jpnn.com - ASRUL Sani dan Chairil Anwar bertandang ke toko buku. Begitu mendapati buku Also Sprach Zarathustra karya Nietzsche, mereka bereaksi, "wah, ini mutlak dibaca dan dimiliki."
Sejurus kemudian, "Chairil pun dengan lekas mengatur siasat," tulis Hasan Aspahani dalam Chairil.
BACA JUGA: Sepandai-pandai Chairil Anwar Mencuri, Akhirnya...
"Asrul," seru Chairil. "Kau perhatikan orang itu," seraya mengedarkan pandangan kepada gadis penjaga toko.
Menurut Hasan, jurnalis-cum-sastrawan peneliti lelakon Chairil Anwar, aksi itu dimungkinkan karena Chairil selalu memakai celana model komprang dengan saku besar yang cukup untuk menyembunyikan buku.
BACA JUGA: Ketika Kartini Kepincut Haji Agus Salim
"Chairil selalu saja bisa mengeksekusi aksinya dengan sangat tenang. Asrul sebaliknya, ia tak bisa menahan rasa takut dan gugup. Setegah mati ia deg-degan," paparnya.
Itulah kali pertama Asrul ikut aksi Chairil. Meski sama-sama dari Minang--Asrul Sani anak Bukittinggi dan Chairil Anwar anak Payakumbuh--sebetulnya mereka belum lama berkenalan.
BACA JUGA: Makar! Makar!
Perkenalan itu terjadi di antara tumpukan buku loak di Pasar Senen, tempat Chairil biasa mangkal.
Asrul yang lebih muda lima tahun menyapa duluan. Chairil yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai penyair menyambut baik. Hari itu juga mereka langsung intim.
"Kau suka baca juga? Kau suka sajak? Mana sajakmu?" cecar Chairil, sebagaimana dikisahkan Hasan Aspahani.
Asrul memperlihatkan surat kabar Pemandangan yang memuat sajaknya yang berjudul Kekasih Prajurit.
Setelah mematut-matut sajak itu, air mukanya merona. Laksana mur ketemu baut, dua sekondan itu tak putus-putus bicara. Hilir mudik hingga berlabuh di warung achter de boeken.
Anak-anak Senen menyematkan nama itu karena sesuai artinya, warung nasi Padang itu berada di belakang buku-buku.
"Sudah berapa hari kau tak makan, Bung?" tanya Asrul melihat Chairil begitu lahap.
Chairil terbahak-bahak seraya berkata, "Kau pun makanlah yang banyak, kawan. Sebelum nanti semua warung Padang harus mengganti lauk dengan bekicot seperto anjuran penjajah kate itu…"
Ya, kisah ini terjadi ketika Jepang sedang berkuasa di negeri yang hari ini bernama Indonesia. Rentang waktu 1942-1945.
"Lagi pula," sambung Chairil, "kau yang harus bayar ini."
"Eh, aku yang bayar ini?"
"Kaulah. Tak mungkin aku yang lusuh begini yang membayar. Malulah kau sama pakaian necismu itu…"
Keduanya tertawa.
***
Aksi di toko buku itu berjalan sesuai rencana. Dua pemuda itu melenggang meninggalkan toko. Hanya saja, Nietzsche yang diincar, kitab Injil yang terambil. Keduanya bersampul hitam dan dipajang di rak yang sama; buku filsafat dan agama.
Ini pun mengundang derai tawa keduanya.
"Itulah aksi pencurian buku pertama dan terakhir bersama Chairil yang diikuti Asrul," ungkap Hasan.
Dulu, di Batavia ada dua toko buku yang koleksinya oke. Van Dorp dan G.Kolff. Di kedua toko itulah sang penyair kerap beraksi. Chairil punya pembenaran. Toko itu milik orang Belanda. Bangsa yang merampok kekayaan Indonesia.
Di kemudian hari, dua pemuda tersebut punya nama besar di jagat seni. Sebagai penyair, Chairil Anwar sohor antara lain dengan sajak Aku dan Karawang Bekasi. Asrul Sani menjadi orang film terkemuka. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Pinisiq hingga Phinisi
Redaktur : Tim Redaksi