jpnn.com - UMURNYA 27 tahun ketika "membantai" Hukum Grotius, peraturan laut yang telah diakui dunia selama 336 tahun. Tapi, bukan itu tujuan utama. Hasjim Djalal berhasil memenangkan pengakuan PBB bahwa Indonesia…
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Sebelum Asrul Sani dan Chairil Anwar Menjadi Bintang
Hasjim Djalal sedang menimba ilmu di University of Virginia, ketika pemerintah Republik Indonesia (RI) mengeluarkan pernyataan unilateral mengenai Wawasan Nusantara, pada 13 Desember 1957.
Kebijakan yang kemudian hari dikenal sebagai Deklarasi Djuanda itu menyatakan;
BACA JUGA: Sepandai-pandai Chairil Anwar Mencuri, Akhirnya...
Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan RI, dengan tidak memandang luas dan lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara RI dan dengan demikian, merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara RI.
Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara RI akan ditentukan dengan Undang-Undang.
BACA JUGA: Ketika Kartini Kepincut Haji Agus Salim
UNCLOS Boys
Deklarasi tersebut menarik perhatian Hasjim. Pasalnya, setahun sebelum itu, 23 April-4 Juli 1956, peraturan tentang laut dibahas untuk pertamakalinya di sidang ke-8 forum International Law Commision (ILC) PBB.
Satu di antara tiga hal yang dirumuskan PBB berbunyi, "…hukum internasional tidak memperbolehkan memperluas jarak laut teritorial melebihi 12 mil."
Artinya, ada wilayah laut internasional di antara pulau-pulau di Indonesia. Makanya ketika Indonesia dan Belanda konfrontasi memperebutkan Papua, kapal induk Karl Doorman milik Belanda leluasa mengarungi perairan antara Jawa dan Kalimantan.
Sebagai anak Indonesia yang sedang sekolah di negeri orang, Hasjim Djalal berpikir bagaimana cara memenangkan gagasan Deklarasi Djuanda yang sifatnya unilateral itu di forum internasional, sehingga mendapat pengakuan dunia.
Untuk mencapai itu, Hasjim menyadari diperlukan argumentasi dan alasan-alasan pendukung.
"Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Hasjim untuk menulis tesis Ph.D. mengenai hukum kelautan yang berjudul The Limits of Teritorial Waters in International Law di University of Virginia, AS, tahun 1961," tulis Efri Yoni Baikoeni dalam buku Patriot Negara Kepulauan.
Dengan tesisnya, Hasjim "membantai Hukum Grotius, yang telah diakui selama 336 tahun," sambung Efri.
Hukum Grotius merujuk teori; laut merupakan tempat yang berhak dikuasai oleh semua bangsa dan semua orang, yang dikemukakan Hugo Gratius (1583-1645)--terkenal dengan karyanya The Law of War and Peace, terbitan 1625.
Hukum itulah yang dipakai Belanda berlayar ke Timur, melindunginya dari Portugis dan Spanyol yang sebelumnya membagi dua dunia melalui Perjanjian Tordesillas, 7 Juni 1494.
Ketika merampungkan tesisnya, Hasjim berumur 27 tahun. Pulang ke tanah air, ahli hukum laut pertama di Indonesia itu langsung menghimpun kekuatan.
Tahapan pertama membentuk Dewan Maritim. Dipimpin Perdana Menteri Djuanda. Kepala Staf Angkatan Laut R.E. Martadinata sebagai Kepala Panitia Hukum dan Hasjim Djalal sebagai sekretaris.
Bersama Mochtar Kusumaatmadja, dosen Universitas Padjajaran Bandung yang menulis disertasi mengenai kelautan pada 1962, Hasjim membangun visi Negara Kepulauan.
Diplomasi ke negara-negara tetangga mulai dilakukan. Negara-negara yang corak wilayahnya mirip dengan Indonesia--kepulauan--didekati. Dan konsep itu mulai dibicarakan di serangkaian forum-forum dunia.
Bukan tak mendapat tantangan. Namun, pendek kisah, perjuangan sampai juga ke forum PBB. Puncaknya, United Nations Convention On the Law of the Sea (UNCLOS) disahkan melalui voting pada 30 April 1982.
Alhasil, wilayah Indonesia yang luasnya 2 juta km persegi sewaktu Proklamasi menjadi 5 juta km persegi. Laut bukan lagi menjadi pemisah. Dan Hasjim, yang berhasil meyakinkan dunia bahwa Indonesia adalah Archipelagic State pun dijuluki UNCLOS Boys.
Diplomat Pembaca Sejarah
Kini, UNCLOS Boys berusia 82 tahun. Masih bugar. Rahasianya, antara lain jalan kaki, menulis dan membaca--kebiasaan yang menjadi hobi sejak kanak-kanak.
Hasjim lahir di Nagari Ampang Gadang, Ampek Angkek, Sumatera Barat. Saat kelas 2 SMP (1948), di waktu senggang dan sedang naik kereta api, dia membaca buku sejarah.
Macam-macam dibacanya. Mulai dari kisah Pangeran Diponegoro, Jose Rizal hingga Gandhi. Tak ketinggalan cerita-cerita tentang Romawi.
Satu di antara kisah yang berkesan baginya adalah upaya para juru runding mendamaikan Eropa usai Perang Dunia Kedua. Kisah itu memantiknya bercita-cita jadi diplomat.
Pada 1953, lulus SMA di Bukittinggi, Hasjim meneruskan sekolah ke Jakarta. Akademi Dinas Luar Negeri. Dan kemudian meniti karir di Departemen Luar Negeri. Mimpi yang kesampaian. Ia jadi diplomat.
Saat bertugas di Amerika, waktu luangnya dimanfaatkan dengan bersekolah lagi di University of Virginia, dan meraih gelar Ph.D dengan tesis seperti yang dikisahkan di atas; tesis yang membawanya menjadi diplomat ulung.
"Ayah saya, Profesor Hasjim Djalal mengajarkan saya bahwa seni menjadi diplomat bukanlah terletak pada kemampuan untuk mematahkan argumentasi orang lain," tulis Dino Patti Djalal dalam buku Harus Bisa: Seni Memimpin Ala SBY.
"Namun juga pada keahlian membuat orang lain yakin dan percaya pada argumentasi kita," sambung Dino.
Pembaca yang baik, beriringan dengan ditulisnya senarai kisah ini, Kasubdit Sejarah Nasional Kemendikbud, Amur Wani meng-uploud undangan ke grup WhatsApp peserta World Culture Forum 2016.
Undangan yang diteken Hilmar Farid selaku Ketua Umum itu mengabarkan, memperingati Hari Sejarah 14 Desember, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) menggelar kuliah umum di Museum Nasional, Sabtu, 17 Desember 2016. Dari jam 09.30 hingga 12.00.
Temanya Wawasan Nusantara: Refleksi Historis dan Perspektif Masa Depan.
Tahu siapa yang memberi kuliah? Prof. Dr. Hasjim Djalal. Oimaaak…panjang umur! Dalam undangan ia disebutkan sebagai "Pelaku Sejarah Deklarasi Djuanda". (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Makar! Makar!
Redaktur : Tim Redaksi