jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia Sadino menyebut perkebunan kelapa sawit yang sudah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di kawasan hutan wajib untuk menyelesaikan persyaratan sesuai UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kemudian apabila syarat itu tidak dipenuhi dalam jangka waktu ditentukan, maka perusahaan akan diberi sanksi administratif, bukan pidana.
BACA JUGA: Penyelesaian Masalah Kawasan Hutan Tidak Ada Pidana, Begini Penjelasan KLHK
“Apabila lewat tiga tahun tidak menyelesaikan persyaratan, pelaku bisa dikenai sanksi administratif, berupa pembayaran denda dan atau pencabutan perizinan berusaha,” kata Sadino dalam siaran persnya, Rabu (25/1).
Menurut Sadino, tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari denda administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021.
BACA JUGA: Begini Penjelasan Saksi dari KLHK soal Kedudukan Kawasan Hutan
“Meski demikian kegiatan usaha perkebunan sawit yang telah terbangun harus sesuai dengan rencana tata ruang yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang pada saat usaha pertama kali dibangun,” kata Sadino.
Sadino mengakui ketentuan rencana tata ruang juga tidak mudah diimplementasikan karena telah mengalami banyak perubahan dan sering RTR yang diajukan mudah disalahgunakan sesuai kepentingan dalam tindak lanjut proses perizinan.
BACA JUGA: Perhutani dan PTPN III Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan HutanÂ
Untuk itu, PP Nomor 24 Tahun 2021 mengatur perlunya inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.
“Kemudian, tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap kegiatan usaha di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, selanjutnya tata cara perhitungan denda administratif dan PNBP yang berasal dari denda administratif, serta paksaan pemerintah,” jelasnya.
Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan KLHK Herban Heryadana menyatakan UU Cipta Kerja untuk menyelesaikan usaha di dalam kawasan hutan sebelum lahirnya UUCK dengan proses hukum administrasi, pendekatan hukum yang digunakan ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.
Menurut Herban, hal ini sesuai Pasal 110 A UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU dan belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini berlaku.
"Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun, pelaku dikenai sanksi administratif, berupa; pembayaran denda administratif atau pencabutan perizinan berusaha," kata Herban.
Menurut Herban, yang dimaksud dengan Pasal 110A adalah kebun sawit di kawasan hutan sebelum berlakunya UU CK dan memiliki izin lokasi dan atau Izin Usaha Perkebunan yang sesuai Tata Ruang. IUP untuk Korporasi dan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) untuk masyarakat maksimal 25 ha.
"Memiliki izin lokasi dan atau Izin Usaha Perkebunan yang sesuai Tata Ruang dan IUP untuk Korporasi. Kemudian surat tanda daftar budi daya untuk masyarakat maksimal 25 ha," tegasnya.
Menurut Herban, kemudian akan diidentifikasi penyelesaiannya melalui Pasal 110 A dan Pasal 110 B. Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktifitas dalam kawasan sebelum UUCK.
"Namun, jika masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UUCK disahkan 2 November 2020, maka langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif," tegasnya.
Dalam UUCK jika sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka barulah melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan izin dan paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan.
''Pasal 110 A dan B hanya mengurusi kegiatan yang sudah terbangun dalam kawasan hutan. Jadi kalau ada yang bermain-main dalam kawasan hutan setelah UUCK tanpa memiliki perijinan atau persetujuan menteri, bisa dikenakan sanksi pidana," tegasnya. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KHDPK untuk Atasi Persoalan Masyarakat di Kawasan Hutan Jawa
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan