bukan Negara Pajak
Untuk itu UU Polri harus direvisi guna menjawab tantangan dan perkembangan masalah-masalah hukum dimaksud.
“Tidak bisa tidak, sehingga perlu sebuah keniscayaan, Polri yang mampu bekerja secara profesional, prosedural dan memiliki landasan hukum yang kuat. Itulah kemudian yang saya maknai sebagai sebuah keniscayaan,” ucapnya.
Suparji lebih lanjut mengatakan peran dan fungsi Polri dalam hal intelijen serta penyadapan juga harus diperkuat.
Penguatan dalam hal intelijen dimaksudkan untuk keamanan negara dalam negeri, bahan penegakan hukum, deteksi dan peringatan dini untuk pencegahan, penangkalan serta penanggulangan ancaman dalam negeri.
“Sementara terkait penyadapan harus sesuai dengan undang-undang lain yang terkait, yakni UU KPK dan UU Kejaksaan,” katanya.
Suparji mengakui di sisi lain muncul sejumlah kekhawatiran adanya gesekan dengan lembaga lain, terutama dengan TNI dalam hal keamanan negara atau nasional.
“Soal makna keamanan nasional, yang pada dasarnya sebetulnya yang dituju dalam konteks revisi UU ini adalah keamanan dan ketertiban masyarakat termasuk ancaman dari luar negeri, bahwa ancaman dari luar negeri tidak sebatas pertahanan negara, tetapi juga kemudian berbicara soal keamanan dan ketertiban masyarakat,” ucapnya.
Suparji menilai dengan adanya revisi UU Polri akan terbangun sebuah sistem dan pola yang terintegrasi antara keamanan dan pertahanan negara.
“RUU TNI dan RUU Polri harapannya mampu mencegah ego sektoral itu. Bagaimana TNI-Polri membangun sebuah kolaborasi yang baik dalam konteks menjaga keamanan, ketertiban dan pertahanan negara,” katanya.
Ke depan, Suparji mengatakan ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara akan makin masif dan dinamis.
Karena itu sangat disayangkan jika masih ada ego sektoral dalam konteks keamanan dan pertahanan.
“Harapan saya UU TNI juga sedang direvisi dan UU Polri mampu membangun irisan, mampu membangun sebuah perpaduan yang memang RUU Keamanan Nasional sebetulnya juga satu jawaban itu. Namun, kalau memang itu belum ada tanda-tanda konkret, maka momentum perubahan kedua undang-undang ini dapat menjadi pintu masuk untuk membangun kolaborasi,” kata Suparji. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Hukum: Hakim Harus Perhatikan UU AP dalam Kasus Arion Indonesia
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang