Panon Hideung…Hikayat Pertemuan Nada Dunia

Kamis, 05 Oktober 2017 – 19:55 WIB
Sampul lagu Panon Hideung. Foto: Repro Youtube.

jpnn.com - DI Indonesia, judulnya Panon Hideung. Di Rusia, Ochi Chyornye. Kebanyakan orang Barat menyayikan dengan judul Dark Eyes. Bila diterjemahkan, semua lagu itu judulnya sama; mata hitam! Cara menyenandungkannya pun seirama.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Cerita Letusan Gunung Agung dalam Literasi Bali Kuno

Sekadar memulangkan ingatan, silahkan buka kanal pemutar lagu di dunia maya. Semisal youtube. Masuk dengan kata kunci "Panon Hideung".

Sila nikmati senandunya. Beragam. Ada yang dinyanyikan Oslan Husein si pengarang lagu Selamat Hari Lebaran, dan lain sebagainya.

BACA JUGA: Kapan Gunung Agung Pertama Kali Meletus?

Bahkan dinyanyikan juga The Tielman Brother band kesohor di Belanda yang digawangi anak-anak Indonesia.

Dalam sebuah rekaman lawas, Tielman Brother membawakan lagu tersebut saat live di Dutch TV, 23 Januari 1960.

BACA JUGA: Selamat Hari Maritim Nasional!

Simaklah lagu Panon Hideung itu baik-baik. Kemudian coba masuk lagi dengan kata kunci "Dark Eyes".

Bagaimana musiknya, sama tidak dengan Panon Hideung?

Dan bukankah Anda mendapati lagu ini ternyata juga dibawakan Louis Armstrong, si penyanyi what a wonderful world yang legendaris itu...

Selamat berselancar dalam ayunan tangga-tangga nadanya.

Nah…sekarang masuk lagi dengan kata kunci "Ochi Chyornye".

Lagu-lagu itu tak hanya senafas dalam untaian tangga nada. Judulnya sama. Begitu pula isi syair yang dikandungnya.

Tak ayal jika Presiden Rusia Vladimir Putin bertanya kepada Presiden SBY, "bagaimana ceritanya lagu Rusia ini bisa masuk Indonesia?" manakala Panon Hideung ditampildengarkan sewaktu Putin berkunjung ke Istana Negara, Jakarta, 6 September 2007.

Saudara-saudari sekalian, begini menurut para tukang cerita…

Tersua sebuah laporan jurnalistik bertajuk Kisah Panon Hideung dalam Batavia Nouvelles.

Pada 1936-1937, Ismail Marzuki mengisi acara radio di Bandung. Banyak lagu Barat digubah dan diterjemahkan.

Satu di antaranya, berkat bantuan Zarkov, seniman asal Rusia yang tinggal di Bandung, ia menerjemahkan Ochi Chyornye jadi Panon Hideung.

Lirik Ochi Chyornye, sebagaimana disebut Batavia Nouvelles, sebuah puisi gubahan Yevgeniy Pavlovich (Yevhen Hrebinka) penyair Ukraina. Dipublikasi 17 Januari 1843.

Arensemennya dibuat Florian Hermann orang Jerman setahun kemudian.

Kisah senada juda disebut-sebut dalam buku The Book of World-famous Music: Classical, Popular, and Folk karya J.Fuld. Dan buku Russian Traditional song but a cabaret song karya A. Gutheil yang terbit 1897.

…kaum Gypsi di seluruh Eropa menganggap Ochi Chyornye lagu leluhur mereka.

Redaksi Batavia Nouvelles yang digawangi Taufik Rahzen cs menyangkut-pautkan Ochi Chyornye bertransformasi jadi Panon Hideung lantaran suasana hati Ismail Marzuki ketika itu.

panon hideung/pipi koneng/irung mancung/putri Bandung//putri saha/di mana bumina/abdi reseup kaanjeunna//siang wengi kaimpi-impi/hate abdi sara redih/teu emut dahar/teu emut nginum/emut ka nu geulis…panon hideung

(mata hitam/pipi kuning/hidung mancung/putri Bandung//anak siapa/di mana rumahnya/aku suka padanya//siang malam termimpi-mimpi/hatiku terasa sedih/tak ingat makan/tak ingat minum/ingatnya hanya pada si cantik...mata hitam)

Katanya, Ismail Marzuki waktu itu sedang kasmaran sama Miss Eulis, penyanyi berdarah Sunda dan Arab. Bintang radio di zamannya.

"Eulis memang bermata indah, hidung mancung dan kulitnya kuning langsat. Gadis ini dipersunting Ismail Marzuki pada 1940."

Pop Sunda

Sejumlah Literatur menggadang-gadang Panon Hideung sebagai titik awal sejarah Pop Sunda di ranah industri rekaman.

Setelah Panon Hideung, berturut-turut disusul lagu Tongtolang Nangka, Tilil, Euis, dan Mojang Priangan.

"Lagu Tongtolang Nangka dan Tilil merupakan lagu lawas yang dipopulerkan Band Nada Kantjana pimpinan Moh. Jamin. Lagu Euis dipopulerkan oleh duet Bing Slamet dan Rita Zahara," tulis Arief Maulana dalam Pop Sunda Sejak Zaman Panon Hideung Tetap Dicintai Masyarakat, termuat di laman unpad.ac.id.

Menurut kajian orang-orang Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, ada hal menarik yang terungkap dalam sejarah perjalanan musik Pop Sunda periode awal. Yakni, lagu-lagunya dinyanyikan bukan oleh penyanyi dari Tatar Sunda.

“Lagu Panon Hideung yang dulu dinyanyikan Mus DS, diiringi oleh Orkes Teruna Ria pimpinan Oslan Husein. Keduanya justru orang Padang,” kata Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia saat Pidangan Seni Budaya Rumawat Padjadjaran bertajuk Pop Sunda Ti Mangsa ka Mangsa, di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Selasa, 24 Desember 2013.

Pertemuan Nada

Dinyanyikan dalam ragam bahasa, nafas lagunya serupa. Yakni, puja sanjung terpukau gadis bermata hitam. Curahan cinta untuk adik mata hitam.

Siapa adik mata hitam?

Jadi, gout dan kawan-kawan di Bali punya istilah untuk menyebut kawan dari negeri seberang. Bukan bule, tapi adik mata biru.

Dan mereka yang bermata biru itu menyebut kami, kawan mata hitam.

Jangan-jangan ini yang disebut siklus. Bahwa hari ini tumbuh dari masa lalu. Sebutan sayang; adik mata biru dan kawan mata hitam dalam gerombolan kecil kami terjadi begitu saja.

Entah kapan mulanya. Yang pasti, sebelum hari itu. Hari ketika kami nyanyi dan gitaran di sebuah tempat di Desa Petulu, Ubud.

Seorang gadis Rusia menyanyikan lagu Ochi Chyornye sambil bercerita bahwa itu adalah lagu rakyat di kampungnya.

Ahai…lagu yang dinyanyikannya serupa dengan Panon Hideung. Dan, pendek kisah kami pun saling melempar ulasan.

Saya bercerita tentang tentang sebuah perhelatan akbar di Paris Perancis, yang berlangsung sepanjang bulan Mei hingga November 1931.

Namanya; Internationale Koloniale Tentoonstelling.

Semua kerajaan yang mempunyai tanah jajahan seperti Perancis, Inggris, Belgia, Portugal, Spanyol, Belanda dan lain-lain ambil bagian.

Masing-masing memamerkan produk budaya tanah jajahannya.   

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Andries Cornelis Dirk de Graeff menugaskan P.A.J Moojen, Ketua Perkumpulan Seni Hindia Belanda memimpin delegasi Hindia Belanda ke perhelatan itu.

Dia membawa kurang lebih 50 orang perajin dan tukang dari Bandung.

Perwakilan Hindia Belanda menempati total wilayah pameran seluas tiga hektar.

Dibantu para tukang dari Bandung, Moojen merancang anjungan berupa istana seluas enam ratus meter persegi dengan lebar bagian depan lebih dari seratus meter di perbatasan Lac Daumesnil, di tengah-tengah area pameran.

Anjungan itu ditata sedemikian apik dan elegan sehingga menjadi salah satu bangunan terbaik dan menjadi primadona dalam perhelatan tersebut.

Frances Gouda dalam buku Dutch Culture Overseas: Colonial Practic e in the Netherlands Indies, 1900-1942, menyebut anjungan Hindia Belanda yang dibangun para seniman Bandung itu menyerupai istana eklektik dari negeri dongeng. 

Sedangkan Erik Orsenna, novelis dan politisi Perancis dalam buku De Koloniale Tentoonstelling, berpendapat rancangan Moojen dan para seniman Bandung itu adalah, “tontonan paling menakjubkan sepanjang sejarah Perancis.” 

Hubungan yang erat dan intensif antara para seniman Bandung dan Paris selama perhelatan yang dihadiri tiga puluh empat juta pengunjung tersebut, pada akhirnya menebar pengaruh warna nuansa Eropa ke Kota Bandung. Sehingga kota kembang kemudian terkenal dengan julukan Paris van Java.

Boleh jadi, saya mengira-ngira malam itu, di sela perhelatan Internationale Koloniale Tentoonstelling itulah lagu itu lahir. Dalam sebuah pertemuan nada.

Dan jangan-jangan, gadis panon hideung atau dark eyes atau ochi chyornye alias adik mata hitam adalah satu di antara seniman Bandung yang ikut ke Paris.

Ah…entah iya, entah tidak. Namanya juga pertemuan nada. Kami membicarakannya memang dalam sebuah pertemuan nada.

Ada kawan yang lantas teringat legenda Cinderella. Kisah sepatu kaca, gadis miskin tertindas yang naik kelas menikah dengan pangeran.

Bukankah Cinderalla berasal dari kata cinder. Yang artinya abu. Dan di Indonesia, ada juga legenda upik abu.

Dari mana sebenarnya ini bermula…?

Yang jelas, ada pencerita yang berpendapat bahwa Panon Hideung, dalam sastra Sunda, masuk kategori kawih.

Seumpama sajak, ia bebas tak terikat aturan yang di dalam pupuh disebut guru lagu dan guru wilangan.

Pun demikian, kawih tetap memiliki unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Unsur tema, nada, rasa dan amanat. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata Saracen itu…


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler