jpnn.com - JAKARTA - Pakar Keamanan Cyber, Pratama Persadha mengatakan peringatan ulang tahun ke-70 ini, TNI diharapkan mampu menjadi salah satu garda terdepan penjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Meskipun, lanjut dia, TNI dihadapkan pada realita bahwa kini tak hanya wilayah darat, laut dan udara yang menjadi ajang peperangan.
BACA JUGA: Politikus Golkar Ini Minta Polri Usut Kasus Salim Kancil Hingga ke Akar-Akarnya
Di era serba digital ini, kata dia, wilayah cyber ini membutuhkan perlakuan khusus, utamanya untuk membangun pertahanan cyber nasional yang handal.
Menurut Pratama, perang asimetrik bukan Cuma ancaman, tapi sebenarnya sudah terjadi. Pencurian informasi dan saling ancam antar negara mewarnai hubungan diplomatik dewasa ini.
BACA JUGA: KPK Tetapkan Presdir PT Nusa Konstruksi Enjiniring Jadi Tersangka Kasus RS Unud
Ketua Communication and Information System Security Research Center ini menjelaskan bahwa TNI punya peran sangat krusial dalam membangun pertahanan cyber. Terutama terkait sumber daya manusia dan alat utama sistem persenjataan yang dimiliki akan sangat membantu terwujudnya Badan Cyber Nasional yang kuat.
“TNI punya alutsista yang juga terkait dunia cyber. Namun yang lebih penting, urusan pertahanan secara makro, TNI sangat menguasai. Karena itu membangun pertahanan cyber, TNI wajib dilibatkan,” tegas Pratama, Senin (5/10).
BACA JUGA: Denny Datangi (Lagi) Mabes Polri, Katanya Mau Minta Izin, Dikasih Nggak Ya?
Menurut dia, penting bagi TNI ikut serta dalam pembentukan sistem pertahanan cyber yang kuat. Sebab baik wilayah darat, laut dan udara yang selama ini menjadi area tugas TNI, pada kenyataannya kini juga tak lepas dari ancaman serangan cyber.
Saat ini, kata dia, TNI mempunyai banyak alutsista yang harus diakui sebagian besar berasal dari luar negeri. Nah, untuk menjamin keamanan cyber jangka panjang TNI harus diperkuat dengan peralatan buatan dalam negeri dan juga diperkuat kemampuan pertahanan cybernya.
Bisa dibayangkan bagaimana berbahayanya bila peralatan komunikasi maupun senjata yang terintegrasi satu sama lain ini bisa disadap dan diinflitrasi negara lain. Tidak hanya informasi penting yang bisa dicuri, namun dengan remote dari jarak jauh, senjata yang ada bisa saja tidak berfungsi.
“Kita memasuki perang asimetrik. Dimana perebutan dan pencurian informasi strategis menjadi kunci utama menangnya sebuah negara,” katanya.
Dia mencontohkan, Amerika Serikat berhasil masuk ke Iraq tentu dengan bantuan alat dan intelijen canggihnya dalam mengambil serta mengamankan informasi agar sampai ke tujuan.
Kini dengan anggaran kurang lebih Rp120 triliun, TNI diharapkan terus melakukan pembaruan alutsista dan juga penguatan kekuatan cyber mereka. Peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur cyber di tubuh TNI niscaya akan banyak membantu dalam menghadapi perang asimetrik ini.
Menurut Pratama, infrastruktur bisa dibeli dari dalam maupun luar negeri, namun juga tak menutup kemungkinan menerima hibah negara lain.
“Soal perangkat militer hibah dari luar negeri sebenarnya tidak ada masalah,” tegasnya.
Namun, menurut dia, TNI hanya perlu melakukan screening ulang untuk mengecek apakah ada hardware maupun software yang ditanam untuk menyadap maupun melakukan kontrol jarak jauh.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pesawat Aviastar Ditemukan, Kabasarnas Akan ke TKP
Redaktur : Tim Redaksi