jpnn.com - AGUS Salim muda pernah membuat Raden Ajeng Kartini kepincut. Anak pintar yang sebelum masuk ke gelanggang politik, lama jadi wartawan.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Makar! Makar!
Yogyakarta, 1927. Memasuki arena kongres Jong Islamieten Bond (JIB), Haji Agus Salim geleng-geleng kepala. Ada yang tidak beres, pikirnya.
Dan ketika diberi kesempatan berpidato, tanpa basa-basi dia memerintahkan agar kain putih, tabir yang memisahkan laki-laki dan perempuan segera diturunkan.
BACA JUGA: Dari Pinisiq hingga Phinisi
"Orang perempuan disimpan di pojok dengan ditutup sebuah kain putih…kebiasaan semacam ini, adalah kebiasaan bangsa Arab, tidak berasal dari perintah Islam," seru Agus Salim, termuat dalam H. Agus Salim (1884-1954)--Tentang Perang, Jihad dan Pluralisme.
Tabir itu pun langsung diturunkan.
BACA JUGA: Bukan Sulawesi, Pinisi Berasal dari Daerah ini?
Sepucuk Surat Kartini
Lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884 dengan nama Mashudul Haq, sohor di rantau dengan nama Haji Agus Salim.
Saat berusia 19 tahun, namanya sudah disebut-sebut. Kecerdasannya membuat Raden Ajeng Kartini kepincut.
"Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda. Kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim," tulis Kartini dalam sepucuk surat kepada Ny. Abendanon, 24 Juli 1903, termuat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Agus Salim, lanjut Kartini, "dalam tahun ini (1903--red), mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS!"
HBS singkatan dari Hogere Burger School, sekolah menengah atas lima tahun. Ketiga-tiga HBS yang dimaksud Kartini; Jakarta, Semarang dan Surabaya.
"Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan," sambung Kartini.
Lulusan terbaik (HBS) 1903 itu bukan tak berusaha. Pernah mengajukan beasiswa, namun ditolak.
Kartini mengalihkan beasiswa ke Belanda yang didapatnya dari pemerintah kepada Agus Salim. Pemerintah setuju. Tapi, pemuda yang pandai berbahasa Belanda, Inggris, Arab, Turki, Prancis, Jepang dan Jerman itu menolak.
Baik Kartini, pun Agus Salim sama-sama tak berangkat ke Belanda. Raden Ajeng kita menikah dan menetap di Jawa lantaran perjodohan yang diatur orang tuanya.
Agus Salim berangkat ke Arab, kerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda, sembari berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram--guru Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Asyari (pendiri NU).
Pada 1912 dia pulang kampung ke Koto Gadang. Sempat mendirikan sekolah, tiga tahun kemudian merantau lagi ke Jawa dan memulai karir di bidang jurnalistik.
Wartawan Pergerakan
"Agus Salim diangkat sebagai pemimpin redaksi bahasa Melayu pada Commissie voor de Volkslectuur yang kelak berkembang menjadi Balai Pustaka," tulis St. Sularto, dalam buku biografi Agus Salim.
Ajip Rosidi dalam Penerbitan Buku Bacaan dan Buku Sastra di Indonesia, termuat dalam Prisma, No. 4, Thn. VII, 1979 menulis, nama lembaga itu dirubah jadi Balai Pustaka atas usul Haji Agus Salim yang bekerja di sana sejak 1917 hingga 1919.
Di samping Balai Pustaka, lelaki yang di kemudian hari mejadi pimpinan Sarekat Islam (SI) itu juga bekerja sebagai redaktur surat kabar Bendera Islam dan redaktur Bataviaasch Niewsblad.
Saat aktif di Sarekat Islam, dia mendirikan dan "menjadi pemimpin redaksi surat kabar Hindia Baroe (Jakarta) dan Fadjar Asia (Yogyakarta) yang didirikannya bulan November 1927 bersama HOS Tjokroaminoto," tulis St. Sularto.
Agus Salim memainkan perang sebagai juru runding ketika Republik Indonesia baru merdeka. Dia dijuluki diplomat ulung. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pinisi "Kapal Baru Kemarin" (1)
Redaktur : Tim Redaksi