Pantau Pemilu 2024, Komnas HAM Ungkap Persekongkolan 12 Kades di Sidoarjo 

Rabu, 21 Februari 2024 – 19:02 WIB
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI). Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Komnas HAM mengungkapkan belasan kepala desa di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur menyatakan dukungan terhadap peserta pemilu 2024.

Hal demikian seperti tertuang dalam hasil pemantauan Komnas HAM selama pemilu 2024 pada 12-16 Februari 2024.

BACA JUGA: Ganjar Usul Ajukan Hak Angket Kecurangan Pemilu, AHY: Harus Move On

"Sebanyak 12 kepala desa di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, menyatakan dukungan kepada salah satu peserta pemilu," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sugiro dalam keterangan persnya, Rabu (21/2).

Diketahui, Komnas HAM melaksanakan pemantauan selama pemilu 2024 di 14 provinsi dan 50 kabupaten atau kota.

BACA JUGA: Demi Menyelidiki Kecurangan Pemilu 2024, Ganjar: Hak Angket Paling Bagus 

Fokus pengamatan ke sisi netralitas aparatur negara hingga pemenuhan hak kesehatan dan hidup petugas pemilu.

Dari sisi netralitas, Komnas HAM turut menemukan dilaksanakannya rapat koordinasi kepala desa di Kabupaten Temanggung untuk pemenangan peserta pemilu.

BACA JUGA: Catatan Komnas HAM: Ratusan Tenaga Kesehatan Kehilangan Hak Pilih Pas Pemilu 2024

"Adanya arahan Wali Kota Samarinda kepada jajarannya untuk memilih peserta pemilu tertentu," ujar Atnike.

Komnas HAM juga menemukan video ajakan Pj. Gubernur Kalimantan Barat kepada masyarakat untuk memilih capres-cawapres yang mendukung pembangunan IKN.

"Ajakan ini disampaikan oleh Pj. Gubernur Kalimantan Barat pada acara Peringatan HUT Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat pada 24 Januari 2024," ungkap Atnike.

Kemudian, Komnas HAM mencatat 3.909 petugas pemilu dan 71 lainnya meninggal dunia berdasarkan data Kemenkes per 21 Februari 2024.

"Kelelahan dan faktor komorbid menjadi penyebab utama banyak petugas pemilu yang sakit dan meninggal dunia," ungkapnya.

Komnas HAM sebelumnya telah merekomendasikan kepada KPU dan Bawaslu menerapkan batas maksimal petugas pemilu 50 tahun.

Menurut Atnike, KPU telah menerapkan batas usia, hanya di angka 55 tahun, sedangkan Bawaslu tidak melakukan syarat usia.

"Komnas HAM merekomendasikan batas usia maksimal 50 tahun," katanya.

Komnas HAM menganggap KPU dan Bawaslu tak melaksanakan rekomendasi penting berkaitan dengan beban kerja.

Atnike menyebutkan sebagian besar petugas KPPS begadang dua malam, sejak sehari sebelum hari H untuk mendirikan TPS sampai pencoblosan dan penghitungan suara.

"Kebijakan penyalinan form C-hasil secara elektronik atau foto copy dari yang semula manual, ternyata tidak berhasil menurunkan durasi waktu kerja KPPS," kata dia.

Komnas HAM juga menganggap KPU RI tidak memasukkan materi Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) sebagai bagian dari Materi Bimtek KPPS.

"Jadi, KPPS tidak dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi situasi darurat di TPS. Materi Bimtek hanya focus pada proses pemungutan dan penghitungan suara, termasuk tata cara Sirekap," kata Atnike.

Namun, Komnas HAM menganggap KPU dan Bawaslu telah melakukan koordinasi dengan dinas kesehatan di daerah untuk melakukan pemeriksaan tubuh bagi semua calon KPPS dan pengawas TPS.

"Pemeriksaan meliputi tekanan darah, kolesterol, gula darah, selain berat dan tinggi badan. Surat keterangan hasil pemeriksaan digunakan sebagai syarat pendaftaran calon KPPS," kata Atnike. (ast/jpnn)


Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler