jpnn.com - JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Profesor Andi Hamzah menilai semangatnya Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan permufakatan jahat dalam pertemuan mantan Ketua DPR Setya Novanto, mantan Presdir PT Freeport Maroef Sjamsoedin, dan pengusaha minyak Riza Chalid, sulit untuk dituntaskan. Sebab, menurut Andi, pertemuan yang populer dengan papa minta saham tersebut lebih bernuansa politik yang oleh Kejaksaan Agung diseret ke ranah pidana.
“Menurut saya, kasus dugaan permufakatan jahat ini masalah politik. Kenapa Kejaksaan Agung menyeretnya ke ranah pidana? Ujung-ujungnya ini akan menyulitkan Kejaksaan Agung sendiri,” kata Andi Hamzah, saat dihubungi wartawan, Senin (15/2).
BACA JUGA: KPK Butuh Hal Ini Agar Efektif
Sebenarnya, lanjut Andi Hamzah, Setya Novanto telah menerima sanksi etik yang cukup berat dan akhirnya mundur sebagai Ketua DPR RI.
“Kenapa kini kasusnya masih berlanjut di Kejaksaan Agung, mungkin ada yang tak puas,” tegas Andi Hamzah.
BACA JUGA: Ini Hasil Penggeledahan KPK di Gedung MA
Saat ditanya apa yang harus dilakukan Kejaksaan Agung, menurut Andi Hamzah menyatakan pihaknya menyerahkan pada Kejaksaan Agung sendiri. “Tanyakan saja pada Jaksa Agung HM Prasetyo, apa yang harus dilakukan,” jawabnya.
Terkait dugaan adanya permufakatan jahat seperti diduga Kejaksaan Agung, Andi Hamzah menyatakan bahwa di dalam Pasal 88 KUHAP memang ada disebutkan soal permufakatan jahat, tetapi itu baru memenuhi unsur jika ada minimal dua orang sepakat akan melakukan kejahatan.
BACA JUGA: Baku Tembak, Dor! Terduga Teroris Terjengkang
“Nah, apakah dalam pertemuan itu mereka sepakat atau deal untuk melakukan kesekatan jahat? Ya tinggal ditanya pada mereka saja,” katanya.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wow! Dari 87 RUU Pemekaran Hanya 21 yang Layak
Redaktur : Tim Redaksi